Pelajaran bersejarah dan mencerahkan dari karya Crane Brinton ini, bahwa runtuhnya sebuah rejim penguasa, tidak mesti adanya kudeta atau perlawanan terbuka para pimpinan tentara terhadap pemerintah. Sikap Netral Pimpinan Tentara pun Bisa Runtuhkan Sebuah Rejim. Gagalnya rejim penguasa menggerakkan pasukannya pada saat genting, juga berakibat runtuhnya sebuah rejim kekuasaan.

 

 

Menyusul keputusan pencopotan dini Jendral Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI maupun kontroversi seputar pengangkatan Marsekal TNI-AU Hadi Tjahyanto sebagai panglima TNI baru,  jagad politik nasional kembali gonjang-ganjing. Namun kali ini saya ingin menyorot sisi lain yang belum banyak diulas. Meskipun terinspirasi oleh peristiwa pencopotan Panglima TNI Gatot Nurmanyo dan keputusan menjadikan Marsekal Tjahyanto sebagai panglima TNI baru.

 

Ada buku klasik karya sejarawan Amerika Serikat Clarance Crane Brinton, bertajuk Anatomy of Revolution. Buku terbitan 1928 tersebut bukan saja buah dari kajian dan studi perbandingan revolusi yang terjadi di beberapa negara (Inggris, Rusia, Prancis, dan Amerika), melainkan juga menyingkap sepak-terjang dan perilaku tentara pada saat genting-gentinya menjelang meletusnya revolusi di berbagai negara yang saya sebut tadi.

 

Melalui bukunya ini, Crane Brinton mengemukakan sebuah teris yang cukup menarik, dan kiranya patut direunungkan oleh para pucuk pimpinan TNI saat ini. “Bahwa tak ada pemerintahan yang akan bertekuk-lutut di hadapan lawan-lawannya, sampai ia tidak bisa mengandalikan lagi angkatan bersenjatanya,atau tidak bisa menggunakan mereka secara efektif,” begitu tutur Crane Brinton dalam Anatomy of Revolution.

 

Kalau diterjemahkan dalam bahasa pergerakan yang lebih teknis bagi kepentingan para penggugah dan penggerak revolusi, maka tesis Crane Brinton bisa dirubah menjadi sebuah rekomendasi: Jika ingin berhasil dalam sebuah pergerakan revolusi, tiada jalain lain kecuali menggalang persekutuan dengan tentara.” Bukankah  begitu konsekwensi logis dari tesis Crane Brinton tersebut? Silahkan para pembaca mendalaminya sendiri sesuai minat dan kebutuhan.

 

Sekarang mari kita kembali ke beberapa pokok pikiran menarik Crane Brinton ketika mengulas soal revolusi dan angkatan bersenjata. Tema ini sangat menarik karena sejarawan yang lahir pada 1898 dan wafat pada 1968 ini menyorot revolusi dan sepak-terjang tentara setidaknya melalui pengalaman revolusi di Amerika, Prancis, Inggris dan Rusia.

 

Maka itu, kasus revolusi Rusia 1917, Brinton punya cerita menarik. Yang mengusik rasa penasaran Brinton adalah, bagaimana ceritanya kok bisa-bisanya sebuah gelombang demonstrasi jalanan yang bertumpu pada aksi warga masyarakat sipil kemudian menjelma menjadi sebuah revolusi? Penjelasannya simple, menurut Brinton. “Sebab pada saat-saat yang kritis ketika gelombang demonstrasi tersebut semakin menguat, tentara Rusia tidak mau bergerak melawan rakyat sipil. Malah justru sebaliknya, resimen demi resimen bergabung dengan elemen-elemen yang memotori Revolusi Oktober 1917.”

 

Lewat cerita ini, berita pikiran yang mau disampaikan Brinton sangatlah jelas dan tanpa keraguan sedikitpun. Seandainya pemerintahan Tsar Rusia ketika itu berhasil melaksanakan rencananya untuk menciptakan ketertiban di Petrograd, bisajadi demonstrasi di jalanan yang semula tanpa arah itu, tidak akan berkembang menjadi revolusi. Sekian dulu cerita tentang revolusi Rusia.

 

Sekarang bagaimana dengan cerita seputar revolusi Prancis? Pada saat meletusnya revolusi Prancis 1789, pemerintahan waktu itu masih dipegang Raja Louis XVI. Dan ini satu hal lagi yang penting. Kerajaan Prancis yang sebenarnya sedang terpuruk di bidang ekonomi ini, sebenarnya masih punya angkatan bersenjata yang cukup handal dan bisa dipercaya.

 

Namun seperti halnya dalam kasus di Rusia, ketika situasi genting melanda Prancis menyusul meletusnya huru-hara pada Juli 1789 yang kemudian kita kenal sebagai bangkitnya momentum revolusi Prancis, ternyata Raja Louis XVI sama sekali tidak mampu menggunakan pasukan-pasukan andalannya secara efektif. Pertanyaan yang mengusik kalbu dan pikiran, kenapa sang raja gagal mengendalikan dan menggerakkan tentaranya pada saat genting-gentingnya situasi melanda negri? Simpel. Pada saat genting, Raja Prancis tidak berhasil menggerakkan tentaranya secara efektif.

 

Sayangnya, Crane Brinton meskipun dikarunia usia panjang, namun tidak sempat mengalami satu lagi momentum sejarah bangkitnya sebuah revolusi. Yaitu Revolusi Islam Iran 1979 yang menghantarkan Ayatullah Khomeini sebagai pusat penggerak dan pusat keseimbangan kekuatan politik baru di negeri yang dikenal memiliki sebuah peradaban yang cukup tua dan kaya khazahan kebudayaan. Persia. Sebab menyorot sepak-terjang tentara menjelang dan saat meletusnya Revolusi Iran, juga tak kalah menarik dan menakjubkan. Bayantkan. Waktu itu Shah Iran punya angkatan bersenjata yang cukup kuat dan digdaya,berikut persenjataannya yang termasuk terbaik di dunia. Namun, bagaimana ceritanya rakyat sipil Iran yang menjadi motor penggerak revolusi berhasil melumpuhkan dan melucuti tentara yang konon paling hebat di kawasan Timur-Tengah dan Teluk Persia itu?

 

Salah seorang jendral Iran yang merupakan pelaku sejarah saat kejadian itu, menggambarkan kelumpuhan tentara Iran itu akibat “Senjata Kepercayaan” yang melekat pada berbagai kekuatan rakyat yang menggerakkan revolusi tersebut.

 

Jenderal Muhammad Vali Gharani, kelak oleh Khomeini diberi amanah sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran berkata: “Tentara Iran tidak mempunyai ideal. Misinya mereka satu-satunya adalah mempertahankan satu pribadi yaitu Shah Iran, dan bukannya satu negara. Itulah sebabnya bisa runtuh begitu cepat.”

 

Menarik bukan penuturan Jenderal Muhammad Vali Gharani. Tersirat jenderal Iran yang masih peka dengan suara hatinya ini, hendak menegaskan bahwa sedari awal tentara Iran yang secara fisik digdaya itu sama sekali tidak punya keberanian untuk memerangi rakyat sipil Iran yang memotori apa yang kelak kita kenal sebagai Revolusi Islam Iran.

Beberapa kantor berita yang melansir berita peristiwa Revolusi Islam Iran kala itu mewartakan bahwa kaum revolusioner berhasil merebut 7500 pucuk senapan, termasuk senapan mesin. Lebih menakjubkan lagi, senjata-senjata tentara Iran itu direbut dari beberapa markas militer. Sedangkan dari pihak militer, sama sekali tidak ada perlawanan.

 

Menariknya lagi, di tataran elit pimpinan tentara yang berpusat di Tehran, karena memandang sikap Shah Iran yang mulai rapuh dan tidak bisa diandalkan, para pimpinan tentara kemudian memutuskan untuk bersikap netral dalam pertikaian antara Shah Iran versus para Ulama atau Mullah, yang mana termasuk Ayatullah Khomeini, simbol kaum revolusioner Islam Iran.

 

Di siinilah pelajaran bersejarah yang maha penting bisa kita tarik sebagai hikmah. Bahwa tumbangnya sebuah rejim, tidak mesti gara-gara tentara memutuskan untuk kudeta atau membangkang arahan dari otoritias politik seperti presiden kepala negara atau seorang raja. Sikap netral para pimpinan militer di saat-saat yang genting melanda negeri, bisa meruntuhkan sebuah rejim.

Hendrajit, redaktur senior.