Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengkritik program pemerintahan Joko Widodo di sektor ekonomi yang justru menciptakan ketimpangan bukannya mengedepankan pemerataan.

Program sektor ekonomi ini dalam kenyataannya justru menimbulkan ketimpangan dalam pendapatan dan kekayaan makin tinggi karena bersumber dari kebijakan pemerintah yang salah.

“Jika kebijakan pemerintah diubah orientasinya dari pertumbuhan kepada pemerataan tentu ketimpangan dapat dikurangi. Jika kebijakan pemerintah diorientasikan bagi rakyat kecil, UKM, petani dan buruh, maka ketimpangan akan dapat diatasi. Tapi hal itu tak terjadi di era Jokowi,” katanya kepada Aktual.com, Rabu (15/3).

Perubahan kebijakan itu, sarannya, dapat dimulai dengan mengatasi masalah ketimpangan dalam penguasaan agraria yakni tanah. Untuk itu, pemerintah harus menunjukkan itikad baiknya dalam melakukan pembalikan struktur penguasaan tanah.

“Tanah harus diredistribusi kepada rakyat sebagai sumber produksi beserta seluruh sumber produksi lain yang diperlukan. Itikad baik ini belum terlihat dalam era pemerintahan Jokowi. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Tanah semakin dikonsentrasikan pada mega proyek skala besar yang mengorbankan rakyat,” kritik Daeng.

Selain itu, pemerintah harus membalikkan penguasaan sumber-sumber keuangan yang murah pada rakyat. Kebijakan ini sama sekali kurang dimengerti oleh pemerintahan Jokowi beserta tim ekonominya, yakni Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang malah sangat agresif mencabut subsidi dan menaikkan suku bunga kredit.

“Kebijakan ini yang mengurangi akses masyarakat terhadap sumber keuangan dari APBN dan lembaga keuangan lainnya, serta membelit rakyat dengan utang,” ucapnya.

Kebijakan strategis lainnya, lanjut Daeng, dalam mengatasi ketimpangan pendapatan dan kekayaan adalah dengan menaikkan upah buruh dan pendapatan petani. Ini yang sama sekali tidak dilakukan secara baik oleh pemerintahan Jokowi.

Padahal, kata dia, upah merupakan cara paling efektif agar pendapatan nasional yang sekarang sebanyak 41 persen hanya dinikmati 1 persen orang, bisa dibalik menjadi pendapatan nasional yang lebih merata.

“Pemerintah juga harus membagi pendapatan nasional itu kepada petani, dengan cara apa? Biaya produksi petani harus ditekan dan harga panen petani harus menguntungkan dengan tingkat kenaikan 2-3 kali lipat dari saat ini. Sebetulnya gampang solusinya itu,” pungkas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh: