Bagi umat Islam, tradisi “Muharaman” atau dikenal dengan perayaan “Tahun Baru Islam” bisa dibilang tradisi yang relatif baru. Dan tak dikenal di masa-masa klasik yang lampau. Kabarnya tradisi perayaan Tahun Baru Islam itu baru berlangsung mungkin di abad-abad sebelumnya, yakni ketika wacana “era kebangkitan Islam” mulai disuarakan oleh para pembaharu Islam di sekitar penghujung abad sembilan belas. 
Kemunculannya sendiri diantaranya untuk menyeimbangkan, katakanlah, klaim kepemilikan atas “tahun baru”. Maksudnya, jika umat Kristiani memiliki apa yang disebut Tahun Baru Masehi, yakni setiap tanggal 1 Januari, masa sih umat Islam tidak punya Tahun Baru. Mungkin begitu kira-kira. 
Namun sebenarnya ada alasan lain yang jauh lebih penting dari sekedar itu. Yakni, adanya kebutuhan umat muslim saat itu yang sedang dilanda kegairahan hebat atas ajarannya untuk mereguk warisan terbaik sejarah peradaban Islam lewat upaya menangkap kembali spirit dan nilai-nilai penting dari peristiwa hijrah Rasulullah SAW. 
Dari upaya itu kemudian dijadikan landasan bagi pengembangan nilai-nilai spiritualitas sebagai fondasi atas agenda-agenda penting untuk menggerakkan transformasi sosial-ekonomi-politik ke arah yang lebih baik bagi generasi-generasi muslim ke depan yang senantiasa menghadapi aneka tantangan hebat. 
Alasan terakhir itulah yang sekiranya lebih “afdhol” diterima ketimbang alasan bahwa “Umat Islam juga punya Tahun Baru loh!” Dalam konteks alasan terakhir itu pulalah perayaan Tahun Baru Islam memperoleh relevansinya dikaitkan kondisi kekinian dan kedisinian segenap umat muslim di dunia. 
Ketika umat muslim di dunia memasuki 1 Muharam, maka puji dan syukur atas datangnya Tahun Baru Islam itu senantiasa dipanjatkan kehadirat-Nya. Pada momentum itu kaum muslim senantiasa mencanangkan”resolusi-resolusi” tertentu, menegaskan komitmen-komitmen baru, yang diarahkan bagi perubahan kualitas diri yang diperhadapkan dengan beragam aspek kehidupan yang sedang dan akan dijalaninya. 
Baik menyangkut peningkatan aspek spiritualitas, moralitas, dan mentalitas menghadapi realitas kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan, menuju ke arah kesejatian hidup. 
Muharam sendiri merupakan bulan permulaan dari sistem penanggalan Islam yang dikenal sebagai Kalender Hijriah atau Tahun Hijriah. Sistim Kalender Hijriah memiliki perbedaan dengan Kalender Masehi. Jika Kalender Masehi, sebuah hari atau tanggal baru dimulai pukul 00.00 waktu setempat, pada Kalender Hijriah sebuah hari atau tanggal baru diawali ketika terbenamnya matahari. 
Meski sama-sama terdiri dari 12 bulan, namun Kalender Hijriyah mendasarkan diri pada rata-rata siklus sinodik bulan (qomariyah). Sementara Kalender masehi dibuat mengikuti revolusi matahari. Jumlah hari dalam setahunnya pada Kalender Hijriah sebanyak 354,36708 hari (12 x 29,53059 hari ). Jumlah itu jauh lebih pendek sekitar 11 hari dibandingkan jumlah hari dalam setahun pada Kalender Masehi.
Dikenal dengan sebutan Tahun Hijriah merujuk pada masa ketika Rasulullah Muhammad SAW dan para pengikut awalnya berhijrah dari Makkah ke Yastrib (kemudian dinamakan Madinah). 
Sebelumnya, selama sepuluh tahun di Makkah, Rasulullah menyuarakan dan mendakwahkan ajaran kebenaran berdasarkan Wahyu Illahi. Dan sebagaimana diketahui, di kota kelahirannya itulah, Rasulullah dan para pengikutnya mendapat hambatan, tentangan dan permusuhan yang demikian kerasnya dari kaum Quraisy. Sehingga beliau akhirnya memutuskan untuk berhijrah. 
Adalah Khalifah Umar bin Khatab yang pertama kali menetapkan sistem Kalender Hijriah, setelah mempertimbangkan saran brilian Ali bin Abi Thalib. (AliSyaria’ati, 1989). Dan sebenarnya, tanggal 1 Muharam sendiri bukanlah tanggal persis berlangsungnya peristiwa hijrah Rasulullah, sebagaimana sering disangkakan. 
Tanggal 1 Muharram hanyalah tanggal dan bulan permulaan saja dari sistem penanggalan Hijriah. Kapan tepatnya Rasulullah berhijrah, para ahli sejarah Islam berbeda pendapat. Namun ada yang menyebutkan bahwa peristiwa hijrah Rasulullah itu berlangsung pada malam tanggal 27 Shafar kemudian tiba di Yastrib (Madinah) pada tanggal 12 Rabiul awal. Sehingga menjadi layak dipertimbangkan pendapat DR. Jalaluddin Rakhmat di sebuah ceramah agamanya yang sempat penulis dengar. Bahwa Rasulullah berhijrah tanggal 12 Rabiul Awal, sebagaimana beliau lahir pun tanggal 12 Rabiul Awal, dan wafatnya pun tanggal 12 Rabiul Awal pula. Dengan kata lain, tiga peristiwa terbesar yang melekat pada sejarah kehidupan nabi akhir jaman yang kita cintai itu jatuh pada tanggal dan bulan yang sama, yakni 12 Rabiul Awal, dengan tahun yang berbeda-beda tentunya.
Namun, terlepas tanggal dan bulan yang pasti terkait peristiwa hijrah itu, ada yang patut direnungkan. Yakni penentuan titik awal tahun dalam kalender Islam bukan mendasarkan diri pada tahun kelahiran Rasulullah. Bukan pula tahun tatkala beliau diangkat menjadi Rasul ketika menerima wahyu pertama. Tidak juga mengacu pada momentum-momentum penting lain bagi umat Islam, seperti Fath Makkah (Pembebasan kota Makkah), Perang Badar dan sebagainya. Namun yang lebih dipilih sebagai titik permulaan Kalender Islam justru tahun saat berlangsungnya peristiwa hijrah. 
Patut pula direnungkan, penyebutan bagi para pengikut awal dan penolong Rasulullah di masa permulaan perjuangan dakwah di Makkah, yang turut menyertai beliau berhijrah. Mereka disebut dengan sebutan “muhajirin” (orang-orang yang berhijrah), bukan dengan istilah lain dalam bahasa Arab yang mungkin disematkan. Entah itu suporter, apalagi relawan, sebagaimana muncul dalam fenomena politik kontemporer di tanah air mengiringi naiknya Joko Widodo sebagai presiden ketujuh Republik Indonesia.
Sudah pasti, terminologi “orang-orang yang berhijrah” ini mengandung makna penting dan mendalam. Jika tidak, pasti tak bakal digunakan Rasulullah. Sebab bukankah masih banyak istilah lainnya. Misalnya Al Sabiq (yang terdahulu masuk Islam) atau Al Nushrah An Nabiy (Para Penolong Nabi), dan sebagainya. Sehingga dari situ bisa disimpulkan, bahwa dalam pandangan Rasullullah, istilah “orang-orang yang berhijrah” lebih bermakna strategis dalam rangka menopang “ruh” dari gerakan dakwah yang sedang dan terus dirintis dan dikonsolidsikannya ketika itu, ketimbang istilah-istilah lain. 
Pada dasarnya peristiwa hijrah Rasullullah beserta pengikutnya itu merupakan peristiwa sejarah agung bagi umat Islam. Peristiwa itu menandai titik balik kemenangan dan kejayaan Islam pasca hijrah dan di kemudian hari. Sumber-sumber otentik mencatat, betapa dasyatnya efek yang ditimbulkan peristiwa hijrah itu bagi perubahan sejarah umat manusia secara keseluruhan. 
Sehingga lewat bukunya, Michael Hart menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan pertama tokoh terbesar dan paling berpengaruh di dunia. Sudah tentu pengaruh besar kehadiran Rasulullah dan ajaran Islam sehingga menggapai kemenangan dan kejayaan yang gemilang itu berhasil diraih lewat titik tolak yang menjadi momentum terpenting dalam sejarah, yakni peristiwa hijrah itu. 
Menurut Nurcholis Madjid (1995), peristiwa hijrah sendiri sebenarnya dapat dipandang dari dua perspektif. Pertama, nuansa peristiwa itu kental sebagai peristiwa berdimensi spiritual-supranatural, lewat segenap kemukjizatan yang membentengi perjalanan hijrah Rasulullah itu sendiri. Dalam konteks ini, peristiwa hijrah terjadi karena memang ada isyarat dan izin Allah SWT. Terdapat beberapa teks Al Quran yang mengindikasikan hal itu, diantaranya: 
“Apakah mereka (kaum kafir Makkah) berkata “kami adalah kelompok yang menang?”. Kelompok mereka itu akan dihancurkan, dan mereka lari terbirit-birit. Sungguh, saatnya akan datang sebagai janji kepada mereka, dan saat itu akan sangat menyedihkan dan dan sangat pahit (bagi mereka).” (Q.S. Al Qalam, 45-47). 
“Sesungguhnya Dia (Allah) yang telah menjadikan ajaran Al Quran sebagai panggilan kewajiban atas engkau (Muhammad) tentulah akan mengembalikan engkau ke tempat asalmu (Makkah).“ (Q.S Al Qashash, 85) 
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihatdi jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al Baqarah, 218) 
“Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalanKu, yang berperang dan yang dibunuh, pasti akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka, dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah, pada sisiNya pahala yang baik.” (Ali Imran, 195). 
Barang siapa berhijrah dijalan Allah niscaya mereka mendapatkan di muka bumi ini tempat berhijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan rasulNya, kemudian kematian menimpanya (sebelum tiba tempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang. (Q.S. AnNisa, 100). 
Dan kedua, hijrah itu sendiri merupakan peristiwa historis-sosiologis. Artinya, hijrah itu sendiri sebenarnya bisa terjadi kapan pun, di mana pun dan pada kelompok masyarakat mana pun. Baik di masa Rasulullah, ataupun jauh sebelumnya, maupun sesudahnya, termasuk di era sekarang ini. 
Sebab bukankan menurut Al Quran, segala kejadian yang dialami manusia, terutama terkait kehidupan suatu kelompak masyarakat, senantiasa akan mengikuti sunatullah atau “Ketentuan Allah” yang berlaku di ranah sosial. Yang mana kita pun oleh Allah SWT diserukan untuk senantiasa  mengambil hikmah dan pelajaran atas peristiwa yang pernah dialami kaum terdahulu. 
Sunatullah itu secara terang-benderang hadir lewat rumusan sederhana nan jitu sepanjang masa: “Aku (Allah) tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum mereka merubahnya sendiri”. Dengan begitu sebenarnya spirit berhijrah yang dilakukan Rasullulah ketika itu sebenarnya juga pernah dilakukan umat-umat dan kelompok-kelompok manusia lain sebelumnya. Tak terkecuali, bisa pula dilakukan manusia-mananusia setelah kehidupan Rasulullah, termasuk manusia-manusia saat ini. 
Bicara tentang hijrah sebenarnya tak sebatas pada makna perpindahan secara fisik semata. Atau dalam kasus yang dijalani Rasulullah dan pengikutnya, berpindah dari Makkah, yang saat itu tak diperoleh keamanan dan kebebasan lantaran diperangi oleh para musuh, untuk menuju ke Yastrib yang jauh lebih aman. 
Pertimbangan hijrah saat itu, diantaranya, karena kemampuan dan kekuatan untuk menentang kezaliman orang-orang Quraisy, dirasa tak lagi memadai. Sehingga berhijrah saat itu bisa dipandang sebagai bagian dari grand strategy untuk menyusun, menghimpun, dan mengkonsolidasi kekuatan di tempat yang baru. 
Lebih jauh dari itu, sesungguhnya Rasulullah dan para pengikutnya tak sekedar berpindah secara fisik semata. Mereka pun merambahi sebuah makna hijrah yang derajatnya lebih luas dan luhur. Tak sekedar berhijrah “ke luar”, melainkan juga, dan terutama, berhijrah “ke dalam”. Berhijrah dalam makna kedua ini merupakan sebentuk tindakan konkret untuk “melambungkan” penghayatan dan praktek spiritualitas berketuhanan dan berkemanusiaan dari para pengikut Rasulullah ke level yang jauh lebih tinggi lagi. 
Kala itu di Madinah konsepsi hijrah Rasulullah dimuati upaya-upaya perintisan dan pengembangan pranata-pranata sosial yang baru dan lebih segar, diiringi proses pembentukan dan penguatan sumberdaya manusia dengan mental-spiritual yang luhur, guna menopang tegaknya sendi-sendi kemasyarakatan yang plural, berkeadilan, demokratis, dan modern untuk ukuran masa itu. 
Pendek kata, di fase-fase hijrah Rasulullah itu sesungguhnya berlangsung proses revolusi mental-spiritual diiringi revolusi pranata-pranata sosial yang ada. Semua itu sebagai konsekwensi logis atas kesejatian makna hijrah yang diusung dan dipraktekkan Rasulullah. Dan sekaligus sebagai fondasi awal menuju kebesaran dan kejayaan Islam di periode-periode sesudahnya. 
Dalam konteks kekinian di Indonesia, kita bisa memaknai berhijrah “ke dalam” sebagai berhijrah dari satu titik spiritualitas tertentu menuju titik spiritualitas yang lebih luhur. Dari mentalitas tertentu yang membelenggu ke arah kemajuan menuju mentalitas super yang mensejahterakan.
Dan di era jargon revolusi mental yang digemakan oleh Presiden RI ketujuh Jokowi, berhijrah “ke dalam” bagi Presiden Jokowi sendiri seharusnya bisa dimaknai sebagai langkah menuju transformasi ke arah yang sejati membawa bangsa ini di atas rel yang benar menuju cita-cita proklamasi. Berhijrah dari kecenderungan tersandera memilih calon menteri yang bermasalah, menuju keleluasaan memutuskan memilih calon menteri visioner dan berintegritas.  
Berhijrah dari kecenderungan blusukan berorientasi akumulasi poin pencitraan menuju blusukan non-pencitraan berorientasi peningkatan taraf hidup rakyat. Dari menutup pintu bagi calon menteri pengusung ekonomi kerakyatan seraya membuka pintu bagi calon menteri neolib, menjadi membuka pinta bagi calon menteri pengusung ekonomi kerakyatan dan mengunci pintu bagi calon menteri neolib.
Berhijrah dari kecenderungan kuat dikelilingi para bohir kakap pemburu rente dan proyek serta para pelanggar HAM, menuju kemelekatan dengan rakyat dan para pejuang nasionalis kerakyatan yang sejati. Berhijrah dari level kepemimpinan ala middle management, menuju kepemimpinan kenegawanan yang tangguh dan penuh cinta. Berhijrah dari kepemimpinn bercitra “bersih” lewat mesin pencitraan yang massif, menjadi kepemimpinan yang benar-benar bersih sebersih-bersihnya meski tanpa pencitraan. Dari komitmen anti korupsi yang sekedar ada di tingkat pidato basa-basi, menjadi tindakan konkret melawan korupsi. 
Dari kepemimpinan yang sekedar cuma bisa memperlihatkan Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar saat debat capres, menjadi kepemimpinan yang benar-benar sukses merombak lalu membangun sistim pelayanan kesehatan dan sistim pendidikan berwatak kerakyatan. Dari sekedar kesederhanaan sikap dan penampilan yang tak mampu menyelesaikan masalah, menjadi kesederhanaan sikap dan penampilan dengan capaian-capaian prestasi nyata yang spektakuler. 
Dari kepemimpinan yang piawai memberi harapan semata tanpa greget merealisasikannya, menjadi kepemimpinan super solutif penuh terobosan. Dari pemimpin yang sekedar cuma bisa berfikir menaikkan harga BBM atas persepsi sempitnya ruang fiskal yang tersedia, menjadi pemimpin yang berani melakukan negosiasi secara gigih atas penghapusan utang-utang haram selama ini kepada pihak asing.
Sementara berhijrah “ke dalam” bagi segenap rakyat Indonesia berarti berhijrah dari moralitas tercela menuju moralitas terpuji. Dari mentalitas rendahan ataupun biasa-biasa saja menuju mentalitas para juara. Dari kejumudan menuju dinamisme yang membawa harapan. Dari pesimisme menjadi optimisme yang membebaskan. Dari kepedulian palsu menjadi kepedulian nyata yang membebaskan banyak orang. 
Dari perilaku korupsi berjamaah menjadi gotong royong melawan korupsi. Dari komitmen anti korupsi yang sekedar pidato basa-basi menjadi tindakan konkret melawan korupsi. Dari hobbi berkeluh kesah menjadi figur tegar dan gigih mencari solusi atas problem hidup yang dihadapi.
Dari yang melulu ingin dilayani, menjadi sosok panutan yang berbahagia justru saat harus melayani dengan iklas. Dari antusiasme menumpuk harta pribadi dan keluarga, menjadi antusiasme berbagi kepada sebanyak-banyaknya orang lain dan memberdayakan kaum papa. Dari aktivis sosial yang cuma jadi manusia yang seolah-olah peduli di media sosial, menjadi aktivis sosial yang benar-benar membumi.
Intinya, berhijrah “ke dalam” merupakan pergerakan mental menuju fitrah kemanusiaan yang sejati. Perlu digarisbawahi, sesungguhnya berhijrah “ke dalam” merupakan sebentuk pergerakan kejatidirian yang “back to basic”. Artinya bahwa segala tindakan harus mengacu kembali pada “desain” awal dari Allah SWT saat menciptakan manusia. Yang mana Allah SWT telah menanamkan software berupa kalbu yang berkecenderungan ke arah kebajikan. Output dari segenap kebajikan sejati dari qolbu itu adalah keselamatan bersama, baik di dunia dan di akherat.
Meski kita pun perlu waspada pada diri kita sendiri mengingat dalam diri setiap manusia, kerap kali berlangsung “pembangkangan” atas fitrahnya itu. Padahal jika pembangkangan itu berhasil mengalahkan qalbu, apalagi jika bersemayam pada diri para elit politik dan pemuka masyarakat, maka kehancuran “buhul-buhul” sosial merupakan keniscayaan di depan mata. 
Dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, output dari segenap kebajikan warganya, terlebih para pemimpin negara dan pemuka masyarakat, adalah terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang lebih berkeadilan, toleran, dan senantiasa meningkat taraf sosial-ekonominya. Proses itu pun sesungguhnya revolusi mental. Jika tidak juga tercipta, boleh jadi itu revolusi mental yang abal-abal. 
Selamat bertahun baru 1 Muharam 1436 Hijriah, wahai kaum muslim Indonesia, khususnya para pegiat transformasi sosial-ekonomi-politik di negeri Indonesia tercinta. 
Oleh: Nanang Djamaludin, Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN)