Faizal Rizki Arief
Faizal Rizki Arief

Jakarta, Aktual.com — Wikileaks kembali merilis sejumlah data soal perdagangan global.

Beberapa saat lalu, Wikileaks sempat menguliti habis-habisan kesepakatan-kesepakatan rahasia beberapa negara untuk menguasai perdagangan global di bawah payung skema Trans-Pacific Partnership (TPP) yang dimotori Amerika Serikat.

Kini, Wikileaks (2 Juli 2015 lalu) membuka kembali beberapa draf kesepakatan rahasia antarnegara dalam skema “Trade in Services Agreement (TiSA)”  yang dimotori Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Sampai saat ini sekitar 23 negara sudah melakukan negoisasi rahasia itu yakni Australia, Kanada, Chili, Taiwan, Kolombia, Kostarika, Hongkong, Iceland, Israel, Jepang, Liechtenstein, Meksiko, Selandia Baru, Norwegia, Pakistan, Panama, Uraguai, Paraguai, Peru, Korea Selatan, Swiss, Turki, Amerika Serikat dan Uni Eropa (mewakili 28 negara, termasuk Inggris dan Jerman).

Wikileaks merilis 17 draf dokumen penting skema TiSA yang saat ini masih dalam negoisasi yang sifatnya rahasia dan tertutup. Dokumen tersebut menyiratkan beberapa kesepakatan penting untuk menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan jasa antarnegara.

“While the proposed Trans-Pacific Partnership (TPP) and the Transatlantic Trade and Investment Pact (TTIP) have become well known in recent months, the TiSA is the largest component of the United States’ strategic neoliberal ‘trade’ treaty triumvirate. Together, the three treaties form not only a new legal order shaped for transnational corporations, but a new economic “grand enclosure”, which excludes China and all other BRICS countries,” demikian pernyataan WikiLeaks.

Public Services International (world-psi.org), sebuah organisasi federasi lembaga persatuan pekerja publik internasional besar saat ini, bahkan menyebut TiSA dan TPP adalah sebuah kesepakatan yang levelnya (daya rusaknya) melebihi WTO dan NAFTA.

Dalam sebuah laporannya yang bertajuk “TISA versus Public Services” (2014) lembaga yang beranggotakan sekitar 20 juta pekerja publik yang tersebar di 154 negara ini menulis seperti ini, ”Current treaties have developed into constitutional-style documents that tie governments’ hands in many areas only loosely related to trade. These include patent protection for drugs, local government purchasing, foreign investor rights, public services and public interest regulation, which can have consequences in areas such as labour, the environment and Internet freedom”.

Beberapa pengamat perdagangan internasional justru melihat lebih jauh. Tujuan TiSA bukan hanya sekadar meliberalisasi perdagangan jasa antarnegara anggota TiSA. Jauh lebih dalam lagi, tujuan utamanya adalah memaksa (terpaksa atau dipaksa.red) negara yang tergabung dalam BRICS (Tiongkok, Brasil, India and Afrika Selatan), negara ASEAN dan beberapa negara berkembang lainnya untuk tunduk dalam aturan TiSA.

Mengapa TiSA mampu memaksakan hal itu? Karena secara hitungan kasar, jika total perdagangan jasa antarnegara yang tergabung dalam TiSA digabung, diperkirakan TiSA akan menguasai duapertiga GDP global. Wow….!

Maklum sektor jasa di Amerika Serikat saja sudah mampu menyumbang pendapatan nasionalnya lebih dari 75 persen. Itu belum catatan negara Uni Eropa. Saat ini, Amerika Serikat diperkirakan mengalami surplus perdagangan jasa sekitar lebih dari USD200 miliar.

Ini yang membuat Tiongkok sempat ‘ketakutan’ beberapa saat lalu. Tak salah kalau Tiongkok (yang mendapat dukungan dari Uni Eropa) dikabarkan akan bergabung menjadi anggota TiSA dua tahun lalu. Namun belakangan dikabarkan, negara yang tergabung dalam BRICS ini menolak menjadi anggota TiSA.

Lalu bagaimana dengan ASEAN (termasuk Indonesia), yang juga dalam radar untuk ‘dipaksa’ bergabung dengan TiSA?

Melihat beberapa perkembangan terakhir hubungan luar negeri Indonesia, terutama dengan Inggris dan beberapa negara yang tergabung dalam Negara Persemakmuran Inggris seperti Malaysia atau Singapura misalnya maka konteks TiSA bisa berbicara di sisi ini.

Dan perlu dicermati dengan sungguh-sungguh langkah strategi geopolitik “Europe’s Smart Asian Pivot”-nya Uni Eropa untuk menggandeng Tiongkok menguasai Asia, termasuk ASEAN. Sebab data mengatakan, Asia sudah menjadi trading partner penting yang menguasai sepertiga perdagangan internasional Uni Eropa. Ini sudah menyalip tingkat perdagangannya dengan Amerika Utara. Bahkan perdagangan dengan Tiongkok, sudah mencapai lebih dari 1 juta Euro per hari!. Ini catatan pentingnya.

Namun ada hal penting yang harus menjadi catatan kehati-hatian. Bahwa sebagian besar motivasi dibalik regionalisasi dan liberalisasi perdagangan, baik itu yang didorong oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, Tiongkok atau Russia, tidak selalu membawa kepentingan kemakmuran bersama. Namun kemakmuran buat korporarasi.

Seperti kata Julian Assange ketika berkomentar keras atas klausul-klausul dibalik kata indah ‘Free Trade’ dan ‘More Transparency’ dalam skema TransPasific Partnership (TPP): “Deal Isn’t About Trade, It’s About Corporate Control”.

Ya selalu kepentingan korporasi. Bukan kepentingan rakyat. Maka dari itu, kita harus terus mencermati hal ini.