Jakarta, aktual.com – Imam Abul Hasan al-Syadzili berkata:
نَسْأَلُكَ الْعِصْمَةَ فِي الْحَرَكَاتِ وَالسَّكَنَاتِ وَالْكَلِمَاتِ وَالْإِرَادَاتِ وَالْخَطَرَاتِ
“Kami memohon ‘Iṣmah dalam bergerak dan diam, dalam perkataan, keinginan dan pikiran;”
Doa tersebut merupakan penggalan dari hizb al-Bahr yang dikarang oleh Imam Abul Hasan al-Syadzili. Di dalam doa tersebut, kita memohon ‘Ishmah kepada Allah Swt dalam setiap gerak, diam, ucapan, keinginan dan pikiran kita.
Secara umum, ‘Ishmah atau kema’shuman, hanyalah ada di diri para Nabi dan Rasul. ‘Ishmah secara definisi yang disebutkan oleh Imam al-Taftazani di dalam kitab al-Ta’rifat,
العِصْمة: مَلَكة اجتناب المعاصي مع التمكن منها
“‘Iṣmah (perlindungan dari dosa) adalah kemampuan (sifat yang menetap) untuk menjauhi maksiat, padahal seseorang sebenarnya mampu melakukannya.” (Al-Ta’rifat, Qahirah: Daar al-Fadhilah, h. 127).
Sebagaimana yang dijelaskan, bahwa ‘Iṣmah hanyalah dimiliki oleh para Nabi dan Rasul Allah Swt, lalu kenpa di dalam doa tersebut justru kita meminta ‘Iṣmah, apakah ini tidak bertentangan dengan ketentuan tersebut?
Di dalam Dars Khassah yang diadakan oleh Zawiyyah Arraudhah bersama Syekh Idris al-Fasi al-Fihri pada Rabu Malam (25/6/2025). Beliau menjawab bahwa yang dimaksud dengan ‘Iṣmah bukanlah kita meminta kepada Allah Swt seperti apa yang diberikan kepada al-Anbiya’, tetapi kita meminta kepada Allah Swt al-Hifz (perlindungan) dari melakukan kemaksiatan, baik kemaksiatan tersebut berbentuk tindakan, ucapan, ataupun pikiran yang terlintas di dalam benak kita.
Kemudian beliau menjelaskan bahwa ‘ismah ini seperti halnya ucapan laa haula wa laa quwwata illa billah,
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
Makna kalimat la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah adalah tidak ada yang memiliki daya untuk bisa menghindar dari maksiat kecuali dengan adanya penjagaan dari Allah, dan tidak ada yang memiliki kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali mendapatkan taufiq dari Allah SWT.
Artinya, ia menganggap dirinya tidak bisa melakukan apapun tanpa disertai pertolongan Allah. Ini merupakan prinsip tauhid yang sebenarnya, yaitu menyandarkan semua urusan kepada Allah swt semata.
Jadi yang dimaksud dengan “Kami memohon Iṣmah…” dalam penggalan hizbul bahr, bukanlah kita meminta derajat yang sama sebagaimana yang diberikan oleh Allah swt kepada al-Anbiya’. Melainkan, kita hanya meminta perlindungan agar tidak melakukan maksiat meskipun maksiat sebenarnya bisa kita lakukan.
Tidak hanya itu, di dalam kitab Fathul ‘Aly al-Birr, dijelaskan, umat Islam diperbolehkan memohon ‘Iṣmah kepada Allah Swt dengan sebuah dalil bahwa Rasulullah Saw mengajarkan umatnya dengan sebuah doa,
والعصمة من كل ذنب
“Dan lindungilah aku dari segala dosa.”
Lalu,
وتعصمني بها من كل سوء
“Dan lindungilah aku dari segala keburukan.”
Dan
اللهم اعصمني من الشيطان الرجيم
“Ya Allah, lindungilah aku dari setan yang terkutuk.”
(al-Azmiry, Fathul ‘Aly al-Birr, Daar al-Nur al-Mubin, 2015).
Oleh karena itu, memohon kepada Allah Swt dengan ‘Iṣmah yang diartikan sebagai perlindungan diperbolehkan oleh syariat, dan tidak bertentangan.
Waallahu a’lam
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain