Jakarta, Aktual.com — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuat sejarah pada tahun ini setelah melayangkan gugatan perdata dengan nilai mencapai Rp7,8 triliun ke perusahaan perkebunan yang diduga telah membakar lahan.

Sidang gugatan KLHK pada PT Bumi Mekar Hijau ini masih berjalan di Pengadilan Negeri Palembang sejak dimulai pada Agustus 2015.

Proses hukum yang diharapkan menjadi bukti bahwa negara ada dalam kasus kebakaran lahan dan hutan ini berjalan tidak mudah, karena materi gugatan pemerintah senantiasa dapat diklarifikasi perusahaan di muka persidangan.

Tim penasihat hukum KLHK harus berjuang keras membuktikan perbuatan melawan hukum atas dugaan pembakaran lahan seluas 20.000 hektare pada tahun 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Akibat perbuatannya tersebut, negara mengalami kerugian lingkungan hidup sebesar Rp2,6 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp5,2 triliun dengan total Rp7,8 triliun.

Kondisi ini membuat tim penasihat hukum KLHK harus berjuang keras untuk memberikan padangan lain ke majelis hakim dengan menghadirkan saksi-saksi yang kredibel.

Akibatnya, sidang pun bertambah panjang. Padahal, pada Selasa (6/10) sudah diangendakan pembacaan putusan hakim, tapi karena penggugat mengajukan permohanan untuk menghadirkan ahli lain maka persidangan kembali dilanjutkan pada Selasa (13/10).

Ketua tim penasihat hukum KLHK Umar Suyudi yang dijumpai seusai mendengarkan keterangan di Pengadilan Negeri Palembang, Selasa (6/10), mengatakan, penambahan keterangan ahli ini dimaksudkan memperkuat gugatan perbuatan melanggar hukum ke perusahaan anak Sinar Mas Grup itu.

“Penambahan saksi saat proses persidangan berjalan ini diperkenankan pada kasus perdata, sementara ini sudah dihadirkan saksi-saksi termasuk saksi ahli dari ahli hukum lingkungan hidup,” kata dia.

Sementara itu, terkait berlarut-larutnya persidangan ini (gugatan dilayangkan sejak 3 Februari 2015), ketua tim penasihat hukum PT Bumi Mekar Sari Kristianto mengatakan sangat menyayangkan keadaan ini.

“Seharusnya sidang sudah selesai dengan pembacaan keputusan majelis hakim, tapi penggugat menambah terus. Jadi, posisi perusahan ini saat ini menunggu dan menunggu, apalagi yang akan disangkakan oleh KLHK,” kata Kristianto.

Persidangan yang berlangsung alot ini telah diprediksi oleh Direktur Eksekutif Daerah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Sumatera Selatan Hadi Jatmiko karena ia mengakui tidak mudah untuk menjerat perusahaan dengan gugatan melawan hukum telah membakar lahan.

Lantaran itu, sedari awal setelah gugatan dilayangkan pada 3 Februari 2015, Walhi sudah mengingatkan pemerintah untuk secara serius membuat materi gugatan agar tidak mentah di muka persidangan.

Kemudian, tak kalah penting yakni menyiapkan tim penasihat hukum yang kuat karena lawan yang dihadapi yakni perusahaan perkebunan berkantong tebal.

“KLHK harus serius menjalani sidang ini termasuk dalam menyusun materi gugatan dan menghadirkan saksi-saksi yang kredibel dalam persidangan, serta ahli yang tidak bersifat netral dengan latar belakang yang kuat” kata dia.

Menurut Hadi, gugatan ini sangat penting untuk langkah penegakan hukum di bidang lingkungan di Tanah Air.

Ketukan palu hakim diharapkan Walhi dapat membuat perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perhutanan menjadi jera untuk aksi tipu-tipu membakar lahan (memakai tangan warga).

Dia juga meminta majelis hakim tidak terpengaruh intervensi meski perusahaan yang terlibat adalah perusahaan besar di bidangnya.

“Jika nanti pemerintah kalah, nanti banyak korporasi baik di Sumsel maupun tingkat nasional yang akan lepas dari jeratan hukum. Hakim juga harus berpihak pada kebenaran yang hakiki dan jangan takut pada intervensi dari pihak mana pun,” kata Hadi.

Persoalan kebakaran lahan yang melanda negeri ini mulai terdata sejak tahun 1967 yakni mulai ditemukan bencana kabut asap di Palembang atas terbakarnya lahan seluas 2,5 hektare.

Setelah berjalan setengah abat, luas lahan yang terbakar di Sumsel cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya lahan sawit dari 50.120 hektera (1994) menjadi 827.212 hektera (2015).

Kondisi “force majeure” Sementara itu, berdasarkan pernyataan ahli yang dihadirkan penggugat yakni ahli hukum lingkungan hidup Atja Sondjaja disebutkan bahwa kasus kebakaran lahan dapat dinyatakan sebagai kondisi luar biasa (force majeure) jika terbukti disebabkan pengaruh cuaca.

Tapi, Atja memberikan catatan yakni, kondisi luar biasa ini dapat dinyatakan apabila perusahaan terbukti telah menerapkan standar operasional prosedur, memiliki sarana dan prasarana pencegah kebakaran, dan SDM yang mengurusnya.

Mantan hakim agung ini menjelaskan bahwa kondisi force majeure merupakan kondisi di luar kemampuan manusia. Sehingga, siapapun yang berada dalam kondisi tersebut maka akan menghadapi hal serupa.

“Contohnya, seseorang yang sudah berjanji akan menyerahkan sapi ke pembelinya, kemudian di tengah jalan ternyata hewannya itu di sambar petir, maka bisa dikatakan masuk kategori force majeure. Jadi dapat terlepas dari tanggung jawab karena terkena penyebab dari luar bukan dari dia,” kata dia.

Menurutnya, dalam kasus hukum lingkungan harus hati-hati dalam menetapkan kondisi force majeure ini karena harus juga mempertimbangkan unsur kesengajaan dan kelalaian.

Ia pun menyerahkan ke majelis hakim untuk menilainya ketika ditanya terkait kasus kebakaran lahan PT BMH itu.

“Jika perusahaan tersebut sudah menerapkan standar operasional prosedur dan menyiapkan semua sarana dan prasarana kebakaran lahan maka baru bisa lepas. Tapi, jika setelah diteliti dan dibuktikan ada unsur kelalaian dan kesengajaan maka dapat dijerat dalam perbuatan melanggar hukum,” kata dia.

Untuk perbuatan melanggar hukum ini, dapat dikenakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku melalui upaya pembuktian.

“Lalai itu merupakan perbuatan melanggar hukum meski tidak ada unsur kesengajaan karena dalam hukum, kelalaian itu bukan saja berdampak negatif tapi juga positif,” kata dia.

Sementara itu, Ketua tim penasihat hukum PT Bumi Mekar Hijau Kristianto mengatakan perusahaan sudah mengajukan pengklarifikasian di persidangan sebelumnya terkait telah dilakukannya standar operasional prosedur dan terpenuhi sarana dan prasarana pencegahan kebakaran.

“Begini saja, pemerintah saja sejak awal tahun sudah mempersiapkan upaya pencegahan, dan sejak Agustus sudah sibuk memadamkan api, apakah apinya padam ? Artinya ada faktor yang tidak mudah, yakni cuaca dan ini dapat dikategorikan force majeure,” kata dia.

Tak hanya mengklarifikasi mengenai SOP yang sudah dilakukan, PT Bumi Mekar Hijau selaku pihak tergugat juga mempermasalahkan nilai gugatan yang dilayangkan KLHK yang mencapai Rp7,8 triliun karena dianggap tidak seusai dengan fakta yang ada.

Kristianto yang dijumpai seusai menghadiri sidang gugatan perdata KLHK tersebut, mengatakan, ganti rugi ini diasumsikan pada kondisi ideal sementara sejak dimulai pemanfaatan lahan sudah tidak ideal.

“PT BMH mendapatkan surat izin pengelolaan pada 2004 sementara kasus bencana kebakaran hebat terjadi di tahun 1997, artinya kondisi lahan waktu itu sudah rusak,” kata dia.

Kemudian, ia melanjutkan, dengan investasi sebesar Rp1,5 triliun, maka lahan tersebut menjadi subur dan produktif.

“Dari alamnya saja sudah berubah ketika diterima, lalu perusahaan memperbaikinya. Jika nilai gugatannya seperti ini, maka sama saja seperti gubuk yang terbakar tapi minta ganti rumah. Seharusnya melihat kondisi awal, bukan kondisi idealnya, kecuali memang dari awal sudah bagus,” kata dia.

Perusahaan juga mengharapkan majelis hakim mempertimbangkan lokasi kebakaran karena terjadi di area akasia yang siap panen dengan seluas 20 ribu hektare (luas masih dipertanyakan juga) dari total 250 hektare areal konsesi.

Bukannya, lahan yang tidak produktif sehingga ada unsur kesengajaan untuk dibakar dengan maksud pembersihan.

“Logikanya dimana, perusahaan yang sudah investasi besar sudah membangun kanal dengan biaya yang besar mau membakar lahannya sendiri,” kata dia.

Sementara itu, saksi ahli Atja Sondjaja dalam keterangannya di persidangan yang dipimpin Parlas Nababan mengatakan, dalam gugatan perbuatan melawan hukum harus ada unsur kerugian.

“Kerugian ini, harus dijelaskan dalam bentuk materil dan inmateril. Semuanya bisa dikonversikan ke uang. Semisal untuk kasus kebakaran lahan, berapa kerugian yang diakibatkan seperti kesehatan, dan lainnya dapat dikonversikan ke uang,” kata dia.

Molornya persidangan ini juga disoal PT BMH karena telah merugikan dari sisi pendapatan perusahaan, karena sejak digugat ke pengadilan secara perdata telah berimbas pada penjualan produk kayu di negara-negara Eropa.

“Negara Eropa membuat standar tertentu atas produk yang belum masuk terkait dengan konsumen hijau. Akibat persoalan ini, telah menggangu pasar perusahaan, karena sudah ada yang menolak meski ada yang masih bersedia menerima,” kata dia.

Lantas, dengan asumsi ini, ia mempertanyakan apakah mungkin perusahaan yang sudah menginvestasikan dana sebesar Rp1,5 trilun kemudian membakar lahannya.

“Perusahaan mengharapkan justru persidangan ini membuka mata dan memberikan pencerahan ke banyak pihak,” kata dia.

Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan menjadi bencana nasional yang bukan hanya menyengsarakan Indonesia tapi juga negara tetangga, Singapura dan Malaysia.

Tindakan tegas dan tanpa pandang bulu dalam menjerat pelaku pembakar lahan, mulai dari tenaga lapangan hingga pemilik korporasi menjadi pilihan tepat untuk memberikan efek jera, sehingga musibah kabut asap yang sudah terjadi sejak 48 tahun silam ini terhenti.

Kini setelah berlangsung sekian lama, masyarakat menanti, seperti apa penegakan hukum kebakaran lahan ketika masuk ranah pengadilan. Apakah hanya akan menjerat warga yang notabene perpanjangan tangan oknum perusahaan?

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan