Habib Ali Kwitang bersama Habib Ali Bungur

Jakarta, Aktual.com — Terlepas dari kegaduhan yang dipertunjukkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, saya malah jadi tergugah untuk menyelami salah satu apek dari khazanah Keislaman dan kebudayan Betawi. Khususnya kiprah para ulamanya.

Salah satunya Habib Ali Alhabsyi di Kwitang, Jakarta Pusat.

Setidaknya tiga Majelis taklim di Jakarta: Majelis Taklim Assafiiyah di Bali Matraman, Jakarta Selatan, Majelis Taklim Atthahiriyah, jl Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan, dan tentu saja Majelis Taklim Habib Ali Alhabsyi, Kwitang, boleh dibilang menginduk dari Habib Ali Kwitang, Jakarta Pusat.

Beliau lahir pada 1868, dan wafat pada 1968, di usianya yang mencapai 100 tahun. Sejak beliau berusia 20 tahun, mulai merintis majelis taklimnya. Sebelum di Kwitang, majelisnya memusatkan kegiatannya di Tanah Abang. Setelah itu, beliau mendirikan Masjid Al-Riyadh, di Kwitang.

Kalau melihat keluasan lingkup pergaulan beliau, ternyata tidak saja berskala nasional, melainkan juga internasional. Mereka yang hadir ke majelis taklimnya bukan saja dari Jakarta dan berbagai kota di Tanah Air, juga dari Singapura dan Malaysia.

Murid-murid Habib Ali, yang kemudian sohor sebagai ulama-ulama terkemuka antara lain: KH Abdullah Syafiie dan KH Tohir Rohili. Kelak KH Abdullah Syafiie, yang kelak menjadi motor utama Majelis Attahiriyah.

Kepribadian Habib Ali ini menarik. Pada pemilu pertama RI tahun 1955, Habib Ali memang sama sekali tidak menampakkan pemihakannya pada salah satu partai. Namun secara kultural beliau lebih dekat dengan NU.

Salah satu murid Habib Ali dari kalangan kader NU dan kelak menjadi salah satu pucuk pimpinan tertinggi di NU dan diperhitungkan sebagai salah satu tokoh politik nasional adalah KH Idham Chalid. Di era pemerintahan Suharto, KH Idham Khalid pernah menjadi Ketua DPR-MPR RI.

Segi lain yang menarik dalam setting politik di era pemerintahan Sukarno kala itu, meskipun banyak ulama Betawi yang bermahzab Syafii dan berpaham ahlus sunnah wal jamaah, tetapi di ranah politik berkiprah di Partai Masyumi. Misalnya saja guru Mansyur(Jembatan Lima), Kiai Naruli, KH Ali Hamidy dan belasan ulama lainnya.

Sekadar informasi, waktu itu NU dan Masyumi masih bersatu di bawah satu atap. Sayangnya, beberapa waktu menjelang Pemilu 1955, Masyumi dan NU harus bercerai, karena tidak adanya kesesuaian paham. Sehingga NU kemudian NU maju ke pemilu 1955 sebagai partai politik.

Majelis Taklim Habib Ali terbuka untuk siapapun, Majelis ini juga sering didatangi oleh orang-orang Muhamadiyah seperti KH Abdullah Salim, pimpinan Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru ketika itu.

Kalau kita cermati di era sekarang, kita baru nyadar betapa peran kehadiran sosok seperti Habib Ali, tak pelak lagi telah menjadi benteng kebudayaan warga Betawi, apalagi ketika Belanda semakin memperkokoh kekuasaannya di Betawi tidak saja secara ekonomi, melainkan juga penjajahan di bidang kebudayaan seperti westernisasi(proses pembaratan) di bidang pendidikan sampai ke gaya hidup yang kebarat-baratan.

Menutup tulisan singkat ini, menarik merenungkan kembali cerita Alwi Shahab dalam sebuah artikelnya bertajuk Ulama-Ulama Betawi.

Waktu itu, 1976, di Gang Lontar, Tanah Abang, tinggal mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Buya Sutan Mansyur, yang juga ipar dari Buya Hamka. Beliau sebagai ulama Muhamadiyah, sering sholat di Masjid Al-Ikhlas yang dikelola NU. Bahkan beliau sering menjadi Khatib.

Inilah semangat ukhuwah Islamiyah, yang agaknya kita harus belajar banyak dari para ulama tempo doeloe. Seakan seluruh riwayat hidup beliau-beliau itu hendak menyampaikan pesan penting bahwa musuh besar kita adalah imperialisme dan kolonialisme. Bukan sesama anak bangsa, apalagi sesama umat Islam.

Maka dalam kesempatan inilah, kita mengenang kembali yang mulia Habib Ali Alhabsyi Kwitang.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit