Oleh: Irawan Santoso Shiddiq, SH*

Ian Dallas mengatakan: “Politik menghancurkan taqwa.’ Sekilas kalimat ini dianggap kontroversi. Karena makna politik diartikan sebagai ‘banyak cara.’ Terlebih dalam hal meraih dan mempertahankan kekuasaan. Ternyata jika membaca buku ‘The Entire City’ karya Ian Dallas, akan mafhum makna ‘politique’ aslinya.

Karena kosakata ‘politik’ bukanlah asli dari nusantara. Ini kata serapan. Tak ada dalam Bahasa Aceh, Minang, Batak, Jawa ataupun Manado. Ini asli dari  Yunani kuno. Yang diserap masa Romawi. Kemudian digunakan lagi dalam era modern. Karena fase modern, dimulai sejak pasca Revolusi Perancis, 1789, di kota Paris, Perancis.

Sekuel ‘The Entire City’ mengupas habis babakan itu. Ian Dallas mengetengahkan motto-nya, ‘respice prospice.’ Melihat ke belakang untuk maju ke depan. Sejarah menjadi catatan penting untuk memahami era kini. Dan jadi bahan untuk masa depan. The Entire City penuh dengan rangkaian sejarah, tapi yang tak datang dari sudut pandang Bahasa kurikulum. Karena ternyata barat banyak menyembunyikan fakta yang terjadi sesungguhnya.

Ini bisa dilihat di bagian awal buku. Ulasan tentang ‘Vindiciae Contra Tyranoss.’ Perlawanan Terhadap Tirani Kekuasaan. Ini artikel yang ditulis Duplessis Mornay, abad 16. Beliau penasehat Raja Perancis, Charles IX. Vindiciae ditulis pasca tragedy ‘Massacre at Paris’ tahun 1572. Inilah genosida yang terjadi karena perang ‘aqidah.’ Antara pengikut Gereja Roma yang Katolik, melawan pengikut Luthern dan Calvinis. Atau biasa disebut Protestan. Masa itu Eropa tengah dalam kegelapan. Islam lagi berada dalam kejayaan. Daulah Ustamniyya masih perkasa. Kesultanan di Jawa tengah terbentuk. Kesultanan Aceh Darussalam lagi kuat-kuatnya. Begitu juga dengan Kesultanan Moghul di anak Benua India. Tapi Eropa berbanding terbalik. Mereka terpecah. Perang karena aqidah.

Vindiciae disyarah oleh Harold Laski, lawyer Inggris. Laski mengatakan bahwa ‘Kita harus mengevaluasi ulang tentang ‘state’ (negara).’ Karena Laski melihat adanya ‘ketiranian baru’ pasca tragedy Massacre at Paris.

‘Massacre’ tentu bentuk pembantaian tak biasa. Perancis terpapar perang antara pengikut ‘jabariyya’ melawan pengikut ‘qadariyya.’ Mereka saling bantai. Tapi analisis Mornay, kala itu ketiranian berada dalam Gereja Roma dan Raja. Kala itu memang Raja dan Gereja bak ‘umara dan ulama’ yang mengatur Eropa. Tapi Roma berubah menjadi tirani. Karena setiap pengikut Huguenot langsung dibantai. Pertanda tak ada kebebasan (freedom).

Pasca ‘massacre’ itulah kaum Eropa mulai membincangkan perihal ‘freedom.’ Maka bergulirlah paham bahwa ‘manusia sejatinya diberikan akal’ untuk mengatur alam dunia. Paham filsafat makin diminati. Seolah itulah jalan menuju ‘kebebasan manusia.’ Makanya aliran free will kemudian mencuat tajam. Karena dari pandangan Vindiciae, kita memahami saat itu kaum agamawan (Roma) bertindak bak ‘ketiranian.’ Karena dogma-dogma Katolik membuat terjadinya pemaksaan. Sementara satu sisi, menurut Dallas, kondisi itu bertentangan dengan rasionalitas.

Termasuk dalam hal kekuasaan. Era itu Eropa berada dalam adagium ‘Vox Rei Vox Dei’ (suara Raja Suara Tuhan). Raja dianggap wakil Tuhan. Tapi perihaku Raja telah memenuhi ‘the king can do no wrong.’ Sementara secara eksplisit, hasrat syahwati Raja telah membabi buta. Disitulah muncul manhaj baru dalam cara pandang kekuasaan. Yang dimulai dari Nicollo Machiavelli.

Dia menelorkan manhaj ‘politique.’ Machiavelli menelorkan adagium bahwa ‘kekuasaan’ haruslah ditasbihkan pada pihak yang berhasil merebut dan mempertahankan kekuasaan. Teori ini kemudian disahuti Thomas Hobbes. Kitabnnya Leviathan, membuat seolah manusia menjadi penentu dalam kekuasaan. Tak mesti mengikuti titah Gereja. Jean Bodin melengkapinya dengan teori ‘soverignty’ (kedaulatan). Kerajaan harus berdaulat penuh, tanpa intervensi. Sebelumnya ada Montesquei yang melahirkan teori ‘trias politica.’ Raja tak memiliki kekuasaan absolut. Melainkan kekuasaan berada dalam tiga rangkai instansi lembaga. Sampai puncaknya datang Jea Jacques Rosseau dengan teorinya ‘le contract sociale.’ Seolah kekuasaan adalah ‘kehendak manusia.’ Bukan ‘Kehendak Tuhan.’ Modernisme dan modern state merujuk pada manhaj ‘politique’ sepenuhnya.

Ini yang kemudian jadi pijakan pasca Revolusi Perancis, 1789. Dalam tragedy ini, kejadian berbalik. Kaum Protestan yang gentian membantai pengikut Raja dan Gereja. Kaum Huguenot membantai Katolik. Di Paris, Perancis, pembantaian antar ‘aqidah’ itu silih berganti. Begitulah wajah Eropa masa lalu. Tapi kaum modernisme yang kemudian memenangkan peperangan, hingga melahirkan ‘modern state.’ Ini model tunggal yang dijadikan pola kekuasaan seantero dunia kini.

Sekuel kedua, Dallas mengetengahkan perihal drama ‘Massacre at Paris’ yang ditulis Christopher Marlowe, dramawan Perancis. Marlowe mengungkapkan sisi di balik Kerajaan Perancis kala pembantaian itu berlangsung. Dari drama Marlowe, Dallas menunjukkan bagaimana pola hasrat syahwati kerajaan yang sudah membabi buta. Tak ada lagi amaliah ‘wakil Tuhan’ dalam pola kerajaan. Maka makin tampaklah bagaimana pola kerajaan Eropa masa lalu yang telah berubah menjadi ‘tirani.’

Itu yang kemudian melahirkan ‘state modern.’ Tapi manusia modern kemudian diambang keterpurukan kedua. Revolusi Perancis melahirkan adagium ‘liberte, egalite, fraternite,’ yang ternyata seolah azam untuk kebebasan. Karena perbudakan kemudian dihapuskan. Tapi kemudian memunculkan neo perbudakan. Selepas Raja dan Gereja tak lagi mendapat tahta, kekuasaan digantikan oleh kaum ‘la sect.’ Inilah para bankir Yahudi yang menggantikan kedudukan Gereja Roma. Jika sebelumnya Roma duduk sebagai pengatur Raja, kemudian modern state membuat kaum banker pengatur ‘head of state’ atau Raja/Presiden. Itulah yang membuat perbudakan tetap berjalan.

Sekuel ketiga, Dallas menghadirkan drama yang dibuatnya sendiri ‘Oedipus dan Dionysus.’ Ini drama yang dikenal sejak masa lalu. Tapi dari drama Dallas, didapati bagaimana pertarungan antar ‘aqidah.’ Antara pemeluk jabariyya dan qadariyya. Karena sindrom Oedipus, kemudian menjangkiti manusia modern. Sehingga manusia modern bak burung yang tak berdaya. Ini persis lukisan Marx Ernst, yang ditampilkan Dallas di halaman awal buku. Lukisan itu menggambarkan kepasifan manusia modern menghadapi ketiranian model baru: state modern yang dikooptasi bankir.

Dari rangkaian itu, The Entire City menunjukkan pertarungan antar aqidah yang berlangsung diranah Eropa, sejak abad pertengahan. Memang gaya penulisannya, bukanlah bak kitab-kitab aqidah dengan ayat-ayat Al Quran dan Hadist. Tapi ditampilkan dengan titik kejadian mendetail, bagaimana penggambaran bahwa setiap peradaban dipengaruhi ‘aqidah’ yang dikembangkan. Era abad pertengahan, Eropa terjerambab oleh jabariyya Roma. Kemudian era modern, dunia terjerambab oleh neo qadariyya yang dihadirkan kaum modernis. Inilah wajah modern state kini.

Buku The Entire City ini syarat akan makna mendalam. Detail sejarahnya sangat jauh menusuk, membuat kita kaya akan literasi tinggi. Tapi Dallas memberikan literasi yang tak biasa. Dengan sumber-sumber dari barat juga, tapi yang jarang sekali dipelajari di perguruan tinggi. Makanya di awal buku itu, Dallas sudah berpesan, “Bersabarlah, karena ini bukan seperti yang engkau pelajari…” dalam membaca buku itu.

Namun The Entire City memberikan jawaban. Dallas menutupnya dengan Surat Al Kahfi, yang ditafsir Ibnu Ajibah, seorang ulama besar sufi. Surat Kahfi yang ditunjukkan Dallas dalam buku itu, memberikan petunjuk bagaimana harus bersikap dalam menghadapi ketiranian era modern. Bak para Pemuda Kahfi, yang berkumpul dalam satu titik, tanpa mengenal satu sama lain, tapi bersetuju dalam melawan kemusyrikan. Begitulah sejatinya perlawanan terhadap ketiranian kini. Manusia harus aktif, bukan pasif.

Sementara mayoritas manusia bersikap pasif. Ini bak jabariyya, yang menerima saja terhadap ‘Takdir,’ tanpa adanya kasab (usaha).

Buku The Entire City ini ditulis oleh Mursyid tariqah Qadiriyya Shadziliyya Dharqawiyya. Karena nama lain Ian Dallas adalah Shaykh Abdalqadir as sufi. Ini adalah buku terakhir yang ditulisnya sepanjang dia hidup, 1930-2021. The Entire City menjadi legacy atas pengajarannya sebagai Mursyid.

Buku ini menggambarkan pengaharan Tauhid dari sisi yang berbeda. Intinya adalah manusia harus berani melawan ketiranian yang kini menyelimuti. Seperti pesan Dallas, “Kembalilah pada klanmu….” Karena modern state, yang dikooptasi oleh banker, telah merusak asyabiyya klan, yang berakibat hilangnya fitrah.

*Penulis adalah Advokat dan Mudhir Idaroh Wustho Jamiyyah Ahlith Thariqah al Mu’tabarah an Nadliyyah (JATMAN) DK Jakarta periode 2024-2029.

 

Artikel ini ditulis oleh:

Irawan Santoso Shidiq