Foto: KH. Muhammad Danial Nafis ketika berziarah di Humaitsara, Syaikh Abi al-Hasan Asyadzili

Jakarta, aktual.com – Tinggalkanlah keakuan dalam dirimu dan keluarkan hawa nafsu itu dari kalbumu dengan cara tidak menurutinya. Janganlah kau sekutukan Dia dengan sesuatu makhlukpun! adapun keinginan, nafsu dan syahwatmu semua itu adalah makhluk-Nya. maka janganlah kau mempunyai keinginan dan kehendak, jangan kau turuti hawa nafsu dan kecondongan syahwatmu agar kau tidak tergolong orang yang musyrik (mempersekutukan Allah).

Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS. Al-Kahf 110)

Jadi, bukanlah Syirik / mempersekutukan Allah itu dengan menyembah berhala saja. tapi tunduknya dirimu kepada hawa nafsu, dan bersama dengan Tuhanmu kau lebih memilih selain-Nya berupa dunia dan seisinya, akhirat dan seisinya. itu semua juga bagian dari syirik. Karena segala sesuatu selain Allah adalah bukan Dia. Maka jangan sampai kau jadikan segala sesuatu selain-Nya sebagai tujuan dan sandaranmu. Dan kau tidak akan selamat dari syirik selama dirimu belum masuk ke dalam tauhidul Af’aal, tauhidul Asmaa’,  tauhidus Sifat dan tauhidud Dzat.

Syirik khofi itu bukan hanya Riya’ dan Sum’ah saja. Masih adanya keakuan dan keinginan dalam dirimu itu menunjukan syirik khofi masih bertengger di dalam hatimu. Seperti ketika engkau berdiri menanti di pintu istana-Nya. maka tunggulah sampai Dia memanggil dan menarikmu. jangan kau masuk kedalam istana itu atas dasar keinginanmu karena yang demikian itu menunjukan buruknya tata kramamu kepada Sang Maharaja.

Maka kita tidak akan Liqoo’ wal Musyahadah / berjumpa dan menyaksikan Allah Taala kecuali setelah cermin di dalam kalbu kita telah bersih dari debu-debu keinginan dan noda-noda kesyirikan. Sebagaimana sabda Nabi saw:

«الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ»

“Orang Mukmin adalah cerminan Tuhan Yang Maha menjaga dan memberi keamanan.”

Al-Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa المرآة dalam hadits ini terletak didalam hati. Maksudnya adalah hatinya orang mukmin itu menjadi cermin keindahan dan keagungan /Jamal dan Jalal Allah swt. Namun bagaimana kita bisa bercermin jika cermin itu lusuh penuh kotoran dan debu? tidak pernah digosok  dengan dzikir? Karena fungsi dzikir diantaranya adalah untuk menggosok cermin kalbu dari kotoran-kotoran dan debu yang menutupinya.

Diantara noda yang sulit dihilangkan dari cermin itu adalah noda keakuan dan kedirian yang menjurus kepada syirik khofi. merasa bangga telah melakukan ibadah, merasa ‘Alim, merasa Faqih sudah membaca banyak kitab. sudah sekolah kemana-mana, hafal Qur’an. Namun ia memandang semua itu sebagai hasil dari usahanya sendiri, ia lupa bahwa itu semua adalah hasil dari minnah / anugerah dan pertolongan Allah. Semoga Allah karuniakan kepada kita kemurnian tauhid dan ibadah yang bersih dari kesyirikan.

Ridho dan syukurilah setiap Haal / kondisi ruhani yang Allah anugrahkan kepadamu berupa tetesan-tetesan sibgoh-Nya namun jangan pernah kau minta dan pertanyakan haal dirimu itu kenapa tidak kunjung berpindah kepada haal yang lain karena Haal / kondisi ruhani itu merupakan kehendak Allah atas dirimu yang harus kau terima dan syukuri. Jangan kau umbar dan ceritakan maqom dan haal yang Allah anugrahkan kepadamu kecuali hanya kepada ahlinya. Karena nikmat ruhani juga akan mengundang iri dengki orang yang mendengarnya sebagaimana nikmat duniawi yang kau umbar dan ceritakan telah mengundang orang-orang untuk hasud. jika kau tidak bisa menahan diri untuk mengungkapkan nikmat ruhani itu maka cukup ceritakan kepada murobby / guru spiritualmu. Waspadalah terhadap penyakit yang banyak menimpa salik di dalam perjalanannya berupa Kasl (malas), futuur (kehilangan arah), malal (bosan), wuquuf bil ibadah (merasa puas dan cukup dengan ibadah yang telah dilakukan) dan Syirik khofi (persekutuan yang samar) sebagaimana telah dibahas di atas.

Alhasil, Shulthonul Auliya Sidy Syekh Abdul Qadir al-Jailani qs. Mengajarkan kepada kita bahwa ada tiga hal yang harus dilakukan untuk mengusir kegalauan dan kegundahan hati yakni dengan 1. Beramal Sholeh, 2. Memurnikan tauhid / tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, 3. Banyak beristighfar.

Taubat dan istighfar tidaklah akan pernah selesai dan tuntas didalam perjalanan ini bahkan ketika telah mencapai maqom qurbah / kedekatan sekalipun. Rasulullah saw. sebagai uswatun hasanah pun tetap melanggengkan istighfar sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat hadits bahwa beliau beristighfar dalam sehari sebanyak 70 kali atau 100 kali dalam riwayat hadits yang lain. Dari sini kita mengetahui bahwa istighfar itu bertingkat-tingkat martabatnya sesuai dengan maqom seseorang. Jangan dianggap bahwa istighfar Rasulullah saw yang ma’shum / dijaga dari dosa itu sama seperti istighfar kita yang bergelimang dengan dosa.

ربنا ظلمنا أنفسنا و إن لم تغفر لنا و ترحمنا لنكونن من الخاسرين

Dari istighfar Nabi Adam as. Ini Kita belajar bahwa Al-I’tiroof / mengakui kesalahan dan dosa itu lebih baik ketimbang merasa bangga dengan ibadah yang telah di lakukan. Ibadah kita belum tentu bersih dari syirik bahkan ibadah kita mungkin banyak yang perlu diistighfari. Sedangkan taubat yang disertai pengakuan dan penyesalan itu akan mendatangkan rahmat Allah karena Allah At-Tawwab Ar-Rahiim Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Sumber: Resume kajian tasawuf KH. Muhammad Danial Nafis saat menguraikan kitab Anwarul Hadi / Futuuhul Ghaib, di Zawiyah Arraudhah, selasa [10/3/2020], Tebet, Jakarta Selatan.

 

Artikel ini ditulis oleh:

Eko Priyanto