Menteri Pertahanan (Menhan) Jenderal TNI (Purn) Syafrie Sjamsoeddin saat menyampaikan kuliah umum menteri pertahanan di Universitas Hasanuddin, Makassar (Youtube: Unhas TV)
Menteri Pertahanan (Menhan) Jenderal TNI (Purn) Syafrie Sjamsoeddin saat menyampaikan kuliah umum menteri pertahanan di Universitas Hasanuddin, Makassar (Youtube: Unhas TV)

Jakarta, aktual.com – Menteri Pertahanan (Menhan) Jenderal TNI (Purn) Syafrie Sjamsoeddin, menyampaikan keprihatinannya terhadap praktik pencurian sumber daya alam Indonesia yang berlangsung sejak lama dan terus menggerus kekayaan negara. Ia menggambarkan kondisi tersebut sebagai ancaman nyata yang berjalan diam-diam dan merugikan bangsa dalam skala luar biasa.

Dalam penjelasannya, Syafrie membuka dengan kisah tentang bagaimana sumber daya alam Indonesia menjadi sasaran negara lain yang tidak memiliki komoditas serupa. Ia mencontohkan potensi timah di Bangka Belitung yang termasuk salah satu yang terbesar di dunia.

“Saya kalau boleh sedikit bercerita bagaimana negara yang kaya ini mau dicolong, mau dicuri oleh negara orang lain yang tidak mempunyai sumber daya alam. Saya kasih contoh bahwa di Bangka Belitung kita mempunyai hasil timah yang sangat besar di dunia,” ujarnya, dalam kuliah umum di Universitas Hasanuddin (Unhas), Rabu (10/12/2025).

Ia menambahkan bahwa ada negara yang mampu menjadi eksportir timah besar. Padahal, kata dia, negara tersebut tidak memiliki produksi timah. Fenomena itu, ia sebut sebagai bukti lemahnya pengamanan sumber daya Indonesia hingga memunculkan praktik penambangan ilegal.

Syafrie kemudian mengingatkan kembali sejarah pemberantasan penyelundupan timah pada 1977. Ia mengatakan bahwa keberhasilan itu hanya bertahan 21 tahun.

Setelah 1998 hingga September 2025, menurutnya, hanya sekitar 20 persen penghasilan timah yang masuk ke negara melalui BUMN, sedangkan sisanya hilang ke luar negeri tanpa kontribusi ke kas negara. “80% dibawa keluar, tanpa membayar pajak, tanpa membayar apapun kewajiban orang untuk membayar. Ini ironi bangsa kita,” katanya.

Pernyataan itu ia sampaikan sebagai peringatan bahwa kerugian tersebut akan berdampak panjang jika dibiarkan begitu saja. Ia menegaskan bahwa PT Timah, yang di masa kejayaannya mampu menjadi penopang ekonomi seperti Pertamina dalam sektor minyak dan gas, kini merosot jauh akibat kebocoran yang terus terjadi.

Syafrie menyebut bahwa seharusnya perusahaan itu bisa mencatat pendapatan hingga Rp20-25 triliun rupiah per tahun, tetapi kenyataannya hanya memperoleh sekitar Rp1,3 triliun. Ia menggambarkan selisih tersebut sebagai bukti bahwa pengawasan negara terhadap sektor strategis masih terlalu lemah.

Di hadapan para mahasiswa Unhas, Syafrie juga mengingatkan pentingnya melindungi hutan lindung sebagai bagian dari kekayaan nasional. Ia merujuk pada bencana besar di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara sebagai pengingat bahwa kelalaian menjaga hutan bisa menimbulkan dampak serius bagi masyarakat.

Pandangan Syafrie tersebut sejalan dengan pernyataan mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, yang melalui akun X menulis perhitungan kerugian negara akibat aktivitas tambang ilegal. Dalam unggahannya, Said Didu menyebut bahwa selama dua dekade terakhir negara dirugikan sekitar 800 miliar dolar AS atau sekitar 13.000 triliun rupiah dari praktik ilegal di sektor pertambangan.

Ia merinci enam bentuk tindakan yang menyebabkan kebocoran tersebut. Tindakan curang tersebut mulai dari penambangan tanpa izin, penambangan melebihi batas izin, pelaporan hasil yang dimanipulasi, hingga praktik transfer pricing dengan pembeli luar negeri.

Ia menambahkan bahwa banyak perusahaan melakukan kombinasi dari berbagai pelanggaran tersebut, sehingga angka kerugian yang disebutkan Menhan dianggap masuk akal. “Hampir semua perusahaan penambangan melakukan ilegal mining, sehingga angka yang dikemukakan oleh Pak Menhan rasional dan masuk akal,” tuturnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Achmat
Rizky Zulkarnain