Jakarta, aktual.com – Menyambut Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2025, sekumpulan komunitas orang muda dari berbagai negara berkumpul secara daring dalam sebuah diskusi internasional bertajuk “Breaking the Illusion: A Global Youth Conversation Unmasking Tobacco Industry Tactics”. Acara ini diinisiasi oleh Global Youth for Tobacco Control (Y4TC), berkolaborasi dengan Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), ASEAN Youth Organization, dan Beyond Health Indonesia.
Dalam sesi berdurasi satu jam tersebut, para pembicara muda dari Filipina, Indonesia, Kenya, dan Vietnam secara lugas membongkar berbagai trik manipulatif industri rokok yang menyasar banyak orang muda. Mulai dari desain produk menyerupai mainan, penggunaan rasa buah dan permen, iklan dan promosi di acara yang disukai orang muda, hingga infiltrasi dalam budaya pop dan media sosial.
*Judy Delos Reyes dari Filipina* membawa perspektif unik tentang bagaimana industri rokok menyusup ke dalam budaya orang muda dengan tidak selalu menjual rokok secara konvensional, tapi seolah menyulapnya menjadi gaya hidup yang ‘kekinian’. “Di Filipina, mereka mengundang DJ kelas dunia seperti Steve Aoki untuk tampil di acara yang berafiliasi dengan produsen rokok. Ini bukan hanya tentang promosi produk, tapi ini kampanye gaya hidup dan target utamanya adalah kami, generasi muda,” ungkap Judy.
Bagi Judy, keterlibatan figur budaya pop hanyalah puncak gunung es dari taktik industri untuk membangun citra bahwa rokok adalah bagian dari tren, bukan ancaman.
Gambaran itu terasa begitu dekat dengan realitas di Indonesia. *Nadhir Wardhana Salama* , dari Beyond Health Indonesia, menegaskan bahwa taktik industri rokok tak hanya menyusup ke gaya hidup, tetapi juga menembus ruang-ruang kebijakan publik yang seharusnya steril dari pengaruh korporasi. “Intervensi industri rokok di Indonesia masih sangat tinggi. Menurut laporan Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) mencapai poin 84. Bayangkan, pasal pengendalian tembakau pernah hilang dari UU Kesehatan di tahun 2009. Bahkan, kami melihat langsung bagaimana pejabat bisa terafiliasi dengan industri ini,” tegasnya.
Pola intervensi industri rokok seperti yang digambarkan Nadhir ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Dari benua Afrika, *Elvina Majiwa dari Kenya* , menunjukkan bahwa taktik serupa juga dijalankan dengan sangat sistematis dan berlapis. “BAT Kenya bahkan menggugat regulasi pengendalian tembakau hingga ke Mahkamah Agung. Mereka tak segan memanfaatkan organisasi pihak ketiga untuk menyuarakan argumen yang sama, demi melemahkan regulasi kesehatan,” ujarnya.
Meski Kenya telah memiliki kerangka hukum pengendalian tembakau yang kuat sejak tahun 2007, praktik di lapangan menunjukkan masih maraknya interaksi tidak perlu antara industri dan pejabat publik. Dalam konteks regional, Kenya menjadi lokasi strategis bagi operasi industri tembakau di Afrika, sehingga tekanan terhadap kebijakan kesehatan publik pun semakin intens.
Melengkapi pernyataan Elvina, *Huong Nhài dari Vietnam* tidak hanya membongkar taktik industri rokok, tetapi juga menguraikan bagaimana industri bekerja secara diam-diam dan terstruktur mendekati pemerintah, mendanai riset penuh misinformasi, hingga menciptakan organisasi bayangan untuk menekan kebijakan publik. “Mereka bahkan menyumbang ke rumah sakit saat pandemi, bukan karena peduli, tapi karena tahu citra baik bisa menjadi alat lobi paling kuat,” jelas Nhài.
Nhài menekankan pentingnya membangun sistem tangguh yang bisa mengenali dan menolak intervensi industri sejak awal. Ia mendorong agar pasal 5.3 Konvensi FCTC diintegrasikan ke strategi antikorupsi nasional, dan agar kesadaran lintas sektor seperti jurnalis, pejabat, hingga masyarakat terus diperkuat.
Salah satu momen paling menyentuh datang dari peserta termuda dalam diskusi ini, berinisial MJ, seorang siswa sekolah dasar berusia 11 tahun dari Indonesia. Meski masih belia, Jibriel mengikuti jalannya diskusi dengan penuh perhatian dan akhirnya menyampaikan pernyataan sederhana namun sangat mengena, “Saya berharap pemerintah bisa lebih melindungi saya dan teman-teman dari asap rokok, supaya kami bisa bermain di luar dengan aman,” tuturnya.
Pernyataan Jibriel menjadi pengingat kuat bahwa perjuangan ini bukan sekadar soal regulasi atau strategi komunikasi. Ini tentang masa depan anak-anak seperti Jibriel, tentang hak setiap anak untuk tumbuh sehat dan aman dari paparan asap rokok.
Dari harapan polos seorang anak, nyala perjuangan itu diteruskan oleh mereka yang berdiri di garis depan, seperti *Manik Marganamahendra* . Sebagai Ketua Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) dan penerima Global Young Ambassador of The Year Award dari Campaign for Tobacco-Free Kids (CTFL), Manik tidak bicara dari podium prestasi, tapi dari garis depan perjuangan.
Melihat semangat peserta yang tak surut meski menghadapi tantangan besar, Manik menyampaikan ajakan penuh daya yang terinspirasi dari simbol perlawanan dalam sebuah kisah fiksi yang lekat dengan generasi muda, Mockingjay.
“Ini bukan sekadar perlawanan terhadap industri rokok, tapi perebutan atas masa depan kita. Kita bukan penonton dalam kisah ini, tapi justru kitalah tokoh utamanya. Dan ketika kita bersatu, kita bisa jadi ‘Mockingjay’, yaitu simbol keberanian, suara perlawanan, dan harapan yang tak bisa dibungkam,” tegas Manik, mengakhiri sesi dengan semangat membara.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain