Jakarta, Aktual.com – Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak gelombang ke-3 tinggal hitungan hari akan berlangsung di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten seluruh Indonesia. Saat ini proses Pilkada tengah memasuki masa tenang, yang berarti tidak boleh lagi ada aktivitas kampanye oleh para calon dan tim suksesnya sampai proses pemilihan berlangsung Rabu 27 Juni 2018.
Namun di masa-masa tenang ini, masih ada sebagian masyarakat yang meragukan netralitas Polri, apalagi setelah terungkap secara viral pidato Wakapolda Maluku Brigjen Pol Hasanuddin yang memerintahkan jajarannya untuk memenangkan salah satu pasangan calon, setelah sebelumnya juga di publik terjadi pro dan kontra atas pelantikan jenderal bintang tiga yang masih aktif dari Polri yakni Komjen Pol Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, menggantikan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heriawan (Aher) yang telah berakhir masa tugasnya.
Meskipun pada Januari 2018 silam Kapolri Jenderal Tito Karnavian pernah 13 aturan sebagai pedoman bagi jajaran Polri untuk bersikap netral dalam Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019, namun itu nampaknya belum cukup menjawab keraguan masyarakat, termasuk oleh Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat ini menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
SBY: Ada Oknum Polri, TNI, BIN Tak Netral
Dalam konferensi pers sebelum kampanye akbar pasangan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi di Bogor, SBY menyebutkan sejumlah tanda-tanda ketidaknetralan oknum Badan Inteligen Negara (BIN), TNI, Polri dalam pelaksanaan proses politik di Tanah Air. Bahkan SBY mengaku siap diciduk atas pernyataannya tersebut. SBY berpesan agar BIN, TNI dan Polri bisa menjaga netralitas dalam Pilkada Serentak 2018.
“Yang saya sampaikan (soal) ketidaknetralan oleh oknum BIN, TNI, Polri nyata adanya. Bukan hoaks. Sekali lagi ini oknum. Namanya BIN, Polri, dan TNI itu baik. Saya pernah hampir 30 tahun di wilayah itu dan kalau ada kesalahan, tidak ada prajurit yang salah. Yang salah adalah petingginya yang keblinger,” kata SBY, Sabtu (23/6).
Dia menyebutkan, salah satu bukti terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada DKI 2017 lalu. Menurut dia, meski pihaknya sudah menerima kekalahan, namun keganjilan itu nyata terjadi. Tak hanya di Jakarta, SBY turut buka-bukaan terkait ketidaknetralan BIN, TNI, dan Polri di sejumlah wilayah di Indonesia. Dia juga berpesan kepada warga untuk berani bersuara jika menemukan kecurangan dan ketidaknetralan oknum tertentu.
“Mungkin rakyat tidak berani menyampaikan hal yang menurut mereka kasar sekali, kok terang-terangan. SBY (juga) warga negara biasa, warga Cikeas yang bicara. Kalau pernyataan saya ini membuat intelijen dan kepolisian tidak nyaman dan ingin menciduk saya, silakan,” katanya.
Menurut dia, di Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, Partai Demokrat mengusung Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur. Namun, begitu memasuki masa kampanye, Sylvi terus diganggu.
“Calon wagub berkali-kali dipanggil oleh kepolisian. Suaminya juga dibegitukan. Termasuk kurang sekian jam, Antasari (Antasari Azhar) mengeluarkan statement yang merugikan nama SBY. Sudah diadukan ke polisi (tapi) sampai sekarang belum ada (perkembangan),” katanya.
Dia juga menyebutkan intervensi penguasa yang terjadi di beberapa daerah seperti Jawa Timur (Jatim), Riau, dan Maluku. Di Jatim, SBY mendengar langsung dari pasangan yang diusung bahwa ada serikat pekerja menyatakan dukungan. “Deklaratornya dipanggil kepolisian,” katanya.
Di Riau, kata dia, petinggi TNI diminta oleh petinggi BIN memenangkan pasangan tertentu. “Di Maluku kejadian. Di Jawa Barat yang baru saja saya dengar. Apa harus rumah dinas mantan wakil gubernur harus digeledah? Kalau tidak salah sekarang merembet ke calon wagub. Mengapa hanya pasangan ini? Yang lain juga anggota legislatif. Terlalu banyak. Ini hanya sebagian kecil dari yang masyarakat ketahui,” katanya.
Setuju dengan SBY, Prabowo Juga Tuding Oknum Polri, TNI Tak Netral