Terlepas dari soal teknis administrasi terkait Pilkada Pilgub DKI Jakarta, memprediksi migrasi suara jadi isu politik yang cukup menarik dicermati.
Misal, 17% suara Agus-Sylvi serta 27% suara Golput yang potensial untuk dimobilisasi sehingga dapat ikutserta dalam Pilgub. Kalau kita cermati secara jeli, sebenarnya ada gap yang nyata antara 17 suara yang diperoleh Agus-Sylvi dengan total suara partai pendukung (PPP, PD, PKB, dan PAN) yang mencapai 26%.
Begitu pula dengan Ahok-Djarot yang suaranya berada di bawah jumlah suara koalisi Golkar, PDIP, Hanura dan Nasdem yang sebenarnya mencapai 49%. Sebaliknya, Anies-Sandi justru memperoleh suara yang melampaui jumlah suara koalisi PKS dan Gerindra yang hanya 26%. Anies-Sandi sendiri berhasil meraih total perolehan suara sebesar 39,97% (2.193.636).
Berdasar data-data tersebut, perolehan suara Anies-Sandi menunjukan tim pemenangan baik partai maupun jaringan relawan efektif bekerja, kualitas personal dan program kebijakan paslon ini mendapat respon positif pemilih.
Bagaimana dengan peta suara di kubu Ahok-Djarot? Berdasarkan beberapa penelisikan tim riset Aktual, Ahok-Djarot bertumpu dari dukungan loyal pemilih tradisional terutama dari kalangan etnis keturunan Cina dan nonmuslim, yakni dari Katolik, Kristen, dan Konghucu.
Menarik mencermati survey SMRC. Survey SMRC yang dirilis sebelum pemungutan suara menunjukan bahwa 95% pemilih dari Kristen dan Katolik, serta 51% pemilih dari Konghucu memilih Ahoki-Djarot.Sedangkan jumlah pemilih beragama Islam yang jumlahnya mencapai 85% tersebar secara proporsional dalam tiga paslon.
Kemungkinan menciptakan suasana psikologis yang kondusif jika partai-partai pengusung Agus-Sylvi berhasil membangun koalisi dengan Gerindra dan PKS. Meskipun kemudian bisa saja Partai Demokrat akan bersikap abstain mengingat kuatnya figur SBY yang cenderung tidak memperlihatkan dukungannya ke pasangan Ahok-Djarot maupun Anies-Sandi. Begitupun, potensi ke arah suasana psikologis sentimen anti Ahok bukanya tidak mungkin di kalangan konstituen Partai Demokrat.
Sedangkan Ahok-Djarot, konstalasi suara di putaran pertama agaknya memang sudah maksimal. Sehingga pada putaran kedua yang mereka harapkan adalah merebut swing voters, yang memilih karena pertimbangan bahwa Ahok merupakan bagian dari kelompok yang menang. Kenapa? Posisi suara terbanyak memberikan efek psikologis berupa sugesti kemenangan. Pertimbangan semacam ini bisa jadi berasal dari kalangan kelas menengah yang ingin aman dan nyaman. Sehingga kecenderungannya untuk memihak koalisi menang.
Namun demikian, dengan terseretntya Ahok dalam kasus Surat Al Maida sehingga ditetapkan jadi tersangka, akan menggugurkan potensi suara dukungan dari kelas menengah yang suka di zona aman dan zona nyaman ini. Pertimbangannya, bisa jadi sangat psikologis untuk memberikan suaranya pada Ahok-Djarot.
Kenapa? Secara psikologis, pemilih dari kalangan ini pada dasarnya tidak ingin suaranya menjadi sia-sia jika mendukung Ahok sementara status hukum Ahok sebagai tersangka, dan besar kemungkinan akan dinyatakan bersalah dan jadi terpidana, pada perkembangannya jadi sia-sia kemenangan Ahok.
Namun demikian, ada beberapa jejaring sosial-politik yang sebetulnya potensial untuk tambahan suara yang punya basis yang cukup mengakar di lini jejaring organ-organ Islam. Kalaui kita telisik pada waktu dua kali SBY memenangi pilpres pada 2004 dan 2009, SBY berhasil menggalang dan merajut dukungan dari organ yang berada dalam naungan Yayasan Dzikir SBY Nurrul Salam. Untuk sekadar mengambil sebuah contoh.
Apakah jejaring yang sejatinya berasal dari lini keagamaan ini masih akan berfungsi efektif mendulang suara bagi salah satu pasangan calon di putaran kedua? Waktu yang akan menjawab.
Hendrajit