Jakarta, Aktual.com – Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI, mengajak semua pihak untuk tidak menjadikan Pemilu 2024 sebagai panggung permusuhan yang mengakibatkan perpecahan. Ia menekankan bahwa perbedaan pandangan adalah hal yang alami dan tidak seharusnya berujung pada permusuhan.
Pernyataan ini dia sampaikan saat merayakan Hari Jadi Ke-78 MPR RI dengan menghadirkan kisah ‘Semar Boyong’ di Kompleks Parlemen pada Jumat (25/8) malam.
“Bahkan meskipun menjelang Pemilu suhu politik biasanya meningkat, kita tidak boleh mengarahkan Pemilu 2024 menjadi panggung permusuhan yang memecah belah masyarakat,” kata Bamsoet, panggilan akrab Bambang Soesatyo, dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Sabtu.
Dia menegaskan bahwa perbedaan dalam pandangan dan pilihan politik adalah hal yang wajar. Namun, hal itu tidak sepatutnya mengganggu keutuhan bangsa.
Tidak hanya itu, Bamsoet juga mengambil pelajaran dari kisah Semar Boyong dalam konteks kehidupan berbangsa. Ia menyatakan bahwa dalam kisah tersebut, tergambar bahwa permusuhan dan pertikaian bukanlah solusi terbaik dalam menghadapi masalah.
Bamsoet, yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan, menjelaskan kisah Semar Boyong sebagai simbol dalam situasi dunia yang kacau, di mana kedamaian terganggu oleh kepentingan pribadi. Dalam situasi tersebut, Semar muncul sebagai tokoh penting yang membawa kedamaian.
“Kisah Semar Boyong mencerminkan realitas kehidupan, menggambarkan betapa nilai-nilai yang diwakili oleh Semar sangat langka saat ini dan harus diperjuangkan,” paparnya.
Bamsoet, yang juga memiliki peran dalam organisasi pemuda Pancasila dan KADIN Indonesia, mengamati bahwa secara fisik Semar tidaklah menarik. Namun, di balik penampilannya yang tua dan berlekuk, terkandung makna filosofis yang dalam.
Dia menjelaskan bahwa rambut Semar yang beruban melambangkan kedewasaan dalam pemikiran dan tindakan. Mata Semar yang lembut melambangkan kepekaan terhadap masalah sosial dan empati terhadap penderitaan sesama. Hidung kecil Semar melambangkan kecerdasan dalam membaca tanda-tanda zaman.
“Anting-anting cabai merah di telinga melambangkan kesediaan untuk mendengarkan masukan, bahkan jika itu pahit. Senyum Semar melambangkan usaha untuk menghibur dan memperbaharui semangat orang lain,” jelas Bamsoet.
Bamsoet menambahkan bahwa pertunjukan wayang adalah ekspresi seni budaya yang penuh makna. Kisah-kisah dalam wayang memiliki benang merah yang relevan dan kontekstual.
Oleh karena itu, Bamsoet menekankan bahwa MPR, dalam menjalankan peran konstitusionalnya, harus lebih mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Dia juga menyarankan penggunaan seni budaya, seperti wayang, sebagai metode untuk mempromosikan nilai-nilai kebangsaan, dengan mempertimbangkan pesan-pesan lokal yang sejalan dengan Pancasila dan pandangan hidup bangsa.
“Kami bersyukur bahwa pemerintah mendukung pelestarian seni wayang kulit. Melalui Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2018, Presiden Joko Widodo bahkan menetapkan 7 November sebagai Hari Wayang Nasional,” tambahnya.
Dalam tingkat internasional, UNESCO telah mengakui wayang kulit sebagai mahakarya budaya naratif sejak 7 November 2003, menghargai nilai budaya yang tinggi dan indah.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Sandi Setyawan