R.M. Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo adalah tokoh kebatinan dan pendiri Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) Susila Budhi Darma (Subud). Persaudaraan yang semula bersifat lokal ini dipimpinnya sejak 1974, dan kemudian mempunyai cabang di sekitar 80 negara. Di luar negeri, persaudaraan ini dikenal sebagai International Subud Brotherhood.

Muhammad Subuh dilahirkan di Kedungjati, Semarang pada Sabtu Wage, 3 Maulud tahun Dal 1831 atau 22 Juni 1901 jam 05.00 pagi. Sejak lahirnya, ia diasuh dan dibesarkan oleh eyangnya, R.M. Sumowardoyo. Anak sulung dari dua bersaudara keluarga Qasidi Kartodihardjo ini dulunya bernama Soekarno. Tetapi, karena sakit-sakitan, dan sesuai dengan “pemberitahuan secara gaib,” namanya diubah menjadi Subuh. Setelah dewasa, nama lengkapnya: R.M. Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo.

Pada 1917, di usia 16 tahun, sewaktu eyang yang membesarkannya meninggal dunia, Muhammad Subuh berhenti sekolah dan bekerja sebagai pegawai Perusahaan Kereta Api N.I.S. Pada usia mudanya, ia sempat memperoleh didikan agama Islam dari Kyai Abdurachman, dan taat menjalankan ibadat agama Islam sebagaimana lazimnya seorang muslim.

Pada 1925, Muhammad Subuh mengaku mendapat pengalaman rohani yang luar biasa yang mengubah hidupnya. Ia biasa berjalan-jalan di malam hari setelah seharian bekerja dan suntuk belajar, untuk menjernihkan pikiran sebelum tidur. Suatu malam sekitar jam 01.00, ia terkejut melihat sebuah bola di langit dengan cahaya seterang matahari, yang menerangi segala sesuatu di sekelilingnya. Bola cahaya itu jatuh ke arahnya dan masuk ke tubuhnya melalui kepala. Tubuhnya gemetar dan ia yakin sedang mengalami serangan jantung.

Selekasnya ia pulang dan segera masuk ke kamarnya, berbaring di tempat tidur dan berserah diri kepada Tuhan, dan siap untuk mati. Ia beberapa detik melihat bagian dalam tubuhnya sendiri dipenuhi cahaya. Lalu tubuhnya mulai bergerak dengan sendirinya. Dia dibuat untuk duduk, berdiri dan berjalan ke ruang kerjanya. Lalu tubuhnya bergerak-gerak sendiri menirukan orang solat. Seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menggerakkannya, tetapi seluruh pengalaman itu sepenuhnya ia sadari dan dalam keadaan sadar.

Setiap malam gerakan-gerakan tak disengaja itu kembali, dan Subuh mengamati seolah-olah ada orang kedua dalam tubuhnya sendiri. Subuh merasa, itu terjadi karena kehendak Allah, maka ia hanya berserah diri pada apa yang terjadi, tetapi tetap waspada. Perlahan-lahan gerakan itu menjadi lebih mendalam dan lebih lengkap, dengan melibatkan perasaan dan pemahaman. Kemudian ia menyadari bahwa ia sedang diajari seluk-beluk dan pengalaman semua tingkatan kehidupan di alam semesta: materi, sayuran, hewan, manusia dan tingkatan yang lebih tinggi dari itu.

Sejak itu Subuh semakin dikenal oleh teman-temannya sebagai orang yang luar biasa dalam kebijaksanaan dan wawasan. Pada tahun 1930-an, ia percaya bahwa tugasnya adalah untuk mentransmisikan energi spiritualnya – yang ia sebut latihan kejiwaan – kepada orang lain. Subuh merasa, apa yang telah ia terima sebagai kekuasaan Allah, adalah bukan untuk dia sendiri tetapi dapat ditularkan kepada orang lain. Dia tidak perlu mencari orang, tetapi jika mereka tulus bertanya, mereka bisa menerima kontak yang sama dengan kekuatan yang Subuh terima.

Subuh menjelaskan tentang wawasan hakikat dan tujuannya. Pengalaman itu bukanlah sesuatu yang baru, tetapi hanya hasil dari pemulihan hubungan antara Kekuatan Ilahi yang mengisi seluruh alam semesta dan jiwa manusia. Ini adalah hubungan yang hakiki dari semua makhluk Tuhan, tetapi manusia telah menghilangkannya melalui generasi hidup, yang menekankan pada perkembangan pikiran bukan kesadaran jiwa.

Subuh mengatakan, mungkin alasan gerakan-gerakan awal sebagai gerakan-gerakan yang telah akrab seperti gerakan solat adalah untuk meyakinkannya, bahwa apa yang ia alami memang datang dari kekuasaan Allah. Belakangan kemudian dia memahami bahwa ada tahapan yang berbeda dalam menyembah Allah.

Ada ibadah-ibadah yang telah akrab yang diabadikan dalam berbagai agama kita, yang tentunya diprakarsai oleh hati dan pikiran, dan berdasarkan iman kepada apa yang telah diwariskan dalam tradisi-tradisi yang berasal dari ajaran nabi atau utusan Allah. Ada juga ibadah yang timbul secara spontan dari dalam jiwa manusia, yang dibimbing oleh kekuasaan Allah, seperti dalam latihan ini.

Menurut Subuh, jenis ibadah yang kedua mengarah ke perbaikan dan peningkatan karakter dan fisik tubuh dalam solat. Ia menjelaskan, apa yang diturunkan sama sekali bukan sebuah agama baru, karena tidak membawa ajaran baru. Tetapi lebih merupakan berhubungan kembali dengan kekuasaan Tuhan, yang memberikan bukti realitas apa yang telah agama-agama besar ajarkan.

Dengan cara yang sama, Subuh menekankan perbedaan besar antara latihan yang dilakukannya dengan beberapa cara-cara spiritual atau mistik, yang banyak ditemukan di Jawa, yang dikenal sebagai aliran kebatinan, yang diwariskan dari guru ke murid dan tergantung pada kehendak manusia, menggunakan teknik meditasi dan bertapa.

Subuh memperingatkan pengikutnya, untuk tidak memperlakukan apa yang telah dialami Subuh ini sebagai ajaran, tetapi lebih seperti peta jalan untuk membantu mereka memahami pengalaman individu mereka sendiri dalam latihan tersebut. “Semua ini, fungsinya (saya) adalah seperti seorang pelayan sekolah, yang menempatkan buku-buku, membuka pintu, membersihkan kelas, dan mengatur meja dan kursi untuk Anda duduki. Ketika Anda semua ada di sana, duduk dan menghadap depan, menghadap papan tulis, guru akan datang dan memberikan pelajaran, dan gurunya adalah Tuhan, bukan saya.”

Di hari tuanya, Pak Subuh — begitu ia dipanggil orang — tidak begitu aktif dalam kegiatan organisasi PPK Subud sehari-hari. Ia hanya sewaktu-waktu memberikan ceramah di depan para anggotanya, di dalam dan luar negeri.

Perjalanan gaib lainnya, konon hampir mirip riwayat mikraj — yang sempat menggegerkan kalangan Islam, awal 1970-an. Wakil pemimpin redaksi harian Abadi sempat menyerang Pak Subuh, menuduhnya melakukan kemunafikan dan menentang akidah Islam. Tetapi, Pak Subuh tidak gusar. Latihan-latihan kejiwaannya dilanjutkan terus. Seperti pengakuan anak buahnya, “Latihan kejiwaan ini bukan agama; anggota Subud yang tersebar tetap menjalankan ibadat agama mereka masing-masing.”

Tidak pernah terdengar kabar ia melakukan perjalanan ke gunung-gunung, lalu bertapa, misalnya. Yang sering dilakukannya adalah berkelana ke berbagai negeri, mengunjungi cabang organisasi kejiwaannya. Menurut seorang anak buah Pak Subuh, “Hanya di negara komunis Subud tidak ada.”

Tidak aktif dalam kegiatan sehari-hari di Subud, lelaki tua ini justru sibuk dengan berbagai jabatannya yang lain: Presiden Komisaris PT S. Widjojo, Presiden Komisaris PT Bank Susila Bhakti, dan Presiden Direktur PT Pancaran Cahaya Mulia.

Istrinya, Mastuti, yang dinikahinya tahun 1974, adalah istri ketiga. Kedua istrinya terdahulu, Siti Rumindah dan Siti Sumarti, telah meninggal. Ia masih tampak berseri, mungkin karena sejak muda gemar bela diri, terutama pencak silat.

Jakarta, Maret 2016

Artikel ini ditulis oleh: