Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI), Munarman dikawal polisi untuk menjalani pemeriksaan di Polda Bali, Senin (13/2). Munarman menjalani pemeriksaan setelah ditetapkan sebagai tersangka dugaan fitnah terhadap satuan pengamanan adat Bali atau Pecalang yang beredar di media sosial. ANTARA FOTO/Adiutama/nym/pd/17.

Aktual.com, JAKARTA – Pernyataan mantan tokoh Front Pembela Islam (FPI) Munarman yang akan membela Partai Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono dalam konflik dengan Demokrat kubu KLB Deli Serdang, menimbulkan tanya. Banyak pihak menilai, Munarman tengah mencari dukungan untuk menghidupan lagi FPI yang resmi dibubarkan pada 20 Desember 2020 lalu.

Hal itu pula yang menjadi topik acara Seruput Kopi pegiat sosial Edi Kuntadhi melalui Channel You Tube CokroTV, Jumat (26/3/2021).

Pada acara itu, Edi menghadirkan dua narasumber yakni Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid dan mantan Komandan NII dan pendiri NII Crisis Center Ken Setiawan. Edi menjelaskan, di tengah proses sidang Habib Rizieq Shihab, seolah-olah ada kebangkitan baru gerakan FPI. Oleh karena itu, Edi bilang, Seruput Kopi kali ini mengangkat tema ‘FPI Mencari Inang Baru’.

Menanggapi hal itu, Ken berpendapat, pernyataan Munarman yang akan membela Demokrat pimpinan AHY menjadi gerakan untuk mengeluarkan kekuatan. “Karena pemerintahan sebelum Presiden Joko Widodo cenderung menerima FPI,” jelas Ken.

Ken juga menilai, pembubaran FPI secara organisasi tidak cukup. Apalagi dia melihat, ideologi FPI yang radikal masih bisa hidup di tengah-tengah masyarakat.

Ahmad Nurwakhid pun setuju jika FPI dikategorikan sebagai organisasi radikal. Hal ini sesuai dengan pengertian radikalisme yang merupakan suatu paham yang mengingingkan perubahan tatanan politik sosial yang sudah mapan dengan cara ekstrem atau kekerasan. “Ideologi FPI sangat jelas. Bahkan Habib Rizieq jelas-jelas mendukung gerakan the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Selain itu, beberapa oknum FPI pernah ditangkap Densus 88 terkait kasus terorisme,” jelas Ahmad.

Ahmad kembali menerangkan, terorisme tidak bisa lepas dari radikalisme. Jika terorisme itu hilirnya, maka radikalisme itu merupakan hulunya. Artinya, semua teroris itu berpaham radikal, tapi tidak semua radikalisme akan jadi teroris.

Di sisi lain, lanjut Ahmad, radikalisme itu muncul juga karena politisasi agama. “Seperti FPI. Framingnya adalah anti pemerintahan. Padahal ini adalah gerakan politik yang memframing agama, atau bisa dikatakan manipulator agama,” imbuh Ahmad.

Selain politisasi agama, Ahmad juga menyampaikan, radikalisme dipicu sikap intoleransi, kemiskinan dan kebodohan, pemahaman agama yang tidak benar, ketidakadilan sosial, ketidakpuasan politik, hingga rasa benci dan dendam. “Bahkan karakteristik kaum radikal terlihat dari sikap intoleransi, ekslusif, klaim kebenaran, merasa dizolimi, hingga playing fictim,” ujar Ahmad.

Ahmad pun menilai, paham radikalisme menjadi musuh agama dan negara. Pada satu sisi, gerakan radikalisme merusak agama karena bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai beragama. Sementara sisi lain, menjadi ancaman negara karena menginginkan perubahan secara inkonstitusional.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Ridwansyah Rakhman