Jakarta, Aktual.co — Museum Bahari didirikan tahun 1652 oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Batavia. Tepatnya di jalan Pasar Ikan Jakarta Utara, menghadap Teluk Jakarta. Disebelah kanan tak jauh dari gudang induk dibangun menara. Sekarang dikenal dengan nama Menara Syahbandar dibangun tahun 1839 untuk proses administrasi keluar masuknya kapal sekaligus sebagai pusat pengawasan lautan dan daratan sekitar.
Secara signifikan gudang tersebut mengalami perubahan. Tahun perubahan itu dapat dilihat pada pintu-pintu masuk. Di antaranya tahun 1718, 1719 dan 1771. Pada masa pendudukan Jepang, tepatnya ketika perang dunia II meletus (1939-1945) gudang tersebut menjadi tempat logistik peralatan militer tentara Dai Nippon. Setelah Indonesia Merdeka difungsikan untuk gudang logistik PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan PTT (Post Telepon dan Telegram). 
Museum bahari awalnya adalah bekas gudang rempah-rempah VOC Belanda, terletak di tepi Teluk Jakarta yang indah. Dahulu kala tempat itu menjadi pusat perniagaan penting, begitu sibuknya sehingga perlu penjagaan ketat, Kapal-kapal besar dan kecil hilir-mudik mengangkut rempah-rempah, berupa cengkeh, buah pala, lada, kayu manis, kayu putih, tembakau, kopra, daun teh, biji kopi dan lain-lain diangkut ke Eropa dan beberapa negara lain di dunia.
Hasil bumi Nusantara ini menjadi monopoli komoditi penting perusahaan dagang VOC (Vereningde Indische Compagnie) Belanda. Hingga kini gudang tua itu masih bertengger dan terkesan angker. Cocok diubah fungsinya sebagai museum yang menyimpan benda-benda sejarah kelautan.
Sejauh ini gudang bersejarah itu tampak lebih utuh setelah direnovasi Pemda DKI Jakarta dan diresmikan menjadi Museum Bahari pada 7 Juli 1977 oleh Ali Sadikin, yang pada waktu itu menjabat Gubernur DKI Jakarta. Di perut Museum Bahari tersimpan benda-benda sejarah berupa kapal dan perahu-perahu asli maupun miniatur. Mengingatkan kepada kita bahwa sejak jaman dahulu kala ‘nenek moyangku orang pelaut’. Ada kebanggaan ‘kebaharian’ dari bangsa pemberani di dalam mengarungi samudra luas dan ganas. 
Di antara materi sejarah bahari yang dipajang antara lain perahu tradisi asli Lancang Kuning (Riau), Perahu Phinisi Bugis (Sulawesi Selatan), Jukung Karere (Irian) berukuran panjang 11 meter. Miniatur Kapal VOC Batavia, miniatur kapal latih Dewa Ruci, biota laut, foto-foto dan sebagainya. Museum ini selain sebagai pusat informasi budaya kelautan, juga menjadi tempat wisata pendidikan bagi leluhur baru yang ingin mengetahui lebih banyak mengenai sejarah kebaharian bangsa tempo dulu.
Yang menarik perhatian ialah pada awal diresmikannya Museum Bahari itu banyak mendapat kunjungan wisatawan. Tetapi belakangan ini tampak sepi. Angin laut dibiarkan semilir mengipasi benda-benda koleksi sejarah yang kesepian. Kalaupun ada rombongan yang menjenguk, layaknya lebih banyak dikunjungi wisatawan mancanegara katimbang wisatawan lokal. Prosentasinya 65 persen wisatawan mancanegara dan 35 persen wisatawan lokal. Wisatawan Belanda tercatat menempati urutan teratas dalam jumlah pengunjung. Menyusul wisatawan Eropa lainnya seperti Jerman, Inggris, Perancis, Australia, Selebihnya bangsa-bangsa dunia lainnya termasuk Asia.
Mengapa kunjungan wisatawan Belanda lebih banyak dibandingkan wisatawan Eropa lainnya? Ini dapat dipahami karena bangsa Belanda menyimpan hubungan emosional dengan Indonesia. Hampir 3,5 abad lamanya kolonial Belanda menduduki Nusantara. Wajar jika wisatawan Belanda yang berkunjung itu seringkali terkagum-kagum. Dari mulai opa dan oma, hingga anak cucu mereka. Terutama opa dan oma-oma Belanda yang pernah tinggal di Indonesia khususnya di Batavia. Dikutip dari museum-bahari, Jumat (31/10).