Dari Jong Islamieten Bond 1925 sampai ke Aksi Bela Islam 411, 212 dan Aksi Bela Palestina1712
Rangkaian perhelatan umat Islam mulai dari reuni akbar 212 hingga Aksi Bela Palestina pada Ahad 17 Desember lalu, menyadarkan kita betapa semangat Keislaman yang bersemayam di sanubari berbagai elemen pergerakan umat, sejatinya seiring sehaluan dengan semangat nasionalisme. Belum banyak yang tahu, bahwa persenyawaan Islam dan Nasionalisme sudah bersemi sejak dekade 1920-an.
Jejak-jejak para penggerak dan penggugah kesadaran Keislaman dan Nasionalisme bisa dilacak melalui terbentuknya sebuah organ kepemudaan Muslim Jong Islamieten Bond pada 1925. Artikel yang ditulis oleh Haji Agus Salim menyusul terbentuknya Jong Islamieten Bond kiranya sangat tepat menggambarkan suasana batiniah mengapa para pemuda membentuk organ perjuangannya tersendiri ketika Indonesia yang kala itu masih bernama Hindia Belanda berada dalam cengkaraman penjajahan Belanda.
Agus Salim menulis di Hindia Baroe, 9 Januari 1925: “Islam bagi banyak orang Barat tetap selalu merupakan masalah yang berbahaya, menyulitkan, dan mengganggu, sehingga dipandang dengan curiga dan tidak dapat didekati tanpa prasangka, Bahkan Prof Snouck Hurgronje yang di kalangan non Islam Barat merupakan pakar Islam par excellence, dan bisa bercerita banyak tentangt kebaikan Islam, mendukung politik yang secara sadar ditujukan untuk menyelewengkan perhatian politik kaum muda dari agama yang merupakan agamanya sendiri, terutama kaum muda yang memperoleh pendidikan Barat.”
Pandangan Agus Salim itu mengisyaratkan agenda strategis berdirinya Jong Islamieten Bond (JIB) untuk menawarkan alternative pengganti nasionalisme sekuler dengan nasionalisme Islam. Artinya, nasionalisme religius. Sebagai bapak spiritual dan inspirator para aktivbis JIB yang kerap bertandang ke rumahnya Agus Salim sejak sebelum berdirinya organisasi kepemudaan Muslim tersebut, agaknya kegelisahan pokok di balik berdirinya JIB sehaluan dengan kegelisahan pokok Salim.
Dalam artikelnya di Fajar Asia, sebuah harian yang diasuh oleh HOS Cokroaminoto yang pucuk pimpinan Sarikat Islam, Salim menulis: “Atas nama Tanah Air, bangsa Italia mempertimbangkan bangsa Itali dan Swiss. Atas nama Tanah Air, Kerajaan Prusia merobohkan Austria. Tanah Air yang sesungguhnya adalah ketaatan kepada perintah-perintah Allah.”
Artikel Salim yang diterbitkan pada Juli 1928 itu untuk menanggapi tulisan Ir Sukarno sebelumnya di harian yang sama. Salim meskipun membenarkan alasan Sukarno ihwal Cinta Tanah Air, namun Salim menilai sebagai bahaya laten yang terkandung dalam nasonalisme yang bertumpu pada pandangan dan falsafah beraliran sekularisme.
Namun kekhawatiran Salim tersebut nampaknya bukan satu-satunya yang jadi kegelisahan pokok para pemuda pemrakarsa JIB. Para penggerak dan pendobrak JIB meyakini bahwa hanya lewat Islam kontak yang hilang antara kaum cendekiawan dan rakyat dapat dipulihkan.
Sebagaimana dikumandangkan oleh Kasman Singodimejo, salah seorang motor penggerak JIB dan kelak merupakan salah seorang tokoh sentral Partai Islam Masyumi di era Indonesia merdeka, sangat gamblang menggambarkan kegelisashan batin bawah sadar para pemuda Muslim kita saat itu. “Rakyat kita saat ini tidak hidup di dalam sejarah jaman lama, melainkan di dalam nasib malang jaman sekarang. Ideologi-ideologi seperti nasionalisme dan komunisme itu terlalu jauh melenceng dari ‘pengetahuan sekolah’. Islam merupakan titik-singgung yang logis antara massa dan kaum cendekiawan.”
Mengingat setting sosial-politik Hindia Belanda pada dekade 1920-an itu ditandai dengan kehadiran beberapa organisasi sosial-kemasyarakatan seperti Budi Utomo, Sarikat Islam dan Muhammadiyah, tak pelak pandangan Kasman itu ditujukan terhadap kecenderungan Jawanisme atau Jawa sentries Budi Utomo dan organisasi kepemudaan jawa Jong Java.
Pandangan beberapa kalangan penggerak dan pendobrak kebangkitan organ pergerakan umat Islam seperti JIB, nampaknya juga mendapat inspirasi dari beberapa cendekiawan Muslim di luar negeri. Antara lain Shakip Arslan, tokoh pergerakan Suriah yang mengungsi ke Berlin Jerma, gara-gara dianggap oembangkang oleh pemerintah kolonial Prancis.
Dalam harian Al Fatah Arslan menulis: “Saya menyambut gembira gerakan nasionalisme di Indonesia untuk mencapai kemerdekaan dari Pemerintah Belanda. Namun patut disayangkan bahwa nasionalisme Indonesia membuang agama Islam dan seolah-olah mempunyai niat memerangi Islam.”
Kalau kita mencermati berbagai pandangan antipati dan prasangka dari berbagai kalangan sekuler atau kaum neoliberal mulai dari soal Aksi Bela Islam 411 maupun 212, agaknya masih tetap belum bergeser dari kegelisahan pokok para penggerak JIB yang mendapatkan sumber inspirasinya dari kalangan cendekiawan Muslim seperti Shakip Arslan ini.
Sebab menurut Arslan, adalah keliru ketika nasionalisme tanpa dasar Islam. Turki bisa mengusir Yunani berdasarkan persatuan Islam. Singkat cerita, di kalangan para motor pergerakan Islam pada fase perjuangan menuju Indonesia merdeka pada dekade 1920-an, dorongan kuat untuk menawarkan alternatif nasionalisme Islam menggantikan nasionalisme sekuler, sejatinya bukan didasari gagasan anti nasonalisme dan kebangsaan. Namun untuk meluruskan gagasan nasionalisme.
Pandangan Wiwoho Purbohadijoyo, Ketua JIB dalam kongres ke-4 JIB 22-25 Desember 1928 kiranya menarik untuk kita renungkan di tengah dinamika kebangkitan umat Islam dalam dua momen yang berlangsung di bulan Desember saat ini.
“Kewajiban setiap Muslim adalah mencoba untuk mengarahkan nasionalisme ke jalan yang benar. Sebagai pemimpin dari bangsa yang mayoritas memeluk Islam, dengan tugas berat bagi kewajibannya untuk menyediakan tempat dalam keharmonisan bangsa-bangsa, kita harus mengenal jiwa dan semangat rakyat. Kewajibannya adalah percaya sepenuhnya pada kekuatan sendiri untuk melancarkan perjuangan nasional.”
Jika kita simak serangkaian pandangan mulai dari Agus Salim, Kasman, hingga Wiwoho, tergambar dengan jelas bahwa di batin bawah sadarnya, tetap didasari upaya untuk menemukan nasionalisme yang benar-benar mengakar di bumi nusantara. Bukan sekadar bermaksud mengideologisasikan Islam atau mempolitisasi Islam sebagaimana prasangka dan kecurigaan kalangan liberal dan sekuler sejak era itu hingga dewasa ini. Frase kunci yang dikumandangkan JIB untuk menjalin kontak antara cendekiawan dan rakyat, dalam bingkai pandangan Islam tentunya yang dimaksud adalah persenyawaan antara Ulama dan warga masyarakat. Adapun yang disampaikn Wiwoho agar “mengenal jiwa dan semangat rakyat” pastinya yang beliau maksudf adalah bagaimana daya spiritual Islam menjadi penyatu dan perajut ikatan lahir dan batin antara para pemimpun dan rakyatnya.
Maka itu, JIB yang secara resmi didirikan pada 1 Januari 1925, sedari awal kiprahnya, para pemrakarsa dan pimpinannya berkeyakinan bahwa apa yang sedang mereka upayakan adalah untuk memperjuangkan persatuan nasional walau dengan dasar Islam. Karenanya, orientasinya pun hakikinya adalah tetap Indonesia.
Sayangnya, karena begitu kuatnya prasangka dan sikap permusuhan kalangan sekuler dan liberal yang diprpvokasi oleh pemerintahan kolonial Belanda, JIB kemudian dicitrakan sebagai kekuatan anti nasionalisme, dan tidak mempunyai orientasi nasionalisme dalam pandangan politiknya dan tidak cinta Tanah Air.
Begitulah. JIB sejak awal kiprahnya berusaha mencari hubungan diantara keduanya dengan merumuskan nasionalisme sebagai mencintai tanah air dan bangsa, tetapi disamping itu juga mencintai orang-orang seagama Islam di luar negeri dan juga mencintai semua manusia.
Kalau kita mau jujur pada sejarah, sebenarnya perang pena antara Sukarno, yang kelak jadi Presiden RI pertama, H Agus Salim yang diberi amanah duduk dalam Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ihwal Islam dan Nasionakisme, sebenarnya sudah durumuskan secara cerdas dan jenius melalui lahirnya Panvasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Nasionalisme yang bertumpu pada kemanusiaan yang adil dan beradab, sejatinya merupakan buah hasil dari upaya menyatukan nasionalisme dan daya spiritual Islam dalam satu tarikan nafas.
Momentum Aksi Bela Islam 411 dan 212 maupun Aksi Bela Palestina 17 Desember lalu, sepertinya merupakan isyarat bangkitnya kembali kesadaran untuk mempertautkan kembali semangat Islam dan semangat nasionalimse, Sebab kalau menelisik kesejarahan perjuangan dan perlawanan terhadap bangsa-bangsa asing yang menjajah kita, nasionalisme dan daya spiritual Islam memang sejatinya merupapakan dua sisi dari satu mata uang yang sama.
Menarik menyimak pidato Haji Agus Salim pada Kongres Pertama JIB pada 1925:
“Akan tetapi rakyat Yahudi tidak akan dapat mempertahankan kedudukannya yang tinggi itu. Mengagungkan materi sudah terlalu berakar dalam jiwanya,dan dalam keadaan sejarah mereka tidak mampu menolak godaan sinar yang berkilauan dari anak sapi mas, ysng berkali-kali mereka jatuh kembali menyembahnya, sehingga karena kemusyrikan yang tidak henti-hentinya, mereka sendiri menyebabkan jatuhnya hukuman yang dahsyat, yaitu Allah mendudukkan rakyat lain di tempatnya. Hilanglah kehidupan mereka sebagai rakyat. Mereka menjadi golongan tanpa tanah air, dalam arti yang seluas-luasnya. Di mana-mana mereka tersebar di dunia ini, di semua negara, diantara segala bangsa. Mereka dalam arti ketatanegaraan menjadi warga negara, akan tetapi sebagai bangsa mereka tidak masuk hitungan. Mereka tetap asing, tanpa tanah air.”
Sepertinya, inilah landasan pemikiran Salim sehingga sampai pada kesimpulan bahwa Tanah Air yang sesungguhnya adalah ketaatan pada oerintah-perintah Allah. Itulah sejatinya Tanah Air.
Hendrajit, Redaktur Senior.