Masa lalu, kata “kompeni” berarti kode kebersamaan. Karena “kompeni” melekat pada lawan yang sama. Masa kala sekuel perang antara muslimin dan kuffar di nusantara. Kompeni sebutan lidah nusantara untuk menyebut “Compagnie”. Ini nama belakang dari Verenigde Oost Indesche Compagnie (VOC).

Masa itu, kompeni adalah musuh. Karena mereka berlaku culas, kolonialis, dan penjajah. Siapa pribumi yang berpihak pada kompeni, capnya pengkhianat. Bagi Pitung, “Dasar Kumpeni!!” berarti kalimat buat pelaku penindasan.

Kala itu, nusantara berada pada dua garis tegas. Islam di bawah bendera pada Sultan. Disitu syariat Islam ditegakkan. Sementara di seberang, VOC dan kaum Eropa berdiri dengan semangat kapitalisme, eksploitasi dan memiliki hukum sendiri.

VOC hadir di nusantara tak sendiri. Mereka menyusul orang-orang Portugis yang lebih dulu. Dari daratan Eropa, Portugis yang memulai pelayaran ke nusantara. Ini disebabkan kejadian di tahun 1453. Kala Konstantinopel (kini Istanbul), takluk ditangan Kesultanan Utsmaniyah, Eropa berubah.

Mereka tak lagi bisa bebas mengambil pasokan barang-barang dari Istanbul. Terutama rempah-rempah, lada, dan segala macamnya. Saat itu harga pala sama dengan harga emas, walau kala itu uangnya masih berupa Dukat, Dinar emasnya para Eropa.

Portugis potong kompas. Mereka mencari sendiri rempah-rempah dari pemasok utama. Kawasan India dan nusantara. Pelayaran dilakukan. Tapi memutar melalui Tanjung Harapan (Cape Town), ujung Afrika Selatan.

Mereka tak berani melawati Istanbul, yang dikendalikan syariat Islam oleh Kesultanan Utsmani. Selain itu, monopoli rempah-rempah dikuasai pedagang Venesia, Italia. Tak jauh dari Konstantinopel.

Portugis pun berlayar. Mereka mencari emas dan lada. Tahun 1487, Bartolomeu Dias mengitari Cape Town dan sampai ke Samudera Hindia. Vasco dan Gama, 1497, sampai melaut ke India. Lalu Afonso de Alburquerque, memimpin ekspedisi besar Portugis menuju India dan Goa.

Tahun 1510, dia sampai di Goa dan menyewa pantainya pada Kesultanan Goa. Mereka membeli rempah-rempah dari Goa, lalu menjualnya ke Eropa. Maka pedagang Venesia terganggu. Karena ada pasokan dari pemain baru. Persaingan terjadi.

Di Eropa, orang-orang Belanda bertindak sebagai distributor rempah-rempah dari Portugis ke Eropa bagian Utara. Mereka semula pedagang eceran. Tapi kala perang antara Spanyol dan Portugis meletus, distribusi rempah-rempah terganggu. Orang Portugis merahasiakan jalur pelayaran mereka sampai ke nusantara.

Tahun 1595, pengusaha Belanda memberangkatkan 4 kapal dan 249 awak, 60 meriam menuju nusantara. Mencari rempah-rempah, agar tak lagi jadi pedagang eceran dari Portugis. Cornelis de Houtman memimpin ekspedisi ini.

Cornelis semula menetap di Lisbon, Portugal. Lalu menjual ilmu astronominya pada pedagang Belanda agar membiayainya melakukan ekspedisi. 1596, kapal-kapal De Houtman tiba di Banten. Tapi dia kerap melakukan hinaan, alhasil sampai di pelabuhan perang terjadi. Di Sidayu, 12 awak kapalnya tewas. Perang itu disebabkan kebodohan orang-orang Belanda.

Mereka menembak seorang ulama dan menghinanya, padahal ulama itu hendak mendekati kapal mereka untuk berbicara dengan mereka. 1597, akhirnya sisa kapal dan awak kembali ke Belanda dengan membawa rempah-rempah. Itu pun ternyata sudah mendapatkan keuntungan. Jadi, walau pelayaran dipimpin oleh seorang yang kurang cakap, tapi dapat mendapat untung.

Maka mulainya era widle vaart (pelayaran liar). Para pengusaha Belanda saling bersaing melakukan pelayaran. Tahun 1598, 22 kapal milik 5 perusahaan Belanda yang berbeda berlayar, hanya 14 yang berhasil kembali. Tapi sang pengusaha tetap untung karena di dalamnya berisi rempah-rempah penuh.

Jacop van Neck memimpin armada dan berhasil tiba di Maluku. Dia membayar sewa pada Sultan, lalu berjual beli pada pedagang di nusantara dan berhasil kembali. Bahkan kisaran tahun 1599-1600, hasil angkutan rempah-rempah menoreh untung hingga 400 persen.

Masing-masing pedagang Belanda, memiliki wakil dagang. Dan saling berasing. Alhasil, 1598, Statuten Generaal (Parlemen Belanda) mengusulkan agar perusahaan-perusahaan Belanda itu tak saling bersaing melainkan bersatu. Gabungan para pengusaha Belanda itulah dideklarasikan pada 1602 dengan nama VOC. Perserikatan Maskapai Hindia Timur.

VOC punya struktur. Karena ini koalisi pada pengusaha Belanda. Mereka memiliki sistem majelis (kamer) untuk 6 wilayah di Kerajaan Belanda. Setiap majelis, memiliki direktur. Jadi jumlah direktur VOC kala itu ada 17 orang. Ini yang disebut Heeren XVII (Tuan Tujuh Belas). Amsterdam jadi markas VOC.

Oktroi dari parlemen Kerajaan Belanda, mengatakan bahwa VOC memiliki kewenangan mengangkat angkatan perang, pelakukan peperangan, membangun benteng-benteng, dan mengadakan perjanjian di seluruh Asia. Jadi VOC berubah wujud menjadi “negara fiskal”.

Tahun 1610, VOC mengangkat seorang Gubernur Jenderal di Asia. Pengawasnya ditetapkan. Namanya Raad Van Indie (Dewan Hindia). Tapi Tuan Tujuh Belas tetap berkuasa di Amsterdam. Gubernur Jenderal mendapat SK dari Tuan Tujuh Belas tadi. Tiga masa jabatan Gubernur Jenderal pertama, maskas VOC ada di Ambon tahun 1602, VOC membangun markas besar di Batavia.

Mulanya mereka menyewa tanah dari Sultan Banten. Tapi lama kelamaan melakukan perlawanan dan mengatur sendiri wilayah itu. Inilah cikal bakal Jakarta. Markas VOC itulah yang kini menjadi Kota Tua di Jakarta.

Kemajuan VOC, membuat pengusaha Inggris ikut juga. Maka, 1591, Ratu Elizabeht I memberikan sebuah Oktroi dan membentuk The East India Company (Maskapai Hindia Timur. Sir James Lancaster ditunjuk jadi pemimpin pelayaran pertama British Company ini.

Antara VOC dan British Company saling bersaing. Tapi awalnya mereka membeli rempah-rempah, berdagang secara fair, lalu menjualnya ke Eropa. Hanya itu.

Tahun 1619, Jan Pieterszoon Coen jadi Gubernur Jenderal VOC. Dia berkantor di Batavia. Coen mengeluarkan kebijakan baru. VOC harus menjadi penguasa tunggal pemasok rempah-rempah ke Eropa. Alhasil dia menetapkan bahwa VOC harus melakukan perang. “Tanpa perang maka tak ada perdagangan (monopoli),” ujarnya. Maka, VOC pun bertekad melibas semua yang merintanginya.

Alhasil VOC makin kokoh. Di Maluku, mereka mengusir British Company, Portugis dan lainnya. Alhasil mereka jadi monopoli distributor rempah-rempah. VOC lalu membuat aturan-aturan sendiri. Mulai tak tunduk lagi pada syariat yang diatur oleh Kesultanan. Di Pulau Banda, 1620, VOC mengusir dan membantai penduduk Pulau Banda yang kerap menjual rempah-rempah pada pihak lain.

Di Batavia, Coen makin merajalela. Mereka tak lagi mau bayar sewa tanah pada Kesultanan Banten. Tahun 1619, perang berlangsung di Batavia. Kesultanan Banten mengirim pasukan dan menyerang Batavia. Perang meletus besar. Karena VOC tak lagi tunduk pada aturan syariat Islam. Akibat perang, VOC banyak merugi. Karena tentara harus dibayar, sementara hasil dagang banyak terganggu.

Alhasil Gubernur Jenderal pasca Coen, mengubah strategi. Antonio van Diemen (1636-1645) lebih memilih persuasif. Sementara di Maluku, muncul perlawanan pada VOC. Kesultanan Ternate melancarkan perang pada VOC. Karena VOC melakukan monopoli rempah-rempah. Dan ini bertentangan dengan syariat Islam.

Tahun 1638, Van Diemen melakukan perjanjian dengan Sultan Ternate. VOC bersedia membayar 4000 real (emas) setiap tahun. Ini adalah pembayaran jizya VOC kepada Sultan Ternate. Tapi kemudian VOC berkhianat. Mereka tetap secara berlahan melakukan monopoli. VOC mulai bertindak beringas, karena rempah-rempah harus dibeli oleh mereka. Terkadang tak lagi dibayar secara fair. Tapi dirampas dengan paksa.

Perilaku VOC inilah yang melancarkan peperangan dimana-mana. Nusantara yang terdiri dari 200 kesultanan lebih, angkat senjata memerangi VOC. Dari situlah kata “kompeni” menjadi identik dengan VOC.

Untuk menghindari perang, VOC melancarkan devide et impera. Mereka masuk mendekati keluarga Sultan-sultan. Jika ada sultan yang bersikap keras, maka VOC mendekati keluarga sultan yang lain. Bahkan tak segan membunuh sultan keras itu, lalu menggantikannya dengan yang tunduk pada VOC. Cara itu lebih hemat ketimbang berperang.

Tahun 1789, VOC bubar. Keuntungan banyak, tapi pengurusnya tak akur. Inilah bukti betapa pemakan riba pasti akan berakhir pada kemiskinan. VOC, perusahaan yang gagah perkasa, tumbang karena perseteruan antara para pengurusnya.

Alhasil aset VOC diambil alih Nederlandch Indie. Ini di bawah Ratu Belanda. Inilah Hindia Belanda. Cara kerjanya tak beda dengan VOC. Ini juga gabungan sejumlah compagnie Belanda di nusantara. Tapi mereka lebih menggeliat. Tak lagi sekedar jadi distributor rempah-rempah. Tapi mulai menguasai sektor produksi. Rempah-rempah ditanam sendiri, dijual sendiri. Alhasil tak lagi beli pada petani atau kaum muslimin nusantara.

Masa Hindia Belanda, dilakukan cultuurstelsel. Masa tanam paksa. Demi hasrat untung besar. Seorang londo Belanda mulai menanam tembakau, mengganti rempah-rempah yang mulai menipis.

Tempatnya di Deli, kini Medan. Maka terbentuknya banyak perkebunan di Medan, milik para Belanda. Tapi kala itu tanah mereka masih sewa. Kesultanan masih berdiri. Sultan Deli menjadi pihak penyewa. Tapi sosok Sultannya, yang sudah bisa diatur “Kompeni”. Sultan yang melawan, akan dihabisi. Lewat cara tadi.

Maka berdirinya ratusan Maatschapij. Ini dari kata maatshchap. Persekutuan perdata. Yang paling populer tentu Deli Maatshapij. Tembakau Deli begitu mendunia. Sampai ke Bremen, Jerman sana. Tapi yang punya bukan para Melayu. Melainkan milik pengusaha Belanda. Melayu hanya dibajak tanahnya.

Kompeni tetap jadi musuh bersama. Karena pola Compagnie, Maatschapij, itu tak beda. Intinya memonopoli suatu bidang usaha. VOC dibenci, diperangi, karena monopoli rempah-rempah. Maatschapij menjadi musuh bersama, karena hal itu merusak perdagangan.

Dari mana datangnya sistem Compagnie, Maatschap? Ini copy paste dari Code de Commerce produk hukum Napoleon Bonaperte, Kaisar Perancis. Abad 18, Republik Perancis berdiri. Hasil kudeta pada Kerajaan Perancis. Pasca perang agama, Katolik dan Protestan selama berabad-abad di Eropa, meletuslah Revolusi Perancis di Paris. Raja Perancis, Louis XVI, digantung di depan penjara Bastille.

Pertanda peopple power menang. Itulah slogan egalite, fraternite, libeter berkumandang. Tapi menang dari apa? Dari entitas Gereja dan Raja yang sebelumnya mendominasi Eropa. Vox Populi Vox Dei berkumandang. Ini kudeta terhadap Vox Rei Vox Dei (suara Gereja Suara Tuhan).

Dari situlah Perancis berubah. Perubahan pastilah dengan mengganti sistem. Bukan mengganti orangnya. Sistem hukum berlandas hukum Taurat, yang sebelumnya dikenakan Gereja, diubah. Diganti model rechtstaat (negara hukum).

Rechtstaat diagungkan karena dianggap lebih baik dibanding maachtstaat (negara kekuasaan). Kitab suci dicampakkan. Gantinya konstitusi. Konstitusi ini tentu merujuk akal pikiran manusia semata, dalam membuat hukum. Dari situlah lahir Code de Commerce, aturan dagang yang mengikuti kemauan para pemonopoli. Code de Commerce mencamtumkan tentang Compagnie, Maatschap, secara legal. Padahal sebelumnya ini dilarang.

Napoleon kemudian menyerang Belanda. Setelah berkuasa, hukum rechtstaat diberlakukan. Belanda mengadopsi sistem hukum itu. Alhasil berlakulah Compagnie. Hindia Belanda, mengikuti. Berlandas azas konkordansi. Makanya Code de Commerce diberlakukan. Diterjemahkan dalam bahasa Belanda, Wetboek van Koophandel (WvK). Maka, Belanda menerapkan hukum sendiri, tanpa peduli lagi pada Syariat Islam, yang diberlakukan para Kesultanan.

Pasca Konfrensi Meja Bundar, republik dinyatakan merdeka. Terbentuklah nation state bernama Indonesia. Kesultanan, yang sebelumnya berperang berjihad melawan kebengisan VOC, Hindia Belanda? Mereka dihabisi. Ditinggalkan umat Islam sendiri. Alhasil syariat tak lagi dijalankan. Republik mengadopsi hukum warisan Hindia Belanda. WvK berlaku mutlak, copy paste murni. Aslinya dari Napoelon yang warisan republik hasil mengkudeta hegemoni Gereja.

Compagnie, Maatschap dinyatakan berlaku. Bukan lagi di cap sebagai “musuh”. Jika Pitung tahu, masa kini pribumi sendiri yang tergila-gila ingin jadi “compagnie”, pasti dia akan marah dengan seribu bahasa.

Jika para pahlawan pejuang melawan VOC, Hindia Belanda, tahu bahwa setelah mereka berjuang, lalu Compagnie diadopsi mentah-mentah, entah mereka akan bersikap bagaimana. Karena dulu “kompeni” adalah musuh utama.

Karena disitulah keserakahan, kebengisan, dan keculasan, diatur secara legal demi menindas yang lemah. Kini “kompeni” dianut sukarela. Lalu, entah bagaimana masih ada yang teriak “merdeka”.

Memang Belandanya pergi, tapi “kompeni” masih bercokol sampai kini. Karena Coen pasti tertawa dan kecewa. Seandainya dia tahu berabad kemudian, Compagine berlaku legal, dia tak perlu perang melawan pribumi. Cukup mendudukkannya sebagai salah satu pemegang saham dalam “kompeni”.

Irawan Santoso Shiddiq