Jakarta, Aktual.com-Yuniati (49), buruh cuci dan asisten rumah tangga asal Ketandan Kulon, Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, tidak pernah membayangkan kedua anaknya bisa mengenyam jenjang pendidikan tinggi dan membanggakan keluarga.

Anak pertama, Satya Candra Wibawa Sakti (29), meraih gelar doktor dari Universitas Hokaido Jepang dan bersiap menjadi dosen di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). UNY merupakan tempatnya menimba ilmu sarjana.

Anak kedua, Octaviana Ratna Cahyani (26), lulus dari Akademi Perawat Bethesda dan kini bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Harjo Lukito, Yogyakarta.

Yuniati menuturkan, sedari awal dirinya tidak membayangkan sama sekali dua anaknya bakal meraih kehidupan yang lebih baik. Tekadnya hanya satu saat membesarkan dua anaknya, jika kelas sudah besar dua anaknya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari orang tuanya.

“Saya dari awal melangkah mengambil pekerjaan itu, keinginan saya hanya satu, anak tidak mengalami pekerjaan seperti saya. Kelas besar, nggak harus sekolah diluar negeri, yang penting bisa bekerja jauh lebih baik dari saya,” kenangnya.

Yuniati mengatakan tidak pernah malu bekerja sebagai buruh cuci. Dalam prosesnya, tekad menyekolahkan anaknya mulai muncul saat Sakti, anak pertamanya, masuk Taman Kanak-Kanak (TK) dan hendak masuk Sekolah Dasar (SD).

Tekadnya semakin bulat karena disadari penuh dirinya tidak mempunyai harta-benda untuk diwariskan. Dengan kesabaran, setiap malam ia mengajari anak-anaknya belajar membaca. Ada alasan tersendiri Yuniati mengajari anaknya membaca dibandingkan menulis atau berhitung.

“Pikiran bodoh saya, anak bisa menjawab sebuah pertanyaan kalau bisa membaca,” ucapnya.

Apa yang diterapkan Yuniati membuahkan hasil. Memasuki kelas 1 SD, Sakti, diganjar rangking pertama dikelasnya. Dari situ, ia semakin bersemangat mengajari anaknya setiap malam. Dari situ pula, ia kemudian menerapkan sistem belajar baru untuk anaknya.

Sepulang sekolah, Sakti tidak diperkenankan bermain keluar dan mewajibkan untuk tidur siang. Alasannya yang disampaikan untuk menjaga kesehatan Sakti. Padahal utamanya adalah menghindari anaknya jajan.

“Terserah mau tidur atau tidak, yang pasti di dalam rumah. Tapi seringnya dia tidur siang. Malam hari, saat saya setrika, depan saya ada anak belajar sambil saya awasi,” jelas Yuniati.

“Kalau dia main, nanti ada temannya jajan, dia pasti pengin jajan juga. Sementara penghasilan saya tahun 1985 hanya Rp 800,” lanjutnya.

Untuk menunjang belajar Sakti, Yuniati dengan segala keterbatasannya membeli buku-buku bekas di pasar bekas Yogyakarta. Dalam sehari, setiap malam, Sakti belajar minimal setengah jam setelah itu tidur.

Menginjak bangku sekolah lanjutan tingkat pertama, ia bersyukur tidak lagi dipusingkan dengan pembiayaan sekolah. Di SMP Bopkri 1 Lempuyangan, Yogyakarta, Saksi selalu mendapatkan rangking 1 dan mendapatkan beasiswa bebas SPP.

Prestasinya berlanjut ditingkat SMA. Di SMA Negeri 1 Jetis, Sakti selalu mendapatkan juara 1. Dari bangku SMA ini ia sempat kebingungan karena disaat bersamaan adiknya Octaviana lulus SMP. Dengan tekadnya, Yuniati memberanikan diri menemui Bupati Bantul dan mengajukan permohonan beasiswa kuliah.

“Sakti langsung disurvey dari Departemen Sosial, Alhamdulillah dibantu. Meskipun nggak dicover semua, tapi sangat membantu. Sisanya saya cari hutangan,” urainya.

Di UNY mengambil Jurusan Kimia, Sakti masuk tanpa tes karena prestasinya. Hanya membayar satu semester awal, sisanya hingga lulus mendapatkan beasiswa. Sakti mendapatkan IPK diatas 3,7 saat lulus.

“Kata tetangga, makan saja cari hutangan kok anaknya kuliah,” ingat Yuniati dari omongan tetangganya.

Gunjingan itu sempat membuat Sakti sedih dan marah dengan tetangganya. Namun Yuniati terus-terusan menenangkan anaknya. Dari prestasi yang didapatkan UNY, Sakti mendapatkan tawaran pribadi dari dosennya untuk melanjutkan S2 di UGM.

Selama menjalani pendidikan di UGM, Sakti berkesempatan mengikuti pertukaran pelajar di Jepang selama 6 bulan. Kesempatan itu digunakan dengan baik untuk mencari beasiswa program S3. Melalui Dikti, ia kemudian melanjutkan Program S3 di Universitas Hokaido Jepang.

Selama tiga tahun menempuh pendidikan di Jepang, ia kemudian kembali ke Indonesia pada Agustus 2015 dan bersiap mengajar di kampus yang turut membesarkan namanya, UNY.
Akhir Agustus lalu Yulianti diganjar penghargaan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Mendikbud Muhadjir Effendy mendaulat Yulianti sebagai salah satu penerima penghargaan Orang Tua Hebat tahun 2016.

Muhadjir berharap penghargaan yang diberikan dapat memotivasi dan menginspirasi orang tua lainnya se- Indonesia.

Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga, Ditjen PAUD dan DIKMAS, Sukiman, menambahkan, keluarga adalah pendidik yang pertama dan utama. Keteladanan keluarga merupakan investasi luar biasa bagi bangsa Indonesia. Konsep keluarga sebagai pendidik sejak lama dicetuskan Ki Hajar Dewantara.

Sejak tahun 1935, Ki Hajar Dewantara mencetuskan Tri Sentra Pendidikan. Yakni pedidikan alam keluarga, pendidikan alam perguruan dan pendidikan alam pergerakan pemuda.

Kemendikbud menjabarkan apa yang telah dicetuskan Ki Hajar Dewantara tersebut dengan menjaring orang tua hebat dari seluruh Indonesia.

Artikel ini ditulis oleh: