28 Desember 2025
Beranda blog Halaman 171

Rapat Paripurna DPR Setujui RUU KUHAP Jadi UU

Ketua DPR RI Puan Maharani memimpin Rapat Paripurna DPR di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (3/7/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi

Jakarta, aktual.com – Rapat Paripurna ke-18 DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 205-2026 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk disahkan menjadi undang-undang.

“Apakah dapat disetujui untuk menjadi undang-undang? Terima kasih,” kata Ketua DPR RI Puan Maharani yang dijawab setuju oleh seluruh anggota DPR RI yang hadir dalam rapat paripurna di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (18/11).

Hal itu dilakukan setelah seluruh fraksi partai politik di DPR RI menyampaikan pandangannya dan persetujuannya terhadap RUU KUHAP yang telah rampung dibahas oleh Komisi III DPR RI.

Sementara itu, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan bahwa pengesahan KUHAP yang baru merupakan hal yang penting, mengingat KUHAP yang lama sudah berusia 44 tahun.

KUHAP baru, kata dia, diarahkan untuk menuju keadilan yang hakiki.

Dia mengatakan KUHAP yang baru itu akan mendampingi penggunaan KUHP baru yang sudah disahkan sebelumnya. KUHP sebagai hukum materiil, harus dilengkapi oleh KUHAP baru sebagai hukum formil untuk operasionalnya.

“Pembentukan RUU KUHAP ini tidaklah terburu-buru sama sekali, bahkan kalau hitungannya ya, waktu kita membentuk KUHAP ini lebih dari satu tahun,” kata Habiburokhman.

Dia menjelaskan, sejumlah perubahan dalam KUHAP pada intinya memperkuat hak-hak warga negara dalam menghadapi aparat penegakan hukum.

Selain itu, menurut dia, peran profesi advokat juga diperkuat untuk mendampingi warga negara.

Selain itu, dia mengatakan KUHAP baru juga mengakomodasi secara maksimal terhadap masyarakat kelompok rentan.

Untuk itu, menurut dia, KUHAP itu juga mencantumkan pengaturan spesifik terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, perempuan, dan lansia.

Kemudian, dia mengatakan bahwa KUHAP baru itu akan mewajibkan penggunaan kamera pengawas dalam proses pemeriksaan saksi maupun tersangka dalam suatu kasus, guna mencegah praktik penyiksaan dan intimidasi oleh aparat.

Dia juga mengatakan bahwa syarat penahanan dalam KUHAP baru dibuat seobjektif mungkin guna menghindari penahanan yang dilakukan oleh aparat karena bersifat subjektif atau “suka-suka”.

“Jadi di KUHAP lama itu penahanan bisa sangat subjektif, bisa seleranya penyidik saja, suka-sukanya, di KUHAP baru tidak,” katanya.

Kemudian pengaturan baru yang diatur dalam KUHAP, di antaranya bantuan hukum, jaminan tersangka, keadilan restoratif, pendamping saksi, penguatan praperadilan. Pada intinya, dia memastikan bahwa KUHAP yang baru itu sangat progresif.

“Kritik maupun dukungan terhadap pengesahan RUU KUHAP ini kami maknai sebagai keniscayaan berdemokrasi di negeri tercinta ini,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

KPAI Desak Revisi UU SPPA dan Penguatan Mitigasi Bullying di Sekolah

Komisioner KPAI Diyah Puspitarini. ANTARA/Azmi Samsul M
Komisioner KPAI Diyah Puspitarini. ANTARA/Azmi Samsul M

Jakarta, aktual.com – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti masih maraknya kasus perundungan di lingkungan sekolah dan mendorong pemerintah bersama DPR untuk segera merevisi UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

“Untuk hukuman, sebenarnya KPAI sudah mengupayakan segera revisi UU Sistem Peradilan Pidana Anak, agar memberikan efek jera bagi anak pelaku,” kata Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, kepada wartawan, Selasa (17/11/2025).

Ia menjelaskan bahwa praktik bullying muncul karena masih kuatnya relasi kuasa di antara para siswa, di samping lemahnya pengawasan institusi pendidikan.

“Bullying sering kali terjadi jika masih ada relasi kuasa antaranak di sekolah, seperti si kaya, si dominan, dan lain-lain,” ujarnya.

“Selain itu, juga pengawasan yang lemah di sekolah sangat memungkinkan terjadi tindakan bullying,” lanjutnya.

Diyah mengusulkan bentuk hukuman yang dianggap lebih memberikan dampak pembinaan, seperti reintegrasi sosial, karena sanksi administratif saja dinilai tidak memadai.

“Reintegrasi sosial, dengan tidak hanya hukuman tetapi juga bisa dengan menjadi pekerja sosial,” katanya.

Ia juga menekankan bahwa setiap sekolah seharusnya memiliki sistem mitigasi bullying yang komprehensif. Menurutnya, langkah pencegahan tidak cukup dilakukan lewat sosialisasi belaka.

“Tetapi lebih kepada mendata anak rentan, penguatan resiliensi anak, hingga membentuk sikap dan budaya di sekolah yang memiliki toleransi tinggi, sehingga nirkekerasan bisa terbentuk,” jelasnya.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto memberikan perhatian serius atas meningkatnya kasus perundungan di berbagai sekolah. Ia menegaskan pentingnya penanganan menyeluruh.

“Ini harus kita atasi,” ucap Prabowo ketika menanggapi kasus bullying terhadap siswa SMPN 19 Tangerang Selatan yang berujung pada trauma berat hingga meninggal dunia.

Korban, seorang pelajar berinisial MH (13), mengalami luka fisik dan tekanan psikologis setelah menjadi sasaran perundungan. Setelah dirawat selama sepekan di rumah sakit, MH akhirnya meninggal dunia.

Polres Tangerang Selatan membenarkan kabar tersebut. Korban wafat pada Minggu (16/11) pagi.

“Bapak Kapolres Tangerang Selatan (AKBP Victor Inkiriwang) menyampaikan turut berdukacita sedalam-dalamnya dan akan menangani perkara tersebut secara profesional,” ujar Kasi Humas Polres Tangsel, AKP Agil, Minggu (16/11).

MH menghembuskan napas terakhir saat menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di Jakarta setelah seminggu dalam kondisi kritis.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Gelombang Penolakan Publik Menguat Jelang Pengesahan RKUHAP

Sejumlah Anggota DPR RI menghadiri Rapat Paripurna DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (2/10/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi.
Sejumlah Anggota DPR RI menghadiri Rapat Paripurna DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (2/10/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi.

Jakarta, aktual.com — Setelah Komisi III DPR RI bersama Pemerintah mencapai kata sepakat terkait RUU KUHAP dan membawanya ke Rapat Paripurna DPR pada Selasa (18/11) untuk disahkan menjadi undang-undang, reaksi keras segera bermunculan di ruang publik.

Di media sosial, berbagai kelompok masyarakat menyuarakan penolakan dengan menyoroti potensi masalah dalam aturan baru tersebut. Tagar seperti #SemuaBisaKena dan #TolakRKUHAP ramai digunakan sebagai bentuk protes.

Penolakan terhadap RUU KUHAP yang sudah berada di tahap akhir sebelum disahkan ini sebenarnya bukan fenomena baru—gelombang keberatan telah terdengar sejak Februari 2025. Namun, situasi memanas setelah Komisi III menyatakan bahwa pengesahan akan segera dilakukan.

Sejumlah figur publik yang aktif mengikuti proses revisi KUHAP mendorong masyarakat untuk tidak bersikap pasif. Melalui unggahan berisi visual Peringatan Darurat berwarna hitam, mereka memaparkan alasan mengapa pengesahan RUU KUHAP dianggap berbahaya.

“Penjebakan, pemerasan, dan upaya paksa tanpa kontrol—itulah risiko besar jika RKUHAP disahkan. Padahal, ini rancangan yang dibutuhkan untuk melindungi masyarakat, bukan memperkuat kesewenang-wenangan. Tanggalnya sudah di depan mata: 18 November 2025. Kita harus menolak sebelum semuanya terlambat,” tulis Akun Instagram @sahabaticw, Selasa (18/11).

Berikut 18 alasan yang dikemukakan kelompok masyarakat sipil mengenai urgensi menolak pengesahan RKUHAP:

1. Minimnya Partisipasi Publik Dalam Penyusunan RKUHAP

Proses legislasi dinilai mengulangi pola buruk yang terburu-buru dan tidak transparan. Masyarakat hanya diminta memberi masukan secara formalitas, tanpa kejelasan apakah pandangan mereka benar-benar dipertimbangkan. Dokumen pembahasan usai draft 17 Juli 2025 pun tidak pernah dipublikasikan.

2. Bertentangan dengan Tuntutan Reformasi Kepolisian

Alih-alih membatasi kewenangan aparat, RKUHAP memperluas ruang diskresi yang dinilai rawan disalahgunakan dan memperlemah mekanisme pengawasan.

3. Penurunan Standar HAM

Rumusan pasal-pasal RKUHAP dianggap tidak sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi yang diatur dalam berbagai konvensi internasional, termasuk terkait perempuan dan penyandang disabilitas.

4. Potensi Penjebakan oleh Aparat

Kewenangan undercover buy dan controlled delivery diperluas tanpa batasan yang jelas dan tanpa pengawasan hakim, sehingga membuka peluang entrapment.

5. Penangkapan dan Penahanan Tanpa Kejelasan di Tahap Penyelidikan

RKUHAP memungkinkan penangkapan, penggeledahan, hingga penahanan meski tindak pidana belum terkonfirmasi. Hal ini berbeda dengan KUHAP saat ini yang melarang upaya paksa di tahap tersebut.

6. Penangkapan–Penahanan Tanpa Pengawasan Hakim

Izin hakim tidak menjadi syarat mutlak. Skema baru dianggap mendorong aparat menghindari kontrol yudisial.

7. Penggeledahan, Penyitaan, Penyadapan Tanpa Izin Hakim

Aparat diberi ruang menggunakan alasan “mendesak” berdasarkan penilaian subjektif, termasuk melakukan penyadapan meski belum ada dasar hukum yang matang.

8. Potensi Pemerasan dan Penyalahgunaan Skema Restorative Justice

Kesepakatan damai bisa dilakukan bahkan saat belum dipastikan adanya tindak pidana. Pengawasan hakim terbatas sehingga membuka ruang pemaksaan.

9. Polisi Menguasai Koordinasi Semua Penyidik

Seluruh PPNS dan Penyidik Khusus ditempatkan di bawah koordinasi Polri, memperbesar risiko konsentrasi kekuasaan tanpa pengawasan memadai.

10. Pembatasan Akses Bantuan Hukum

Hak atas bantuan hukum hanya diberikan berdasarkan ancaman pidana. Selain itu, penyidik memiliki kewenangan menunjuk advokat, yang dinilai rentan digunakan untuk menekan tersangka agar melepas pendamping hukum.

11. Minimnya Perlindungan bagi Penyandang Disabilitas

Pasal-pasal yang ada dinilai masih bersifat diskriminatif dan tidak memastikan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas.

12. Hak Korban Salah Tangkap Dikurangi

Mekanisme ganti rugi dan rehabilitasi dibuat sangat terbatas hanya pada situasi tertentu, sehingga mempersempit kesempatan korban untuk memperoleh keadilan.

13. Adanya Perlakuan Istimewa bagi Hakim

Untuk menangkap hakim dibutuhkan izin khusus Ketua MA, sementara warga biasa tidak mendapatkan perlindungan serupa.

14. Kewenangan Komnas HAM Dikebiri

Penyelidikan pelanggaran HAM berat tetap berada di bawah koordinasi Polri, bertentangan dengan UU Pengadilan HAM.

15. Laporan Warga Berpotensi Diabaikan

Tidak ada kewajiban jelas bagi aparat untuk menindaklanjuti laporan, sehingga masalah undue delay tetap berlanjut.

16. Standar Pembuktian Tidak Jelas

Tidak ada perumusan yang tegas terkait kualitas dan relevansi bukti. Pengelolaan barang bukti juga belum memiliki standar yang memadai.

17. Impunitas Militer Dipertahankan

Mekanisme koneksitas tetap berlaku sehingga kasus yang melibatkan anggota TNI aktif rawan tidak diproses secara transparan.

18. Risiko Kekacauan Hukum Jika Diberlakukan Tanpa Masa Transisi

RUU KUHAP akan langsung berlaku 2 Januari 2026 tanpa masa adaptasi, sementara peraturan pelaksana belum tersedia. Hal ini dinilai berpotensi menciptakan kekacauan dalam praktik penegakan hukum.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

UGM Akui Dokumen KRS dan Laporan KKN Jokowi Tak Ditemukan dalam Sidang Sengketa Informasi

Foto Tangkapan Layar Sidang Sengketa Informasi antara Leony Lidya Terhadap UGM, KPU, & Polda Metro Jaya (Youtube: Komisi Informasi Pusat)
Foto Tangkapan Layar Sidang Sengketa Informasi antara Leony Lidya Terhadap UGM, KPU, & Polda Metro Jaya (Youtube: Komisi Informasi Pusat)

Jakarta, aktual.com – Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan bahwa mereka tidak memiliki dokumen Kartu Rencana Studi (KRS) maupun laporan Kuliah Kerja Nyata (KKN) milik Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, selama masa studinya di Fakultas Kehutanan. Pernyataan tersebut muncul dalam sidang sengketa informasi publik yang digelar di Jakarta pada Senin (17/11/2025).

Sidang yang menghadirkan koalisi Bongkar Ijazah Jokowi (Bonjowi) sebagai pemohon berlangsung dengan pemeriksaan rinci atas rekam jejak akademik. UGM hadir bersama sejumlah pihak termohon lain, di antaranya KPU DKI Jakarta, KPU Surakarta, dan Polda Metro Jaya.

Pemeriksaan dimulai dengan pertanyaan Ketua Majelis, Rospita Vici Paulyn, terkait keberadaan Kartu Hasil Studi (KHS) dan KRS. “KHS ada?” tanya Rospita.

“Ada,” jawab termohon.

“Kalau KRS?” lanjut Rospita.

“Tidak ada itu. Enggak ada ya. Dan kami telah mencoba dengan sedemikian rupa gitu ya,” ujar pihak termohon.

Pihak kampus menjelaskan bahwa pencarian dokumen hingga ke tingkat fakultas juga tidak membuahkan hasil. “Di fakultas juga enggak ada?” tanya Rospita.

“Tidak ada. Kami sudah memastikan juga ke fakultas. Heeh. Dan apa ya, dan, dan memang tidak ada ya… karena memang mungkin pada zaman itu ya… KRS itu kan memang oleh mahasiswa ya dan dosen pembimbing gitu. Dan kami sekali lagi telah mencoba mencari sedemikian rupa, dan itu memang tidak ada ya,” jelas mereka.

Hal yang sama terjadi pada dokumen laporan KKN. “Laporan Kuliah Kerja Nyata?” tanya Ketua Majelis.

“Laporan Kuliah Kerja Nyata itu juga apa ya, itu tidak ada, gitu ya,” jawab termohon.

UGM turut menyampaikan bahwa mereka tidak lagi menyimpan salinan ijazah Jokowi yang sempat diserahkan ke Polda Metro Jaya dalam kasus Roy Suryo Cs. Namun, pihak kampus menyatakan masih memiliki salinan scan atau fotokopi warna.

“Iya, eh yang kita serahkan ke Polda itu yang salinan yang asli gitu Ibu,” kata termohon.

“Iya, salinan asli. Fotokopi yang lain enggak ada?” tanya Rospita.

“Photo scan-nya tentu ada,” jawab termohon.

Perdebatan sempat muncul ketika UGM berargumen bahwa dokumen tersebut termasuk data pribadi yang dikecualikan. Namun, Rospita menegaskan bahwa sidang saat itu berfokus pada keberadaan fisik dokumen, bukan status kerahasiaannya.

“Enggak, terlepas dari itu dulu. Ini kan persoalannya, dari pihak UGM kemudian menjawabnya tidak dalam penguasaan. Tidak dalam penguasaan itu kan pengertiannya tidak ada berarti. Gitu loh. Nah, ada atau enggak nih? Saya, saya tidak, tidak menyangkut ke ada informasi pribadi atau apa, enggak dulu. Ada enggak dalam penguasaan UGM?” tegas Rospita.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

DK PBB Setuju Bentuk Pasukan Stabilitasi Internasional di Jalur Gaza

Arsip foto - Prajurit TNI AL bersiap melepas kapal RS TNI Radjiman yang akan menuju Palestina untuk bantuan kemanusiaan di Dermaga Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil), Jakarta, Kamis (18/1/2024). /ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aa.
Arsip foto - Prajurit TNI AL bersiap melepas kapal RS TNI Radjiman yang akan menuju Palestina untuk bantuan kemanusiaan di Dermaga Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil), Jakarta, Kamis (18/1/2024). /ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aa.

Washington, aktual.com – Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), Senin (17/11) mengadopsi resolusi yang disponsori Amerika Serikat (AS) untuk membentuk Pasukan Stabilitasi Internasional (International Stabilisation Force/ISF) di Jalur Gaza.

Sebanyak 13 negara anggota mendukung resolusi tersebut, sementara Rusia dan China menyatakan abstain.

Resolusi tersebut memberi dasar bagi pembentukan ISF yang akan beroperasi di Gaza melalui kerja sama dengan Israel dan Mesir, serta dengan mandat awal selama dua tahun.

Pasukan tersebut bertugas mengamankan perbatasan Gaza, melindungi warga sipil, menyalurkan bantuan kemanusiaan, melatih kembali kepolisian Palestina, serta mengawasi proses pelucutan senjata Hamas dan kelompok bersenjata lainnya.

Berdasarkan teks resolusi, pasukan Israel akan menarik diri setelah ISF mengambil alih kendali penuh.

Sebuah Badan Perdamaian transisi yang diketuai Presiden AS Donald Trump akan mengoordinasikan upaya keamanan, bantuan kemanusiaan, dan rekonstruksi, serta mengarahkan Gaza menuju otoritas Palestina yang telah direformasi.

Pada akhir September, Trump mengumumkan rencana 20 poin untuk mengakhiri konflik di Gaza. Rencana tersebut mengharuskan Hamas dan faksi lain untuk melepaskan peran mereka dalam pemerintahan di Gaza.

Gencatan senjata antara Israel dan Hamas mulai berlaku pada 10 Oktober. Tiga hari kemudian, pada 13 Oktober, Trump, Presiden Mesir Abdel Fattah Sisi, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menandatangani deklarasi terkait gencatan senjata di Gaza.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

DKPP Berhentikan Anggota KPU Kota Gorontalo

Jakarta, aktual.com – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Anggota KPU Gorontalo, Junaidi Yusrin, karena terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dalam sidang pembacaan putusan untuk dua perkara di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, pada Senin (17/11/2025).

“Menjatuhkan Sanksi Pemberhentian Tetap kepada Teradu Junaidi Yusrin selaku Anggota KPU Kota Gorontalo terhitung sejak Putusan ini dibacakan,” demikian Ketua Majelis Heddy Lugito saat membacakan putusan perkara nomor 187-PKE-DKPP/VIII/2025.

Teradu selaku Anggota KPU Kota Gorontalo melakukan penipuan terhadap seorang pengusaha sembako atas nama Pariyem pada proyek pengadaan bantuan di Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia senilai Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta).

Berdasarkan fakta persidangan, kasus ini berawal dari teradu mendapat penawaran proyek pengadaan minyak kelapa dari Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. Teradu lalu mendistribusikan proyek tersebut kepada Pariyem melalui salah seorang pegawai ASN di Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Gorontalo Utara atas nama Nana (pemberi proyek). Hal tersebut dilakukan sebelum teradu dilantik menjadi Anggota KPU Kota Gorontalo.

Pariyem diminta oleh teradu untuk mentransfer uang senilai Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta) atas pengadaan minyak kelapa 2.000 dus yang senilai Rp1.105.000.000 (satu miliar seratus lima juta rupiah) pada bulan Januari. Teradu menjanjikan kepada Pariyem bahwa proyek tersebut akan cair dalam jangka waktu dua minggu.

Terungkap fakta dalam sidang pemeriksaan, proyek yang dijanjikan dua minggu cair tidak dapat ditepati oleh teradu, bahkan hingga teradu dilantik menjadi anggota KPU Kota Gorontalo pada tanggal 3 Juni 2024.

Pariyem sudah beritikad baik dengan mendatangi rumah teradu guna menyelesaikan persoalan tersebut, namun hal itu tidak ditanggapi oleh teradu. Bahkan ketika Pariyem menyatakan akan melaporkan ke pihak kepolisian dengan laporan penipuan, teradu justru menantang Pariyem, hingga akhirnya teradu ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penipuan.

DKPP menyampaikan bahwa terkait dengan proses hukum yang dijalani oleh teradu merupakan kewenangan lembaga lain untuk menyelesaikannya.

“Tindakan teradu merupakan tindakan yang tidak mencerminkan perilaku selayaknya penyelenggara pemilu yang dituntut untuk bertindak jujur dan menjaga sikap, tindakan, perilaku, dan integritas sebagai penyelenggara pemilu,” tegas Anggota DKPP, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi.

Teradu terbukti melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d, Pasal 6 ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf f, Pasal 7 ayat (3), Pasal 8 huruf a, Pasal 11 huruf a dan huruf d, Pasal 15 huruf a, huruf d, dan huruf g, dan Pasal 16 huruf e Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu,

Dalam persidangan hari ini, DKPP membacakan putusan untuk dua perkara. Putusan-putusan tersebut melibatkan enam penyelenggara pemilu sebagai teradu. Secara keseluruhan, DKPP menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tetap (1), dan terdapat (5) penyelenggara pemilu yang direhabilitas karena tidak terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP).

Sidang ini dipimpin oleh Heddy Lugito selaku Ketua Majelis. Ia didampingi tiga Anggota Majelis yaitu J. Kristiadi, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, dan Muhammad Tio Aliansyah.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Berita Lain