28 Desember 2025
Beranda blog Halaman 172

Siap-siap! Minuman Kemasan Berpemanis Kena Cukai & Tarif Bea Keluar Emas hingga 15 %

Ilustrasi minuman berpemanis dalam kemasan.

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Indonesia berencana memberlakukan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) mulai 2026. Cukai ini akan diberlakukan pada minuman siap konsumsi dan konsentrat kemasan yang dijual eceran.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, menjelaskan bahwa minuman seperti es teh manis yang dijual di warung kecil tidak akan dikenakan cukai ini.

“Cukai hanya akan berlaku pada produk yang siap konsumsi dalam kemasan, bukan yang dijual langsung di tempat,” ungkapnya dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/11/2025).

Ia menambahkan, kebijakan ini telah diterapkan di lebih dari 115 negara, termasuk tujuh negara di kawasan ASEAN. “Tarif cukai rata-rata di ASEAN adalah Rp 1.771 per liter,” ujar Febrio, yang menjadikan angka tersebut sebagai referensi tarif cukai di Indonesia.

Pengenaan cukai ini bertujuan untuk menurunkan konsumsi gula berlebih yang dapat menyebabkan penyakit tidak menular seperti diabetes dan obesitas. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat berkontribusi dalam peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.

Meskipun sudah dimasukkan dalam RAPBN 2026, pemerintah masih mendiskusikan teknis pelaksanaan cukai ini dengan kementerian dan lembaga terkait. “Pembahasan masih berjalan antar kementerian dan lembaga,” jelasnya.

Selain itu, pemerintah berharap cukai ini dapat memberi kontribusi pada penerimaan negara. “Ini akan menjadi sumber pendapatan negara, namun kami masih mengkaji penetapannya dengan hati-hati,” tambah Febrio.

Penerapan cukai ini akan disesuaikan dengan kondisi perekonomian Indonesia pada 2026. Pemerintah berharap kebijakan ini bisa diterapkan ketika perekonomian sudah stabil dan menunjukkan pertumbuhan yang positif.

Tarif Bea Keluar Emas

Kemenkeu juga tengah tengah menyiapkan kebijakan pengenaan tarif bea keluar terhadap komoditas emas melalui Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Rancangan ini diharapkan dapat diterapkan pada tahun fiskal 2026 dengan tarif yang bervariasi antara 7,5% hingga 15%, tergantung jenis produk emas.

Febrio Nathan Kacaribu, menjelaskan bahwa tarif akan dikenakan pada produk dore, ingot, dan batangan emas. Produk-produk ini akan dikenakan tarif antara 12,5% hingga 15%, tergantung pada harga pasar emas yang berlaku.

Pemerintah juga akan membedakan tarif berdasarkan tingkat pengolahan produk emas. Produk yang lebih olahan, seperti minted bars dan cast bars, akan dikenakan tarif lebih rendah, yakni antara 7,5% hingga 10%.

“Tarifnya akan lebih tinggi dibanding kalau makin hilir. Ketika dia sudah dalam bentuk ingot atau cast bar, apalagi kalau dalam bentuk minted bars, sehingga tarifnya lebih rendah,” ucap Febrio.

Proyeksi pendapatan negara dari penerapan bea keluar ini diperkirakan bisa mencapai antara Rp 1,5 triliun hingga Rp 2 triliun per tahun. “Kalau paling bawah itu kayaknya minimal Rp 1,5-2 triliun dapat sih setahunnya,” tambahnya.

Meskipun kebijakan ini sudah memasuki tahap finalisasi, pemerintah masih melakukan harmonisasi dengan kementerian terkait. Pemerintah berharap dapat segera mengundangkan PMK tersebut pada November 2025 dan berlaku dua minggu setelah diundangkan.

Selain PMK, pemerintah juga akan menyusun peraturan turunan berupa Permendag yang mengatur Harga Patokan Ekspor (HPE) emas. Aturan ini akan mendukung pelaksanaan kebijakan dan memastikan perdagangan emas lebih terstruktur.

Laporan: Nur Aida Nasution

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi

Banyak Dapur SPPG Mandek, Kebutuhan Ahli Gizi Jadi Polemik

Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal (tengah) bersama perwakilan dari BGN dan Persagi dalam pertemuan di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (17/11/2025)/ Foto: Taufik Akbar Harefa/Aktual.com

Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal mengklarifikasi pernyataannya yang viral di media sosial soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak membutuhkan tenaga ahli gizi.

Politisi PKB ini menyampaikan, polemik soal kebutuhan tenaga ahli gizi berawal dari hasil rapat dengar pendapat antara Badan Gizi Nasional dengan DPR RI. Dalam RDP tersebut terungkap, kekurangan tenaga ahli gizi menjadi sebab mandeknya operasional dapur Pemenuhan Gizi (SPPG).

“Problematika ada yang Ahli Gizi sudah di dapur ini, pindah ke dapur ini (lainnya, red). Yang (dapur, red) ini bisa jalan, tapi (dapur, red) ini sekarang jadi macet,” ujar Cucun, dalam keterangannya di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (17/11/2025).

Cucun juga mengungkap temuan lainnya di lapangan, banyak dapur MBG tidak beroperasi karena kekurangan tenaga ahli gizi.

“Kok dapur ini belum berjalan? Bahkan ada satu kecamatan dari sebelah dapur, baru tiga dapur yang berjalan. Teriakan anak-anak, ‘Pak, kami belum terima MBG’. Ternyata mau operate tapi belum ada Ahli Gizi, belum ada akuntan,” paparnya.

Kondisi ini, menurutnya, karena belum ada kerjasama antara Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) dengan BGN terkait pemenuhan tenaga ahli gizi di SPPG. “Karena belum ada ‘kawin’ antara Persagi dengan BGN, gak bisa menindak ahli gizinya,” paparnya.

Ia menjelaskan, usulan perubahan istilah ‘ahli gizi’ justru muncul dari forum internal, karena keterbatasan tenaga, bukan sebagai keputusan resmi DPR.

“Yang usulin itu putrinya beliau. Jangan ada embel-embel lagi Ahli Gizi. Saya respons, kalau keinginan demikian, nanti profesi panjenengan semua ya diganti, ya, habis,” paparnya

Sebelumnya, pernyataan Cucun dalam Forum Konsolidasi SPPG se-Kabupaten Bandung, Jawa Barat, soal rencana mengganti istilah ahli gizi ramai dikritik. Pernyataan itu ia sampaikan merespons pertanyaan dan usulan peserta forum.

“Jika memang pada akhirnya tetap ingin merekrut dari non-gizi, tolong tidak menggunakan embel-embel ahli gizi lagi,” ujar peserta tersebut.

Namun, di tengah penjelasan konteks pertanyaannya, Cucun buru-buru memotong penjelasan peserta tersebut.

“Kamu itu (bicaranya) terlalu panjang. Yang lain kasihan,” kata Cucun.

“Saya enggak suka anak muda arogan kayak gini. Mentang-mentang kalian sekarang dibutuhkan negara, kalian bicara undang-undang. Pembuat kebijakan itu saya, tenaga yang menangani gizi. Tidak perlu ahli gizi. Cocok enggak? Nanti saya selesaikan di DPR,” imbuhnya.

Wakil Kepala BGN mengatakan, sangat sulit mencari tenaga ahli gizi untuk memenuhi program MBG. Ia menyampaikan, dari 53.000 anggota Persagi, hanya ada 16.000 orang yang aktif. “SPPG operasional sekarang sudah menyentuh angka 14.000. Masih ada 2.000, tapi 2.000 ini ada di mana susah dicari,” paparnya.

Ia mempertanyakan kemampuan pemenuhan kebutuhan jika SPPG bertambah menjadi 22.000 titik pada akhir tahun. “Siap nggak Persagi memenuhi kekurangan 6.000 ini? Kalau ternyata masih belum ada, apa solusinya?” tanyanya.

Ketua Persagi, Doddy Izwardy menyampaikan, pihaknya siap berkolaborasi dengan BGN untuk menyediakan tenaga ahli gizi yang bertanggung jawab.

“Kami menjaga keilmuan karena tujuan dan tugas itu sangat mulia. Pemenuhan gizi dengan sasaran target yang sangat besar sekali. Kami siap, kami punya DPD di 35 provinsi dan DPC di lebih dari 500 kabupaten untuk membina anggota,” ujar Doddy.

Laporan: Taufik Akbar Harefa

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi

Menkeu Purbaya Nyindir Media, Tapi Lupa Bedakan Bendahara dengan Kasir Negara

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjawab pertanyaan wartawan dalam wawancara cegat di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (21/10/2025). ANTARA/Imamatul Silfia/pri.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjawab pertanyaan wartawan dalam wawancara cegat di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (21/10/2025). ANTARA/Imamatul Silfia/pri.

Oleh: Rinto Setiyawan, S.H (Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia)

Jakarta, aktual.com – Ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyindir media dengan mengatakan bahwa “jurnalis sekarang mingkem, ekonomi malah tambah lemah”, publik tentu berhak bertanya: apakah melemahnya ekonomi disebabkan oleh media… atau justru oleh ketidakmampuan pemerintah menjalankan fungsi fiskal dengan benar?

Pernyataan Purbaya itu muncul dalam sebuah kritik yang diarahkan ke dunia jurnalisme, seolah-olah melemahnya ekonomi adalah akibat dari kurangnya kontrol media. Padahal, dalam waktu yang hampir bersamaan, Purbaya juga menyatakan tidak akan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN)—sebuah institusi yang justru sangat dibutuhkan untuk memperbaiki manajemen penerimaan negara dan menyelamatkan fiskal dari kebocoran struktural.

Di sinilah ironi itu muncul:

Purbaya sibuk mengkritik pihak luar, tetapi justru melupakan masalah dasar di dapurnya sendiri—ketidakmampuan membedakan fungsi bendahara negara dan fungsi kasir negara, dua hal yang semestinya wajib dipisah dalam tata kelola keuangan publik modern.

Bendahara Bukan Kasir — dan Negara Bukan Minimarket

Dalam standar tata kelola global—COSO (Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission), INTOSAI (International Organisation of Supreme Audit Institutions), OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development)—fungsi bendahara dan kasir harus terpisah:

• Bendahara adalah perencana, pengendali, penjaga, dan pengawas aset negara.

• Kasir adalah pencatat transaksi harian dan pelaksana operasional penerimaan dan pembayaran.

Purbaya menyatukan dua fungsi ini dalam satu kementerian, tanpa pemisahan lembaga penerimaan negara.

Akibatnya, pemerintah menjadi pelayan publik yang:

menerima uang, memegang kas, mencatat sendiri transaksi, sekaligus mengaudit dirinya sendiri.

Dalam bahasa audit, ini bukan sekadar rawan — ini namanya fraud waiting to happen.

Dan ketika bendahara = kasir, maka:

• Tidak ada check and balance

• Tidak ada pemisahan fungsi

• Tidak ada independensi penerimaan

• Tidak ada akuntabilitas

Hasilnya jelas: penerimaan lemah, kebocoran besar, dan rakyat yang menjadi majikan kehilangan kendali.

Menkeu Nyindir Media, Tapi Menolak Memperbaiki Sistem

Di satu sisi, Purbaya menyindir media sebagai “mingkem”, seakan-akan kritik yang kurang vokal adalah penyebab ekonomi melemah.

Tetapi di sisi lain, ia menolak pembentukan BPN—yang menjadi salah satu program hasil terbaik cepat Prabowo-Gibran, yaitu:

Reformasi sistem penerimaan negara dengan membentuk Badan Penerimaan Negara yang independen.

BPN ini bukan gagasan kosmetik.

Ia lahir karena Indonesia sudah terlalu lama menderita akibat sistem penerimaan yang:

• campur aduk,

• tidak terpisah secara institusional,

• dan dikendalikan satu orang: Menteri Keuangan.

Di banyak negara maju, penerimaan negara dipisah dari pembelanjaannya. Indonesia masih memaksa sistem lama, yang justru membuat kontrol publik lemah.

Alih-alih menjalankan agenda Presiden, Purbaya memilih mempertahankan status quo dan menolak reformasi struktural.

Ironisnya: ia sibuk menyalahkan media, bukannya memperbaiki institusi.

Negara Ini Rumah Rakyat — Bukan Gerai Retail

Jika negara kita diibaratkan rumah, maka:

• Rakyat adalah pemilik rumah.

• Pemerintah adalah asisten rumah tangga/pelayan publik.

• Uang negara adalah uang dapur milik rakyat.

Jika pelayan publik memegang semua uang, mencatat sendiri transaksi, dan mengaudit dirinya sendiri, maka itu bukan rumah, itu minimarket.

Dan jika Menkeu masih menyatukan fungsi bendahara negara dan kasir negara, maka:

pelayan publik mencatat penerimaan sekaligus mengendalikan catatan keuangan, dan ujungnya pasti terjadi fraud.

Ini bukan teori, ini hukum alam dalam manajemen keuangan.

Masalahnya Bukan Media — Masalahnya Sistem Fiskal yang Kacau

Lemahnya ekonomi tidak pernah disebabkan oleh jurnalis yang “mingkem.”

Lemahnya ekonomi lahir dari:

• sistem penerimaan negara yang bocor,

• kebijakan fiskal tanpa kontrol,

• pelayan publik yang memegang dua fungsi sekaligus,

• dan lemahnya pemisahan lembaga negara dan lembaga pemerintah.

Ketika bendahara = kasir, maka rakyat kehilangan posisi sebagai majikan.

Pemerintah makan dari dapur rakyat, tapi bertindak seperti pemilik restoran.

Dan ketika Menkeu menyalahkan media, ia sedang menutupi kelemahannya sendiri.

Saatnya Menkeu Menyadari Siapa Majikannya

Negara ini bukan milik Menkeu, bukan milik pejabat, bukan milik elite.

Negara ini rumah rakyat.

Dan kalau pelayan rumah lupa siapa majikannya, maka bukan hanya ekonomi yang melemah—kepercayaan publik pun runtuh.

Sebelum menyindir media, Purbaya seharusnya bertanya:

Apakah saya sudah mengelola keuangan negara dengan benar?

Atau saya hanya jadi kasir yang mengaku sebagai bendahara?

Karena masalah terbesar negeri ini bukan jurnalis yang diam, Tetapi pelayan publik yang tidak tahu perannya.

Dan selama bendahara dan kasir tetap disatukan, rakyat akan terus membayar harga dari sebuah sistem yang cacat sejak lahir.

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

APBD 2025 Seret, Kemendagri Soroti Belanja Daerah yang Baru Sentuh 64 Persen

Plt. Sekjen Kemendagri Tomsi. (ANTARA/HO-Puspen Kemendagri)

Jakarta, Aktual.com – Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Tomsi Tohir meminta pemerintah daerah mempercepat realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2025 menjelang akhir tahun anggaran.

“Kurang lebih tinggal sebulan lagi, satu bulan lagi sudah tutup pembukuannya,” kata Tomsi saat memimpin Rapat Koordinasi Percepatan Realisasi APBD Tahun 2025 yang berlangsung secara hybrid dari Kantor Pusat Kemendagri, Jakarta, Senin (17/11).

Dalam rapat tersebut, ia menyoroti perkembangan realisasi APBD berdasarkan data per 16 November 2025. Tomsi mengungkapkan bahwa capaian pendapatan terbilang cukup baik, namun masih tertinggal sekitar 20 persen dari realisasi tahun 2024.

“Bila ditotal seluruhnya, ini baru 78,45 persen. Kemudian provinsi 79,58 persen, kabupaten ini yang masih rendah 77,80 persen, kota 78,98 persen,” ujarnya.

Tomsi juga memberi atensi terhadap realisasi belanja yang masih jauh dari target dan perlu mendapat perhatian serius. “Realisasi belanja ini yang memprihatinkan. Provinsi baru 64,43 persen, kabupaten rata-rata baru 63,65 persen, kota 64,03 persen,” tambahnya.

Baca juga : Polri Gerak Cepat: Bentuk Pokja Bahas Implementasi Putusan MK soal Jabatan Sipil

Melihat kondisi tersebut, Tomsi meminta seluruh pemda segera melakukan evaluasi menyeluruh agar percepatan realisasi APBD dapat dilakukan secara efektif.

“Saya minta untuk masing-masing daerah segera melihat mana hal-hal yang diperlukan untuk percepatannya, mana hal-hal yang memang harus dikoordinasikan lagi,” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Tomsi memaparkan daftar provinsi dan kabupaten/kota yang realisasi pendapatan maupun belanjanya masih rendah. Ia juga menyoroti adanya daerah yang pendapatannya tinggi, tetapi belanjanya rendah, seperti Provinsi Papua Tengah dan Kalimantan Barat.

“Ini yang kita lihat, seperti Papua Tengah itu tinggi realisasinya, realisasi uang pemasukannya sudah 89 persen, belanjanya baru 52 persen,” katanya.

Ia berharap pemda dapat lebih memahami penyebab rendahnya realisasi APBD sehingga pada tahun mendatang tidak terulang kembali. Menurutnya, perencanaan anggaran harus disusun dengan baik agar realisasinya berlangsung optimal. Pihaknya juga akan membantu pemda dalam upaya percepatan realisasi APBD.

“Saya berharap juga untuk monitoring dari pimpinan daerah dan pimpinan OPD (organisasi perangkat daerah) secara terus-menerus sehingga dapat terlaksana pada tahun 2026 yang lebih baik,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Agus Fatoni memaparkan berbagai strategi yang dapat dilakukan pemda dalam mempercepat realisasi APBD.

Salah satunya melakukan pengadaan dini yang dimulai pada akhir Agustus tahun sebelumnya setelah nota kesepakatan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) ditandatangani kepala daerah dan pimpinan DPRD.

Selain itu, pemda juga perlu melakukan beberapa langkah, di antaranya memanfaatkan e-Katalog, e-Katalog Lokal, toko daring, serta penggunaan Kartu Kredit Pemerintah Daerah (KKPD)

Kemudian penetapan pejabat pengelola keuangan dan pejabat pengadaan barang/jasa tanpa terikat tahun anggaran, percepatan penerapan petunjuk teknis Dana Alokasi Khusus (DAK) dari kementerian/lembaga, serta pembayaran tagihan pihak ketiga berdasarkan termin sesuai dengan kemajuan kegiatan.

Baca juga : Amankah Produk Domestik dari Paparan Radiasi Nuklir?

Tak hanya itu, kata Fatoni, pemda juga dapat meningkatkan kapasitas aparatur pengelola keuangan daerah dan pengelola barang/jasa, menggelar rapat monitoring dan evaluasi rutin, serta memberikan reward and punishment bagi OPD berdasarkan kinerja realisasi APBD.

“Kita perlu mendorong realisasi APBD itu sejak awal tahun. Ini yang harus kita lakukan nanti pada tahun depan dan kita lakukan saat ini percepatan realisasi APBD yang sudah di pengujung tahun ini, baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi belanjanya,” jelasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Koalisi Masyarakat Sipil Protes Pencatutan Nama dalam Pembahasan RUU KUHAP

Komisi III DPR RI menggelar rapat audiensi dengan Aliansi Mahasiswa Nusantara di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (15/10/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi
Komisi III DPR RI menggelar rapat audiensi dengan Aliansi Mahasiswa Nusantara di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (15/10/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi

Jakarta, aktual.com – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai nama mereka disertakan secara sepihak dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHAP di Komisi III DPR. Dalam siaran pers berjudul “Manipulasi Partisipasi Bermakna, Pencatutan Nama Koalisi dan Kebohongan DPR: Presiden Mesti Tarik Draf RUU KUHAP!”, Senin (17/11/2025), mereka menyampaikan keberatannya.

Koalisi menyoroti bahwa rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP hanya berlangsung dua hari, 12–13 November 2025. Mereka menyebut, “Pada rapat tersebut, Pemerintah dan Komisi III DPR RI membahas masukan pasal yang diklaim berasal dari masukan masyarakat sipil,” ungkap Koalisi.

Adapun kelompok yang tergabung dalam koalisi antara lain YLBHI, LBHM, IJRS, LBH APIK, Lokataru Foundation, ILRC, Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, dan AJI. Namun, Koalisi menilai pandangan mereka tidak dipresentasikan secara benar dalam forum DPR.

Mereka menyatakan, “Sebagian masukan yang dibacakan dalam rapat Panja tersebut ternyata tidak akurat dan bahkan memiliki perbedaan substansi yang signifikan dengan masukan-masukan yang kami berikan melalui berbagai kanal, antara lain melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU) atau melalui penyerahan draf RUU KUHAP tandingan atau dokumen masukan lainnya kepada DPR dan Pemerintah,” kata Koalisi.

Koalisi merasa ada upaya dari DPR untuk menciptakan kesan bahwa aspirasi mereka telah diakomodasi dalam draf RUU KUHAP. Mereka menilai, “Kami menilai Rapat Panja tersebut seperti orkestrasi kebohongan untuk memberikan kesan bahwa DPR dan Pemerintah telah mengakomodir masukan. Padahal ini adalah bentuk meaningful manipulation dengan memasukan pasal-pasal bermasalah atas nama koalisi atau organisasi masyarakat sipil,” ujar mereka. Koalisi juga mengkritik waktu pembahasan yang dianggap terlalu singkat sehingga aspek substansial terlewatkan.

Dalam penjelasannya, Koalisi memaparkan beberapa contoh usulan yang diklaim sebagai masukan mereka oleh DPR. Salah satunya terkait Pasal 222 draf RKUHAP mengenai perluasan alat bukti lewat pengamatan hakim, serta penjelasan Pasal 33 ayat (2) mengenai definisi intimidasi yang dibatasi pada penggunaan atau penunjukan senjata atau benda tajam saat pemeriksaan. Koalisi menegaskan, “Tidak ada yang pernah mengajukan masukan tersebut atas nama koalisi, termasuk dalam draf tandingan versi Koalisi Masyarakat Sipil maupun dokumen masukan lainnya,” tegas Koalisi.

Mereka juga membantah klaim bahwa YLBHI mengusulkan pasal baru terkait Perlindungan Sementara. “YLBHI tidak pernah memberikan masukan redaksional atau usulan pasal baru mengenai Perlindungan Sementara dengan mekanisme yang ada dalam Draf RKUHAP terbaru,” jelas Koalisi.

Selain itu, disebut pula bahwa LBH APIK Jakarta dan Organisasi Penyandang Disabilitas Nasional diklaim DPR mengusulkan Pasal 208 yang mengatur bahwa keterangan saksi penyandang disabilitas tidak dapat disumpah. Koalisi menegaskan bahwa klaim tersebut tidak benar.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Polri Gerak Cepat: Bentuk Pokja Bahas Implementasi Putusan MK soal Jabatan Sipil

Kadiv Humas Polri Irjen Pol. Sandi Nugroho berbicara di Apel Kesiapsiagaan Divhumas Polri dalam rangka persiapan Operasi Lilin 2024 di Jakarta, Rabu (18/12/2024)
Kadiv Humas Polri Irjen Pol. Sandi Nugroho berbicara di Apel Kesiapsiagaan Divhumas Polri dalam rangka persiapan Operasi Lilin 2024 di Jakarta, Rabu (18/12/2024)

Jakarta, Aktual.com – Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) membentuk tim kelompok kerja (pokja) untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 terkait polisi aktif tidak boleh mengisi jabatan sipil.

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Sandi Nugroho mengatakan pembentukan tim pokja tersebut merupakan arahan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo usai rapat bersama pejabat utama Polri pada Senin (17/11) pagi.

“Bapak Kapolri telah mengumpulkan para pejabat utama yang terkait di bidang itu untuk membahas hal tersebut dan mendapatkan arahan dari Bapak Kapolri, berdasarkan hasil putusan rapat tersebut bahwa Polri akan membentuk tim pokja yang bisa membuat kajian cepat terkait dengan putusan MK tersebut,” katanya.

Dia menjelaskan tim pokja tersebut dibentuk agar tidak terjadi multitafsir atas putusan Mahkamah. Hal itu mengingat putusan MK tersebut juga berkaitan dengan kementerian/lembaga lainnya.

Kapolri memerintahkan jajaran untuk berkoordinasi, berkolaborasi, dan berkonsultasi dengan semua pemangku kepentingan. Pokja, kata Sandi, akan bekerja secara maraton untuk mendapatkan formulasi yang paling tepat dan tidak menimbulkan polemik.

Dari laporan pokja nantinya, Kapolri akan membuat keputusan mengenai langkah yang akan dilakukan, termasuk perihal apakah Polri akan menarik personel aktif yang saat ini menjabat di luar kepolisian.

“Nanti Bapak Kapolri akan mendapatkan laporan khusus dari tim pokja tersebut tentang apa yang akan dikerjakan oleh Polri, itu terkait dengan yang sudah berada di luar struktur maupun yang akan berdinas di kementerian/lembaga, baik karena permintaan dari kementerian/lembaga tersebut maupun karena pembinaan karier,” katanya.

Terlepas dari itu, Sandi mengatakan penugasan anggota Polri di luar kepolisian selama ini telah berdasarkan mekanisme perundang-undangan.

Sandi menambahkan tim pokja diharapkan dapat bekerja secepat-cepatnya.

“Kita berpacu dengan waktu untuk secepat-cepatnya sehingga semua hal bisa terselesaikan dan khususnya bahwa konsentrasi kita adalah sama-sama membangun bangsa ini untuk lebih maju ke depan dengan berkolaborasi dan bersinergi dengan semua komponen bangsa, termasuk dengan kementerian/lembaga,” katanya.

Sebelumnya, MK menegaskan anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian alias jabatan sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

MK melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang diucapkan pada Kamis (14/11), menghapus ketentuan yang selama ini menjadi celah bagi polisi aktif menduduki jabatan sipil tanpa melepas status keanggotaannya terlebih dahulu.

“Menyatakan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.

MK dalam hal ini mengabulkan permohonan advokat Syamsul Jahidin dan mahasiswa Christian Adrianus Sihite untuk seluruhnya. Adapun para pemohon menguji konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan secara substansial, Pasal 28 ayat (3) UU Polri sejatinya menegaskan satu hal penting, yaitu anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

Artinya, kata Ridwan, jika dipahami dan dimaknai secara saksama, “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki jabatan di luar kepolisian.

Namun, Mahkamah menelaah, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri ternyata sama sekali tidak memperjelas norma batang tubuh sehingga menyebabkan ketidakjelasan norma.

“Perumusan yang demikian berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian,” ucap Ridwan.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Berita Lain