27 Desember 2025
Beranda blog Halaman 184

Pakar HTN: Penugasan Anggota Polri di Luar Institusi Tetap Sah dan Berlandaskan Konstitusi

Pengamat Hukum tata Negara Margarito Kamis

Jakarta, aktual.com – Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, menegaskan bahwa penempatan anggota Polri di luar institusinya merupakan tindakan yang memiliki legitimasi hukum dan tetap konstitusional. Ia menekankan bahwa dasar hukum yang mengatur hal tersebut masih berlaku dan tidak mengalami perubahan.

Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, terutama Pasal 28, sebagai pijakan normatif yang secara jelas memberikan ruang bagi anggota Polri untuk menjalankan tugas di instansi non-Polri.

“Penugasan anggota Polri di luar institusi Polri sah secara hukum. Mengapa sah? Karena undang-undang yang menjadi dasar tindakan itu sampai dengan saat ini sah berlaku,” ujar Margarito kepada wartawan, Jumat (14/11/2025).

Ia menambahkan bahwa ketentuan tersebut memberikan legitimasi bagi Kapolri dan pemerintah dalam menetapkan kebijakan penugasan ke lembaga-lembaga lain, termasuk kementerian, lembaga negara, maupun instansi strategis yang membutuhkan kompetensi aparat kepolisian.

“Pasal 28 Undang-Undang Polri sampai dengan sekarang eksisting secara konstitusional. Karena hukumnya ada dan sah, maka tindakan penempatan anggota Polri di luar Polri juga sah,” tegasnya.

Margarito menjelaskan bahwa setiap penugasan harus mengikuti prosedur administratif, seperti adanya permintaan resmi dari instansi pemohon serta persetujuan dari kementerian terkait, misalnya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).

“Jika institusi lain mengajukan permintaan kepada Kapolri dan mendapatkan persetujuan dari kementerian yang berwenang, maka Kapolri berhak menerbitkan surat keputusan penugasan tersebut. Selama prosesnya sesuai aturan, penempatan itu sah,” ungkapnya.

Ia juga menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru-baru ini dikeluarkan tidak membawa perubahan signifikan terhadap dasar hukum terkait penempatan anggota kepolisian di luar institusinya.

“Putusan Mahkamah itu tidak cukup fundamental mengubah tatanan hukum penempatan anggota kepolisian di luar Polri, karena undang-undang yang menjadi dasarnya tidak berubah,” pungkasnya.

Dengan demikian, Margarito menegaskan bahwa selama Pasal 28 UU Nomor 2 Tahun 2002 masih berlaku, seluruh bentuk penugasan anggota Polri di instansi lain tetap sah serta memiliki dasar konstitusional yang kuat.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Pakar ICJR: Putusan MK Wajibkan Polisi Mundur dari Jabatan Sipil Sudah Semestinya

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari saat diskusi aktualforum dengan tema “Membedah Pasal Keusial Di RKUHAP” di Warung Aceh Garuda, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (2/8/2025). Aktual/TINO OKTAVIANO

Jakarta, aktual.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa anggota kepolisian aktif dilarang menduduki jabatan sipil. Putusan ini mengharuskan polisi yang ingin menjabat di luar institusi kepolisian untuk mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu.

Putusan tersebut dibacakan Ketua MK Suhartoyo dalam sidang perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 pada Kamis (13/11/2025). MK mengabulkan seluruh permohonan uji materi yang diajukan oleh dua pemohon, Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite.

Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyatakan bahwa aturan dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri sudah jelas dan tidak perlu ditafsirkan ulang. “Anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun,” ujarnya dalam sidang.

Iftitahsari, Manajer Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menilai putusan MK ini sudah sepatutnya diterapkan. “Memang harusnya sudah demikian untuk menghindari konflik kepentingan,” katanya saat dihubungi.

Menurut Iftitahsari, langkah lanjutan perlu diambil terhadap pejabat polisi yang kini masih menduduki jabatan sipil. “Harus direspons dari sisi kebijakan agar yang eksisting sekarang menyesuaikan dengan putusan MK,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa perdebatan mungkin muncul terkait waktu berlakunya putusan ini, apakah berlaku langsung atau hanya ke depan. Meski begitu, ia menilai prinsip netralitas dan pemisahan peran aparat menjadi dasar penting dari keputusan tersebut.

Putusan MK ini sekaligus menyoroti sejumlah pejabat polisi aktif yang tengah menjabat di lembaga sipil seperti KPK, KKP, dan BSSN. Putusan tersebut dianggap sebagai langkah mempertegas batas institusional antara aparat penegak hukum dan jabatan publik sipil.

(Muhammad Hamidan)

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Asal Usul Ilmu Tarikh di Kalangan Umat Islam

Ilustrasi Perang Dipenegoro. IST

Jakarta, aktual.com – Tarikh atau Sejarah merupakan salah satu ilmu yang penting dan diminati oleh umat islam. Hal itu terbukti dari banyaknya para sejarawan islam dan karya-karya sejarah yang mereka tulis.

Kata “tarikh” berasal dari bahasa Arab yang berarti “ketentuan waktu” atau “tanggal”. Sedangkan secara istilah tarikh adalah ilmu yang mempelajari dan menggali pristiwa-peristiwa masa lalu dalam kehidupan manusia agar terekam dan tidak terlupakan. Ilmu tarikh ini memiliki makna yang sama dengan ilmu sejarah secara umum. Ilmu tarikh mencakup aspek-aspek seperti sejarah politik, social, ekonomi, budaya, dan agama, serta berkaitan dengan system penanggalan untyk menentukan urutan peristiwa.

Kalender Hijriah menjadi dasar sejarah islam dalam mencatat peristiwa-peristiwanya dan menentukan waktunya. Tanda-tanda ketertarikan bangsa arab terhadap ilmu sejarah sudah tampak sejak zaman jahiliyyah, dan hal ini tampak jelas dalam dua hal yaitu:

  1. Melestarikan silsilah

Bangsa Arab memiliki kegemaran khusus untuk menelusuri silsilah da nasal usul mereka, karena kesukuan yang telah mengakardalam diri mereka. Bangsa Arab berupaya keras untuk melestarikan silsilah suku dan mengajarkannya kepada anak-anak mereka dari generasi ke generasi agar silsilah mereka tidak tercampur dengan suku lain.

  1. Ayyamul al-‘Arab (perang-perang besar yang terjadi di antara suku-suku Arab)

Ini merujuk pada sejarah suku-suku dan peperangan yang mereka perjuangkan. Ini berfungsi sebagai catatan kejayaan dan tindakan heroic suku, dan tujuannya adalah untuk memperkuat rasa identitas di antara anggota suku.

Dengan datangnya Islam, minat terhadap sejarah mengalami perkembangan baru. Suku bukan lagi prioritas utama dalam proses sejarah, melainkan agama. Dalam kerangka agama, ilmu sejarah berkembang. Keterlibatan umat islam pertama kali berawal dari kebutuhan mereka untuk mengetahui biografi Nabi Muhammad SAW. para ulama  mendedikasikan diri untuk mengumpulkan dan mencatat kisah-kisah kehidupan Nabi SAW. penulis-penulis paling awal tentang subjek ini adalah Urwah bin Zubair bin Awwam dan Abban bin Ustman bin Affan.

Dengan demikian, sejarah islam pada awalnya bertumpu pada biografi Nabi Muhammad SAW, kisah-kisah pertempuran beliau dan para sahabat yang terlibat di dalamnya, serta catatan hijrah kaum muslim pertama ke Habasyah dan kemudian ke Madinah. Mekah dan Madinah merupakan pusat utama pergerakan sejarah ini, dan para sejarawan mengandalkan tradisi lisan, begitu pula dengan para ulama hadis. Oleh karena itu, kitab-kitab tentang pertempuran dan biografi Nabi dianggap sebagai kitab-kitab tertua dalam sejarah Islam.

(Nabilah Azzahra)

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Pesantren, Pilar Umat Menuju Indonesia Emas 2045, HNW Serukan Optimalisasi Peranannya

Hidayat Nur Wahid (HNW) memaparkan pentingnya optimalisasi peran pesantren dalam pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat pada Forum Diskusi Aktual Berbangsa dan Bernegara di Jakarta.. Aktual/DOK MPR RI

Jakarta, aktual.com – Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) An-Nuaimy menggelar Forum Diskusi Aktual Berbangsa dan Bernegara bertajuk “Mengokohkan Peran Dakwah Pesantren melalui Penguatan Organisasi dan Program, Menjemput Indonesia Emas 2045”, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (12/11/2025).

Dalam paparannya, Hidayat Nur Wahid (HNW) menegaskan bahwa pesantren memiliki tiga fungsi utama, yakni pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.

“Kalau hanya fungsi pendidikan, cukup dikelola oleh Direktorat Pendidikan Islam. Namun karena pesantren juga memiliki fungsi dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sebagaimana ketentuan dalam UU Pesantren, maka perlu ada peningkatan status, kewenangan dan anggaran dari sebelumnya (Direktur) yakni Direktorat Jenderal Pesantren,” ujarnya.

HNW menjelaskan, pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren di Kementerian Agama telah disetujui Presiden menjelang peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025. Ia berharap lembaga baru tersebut tidak tumpang tindih dengan Direktorat Pendidikan Islam, serta benar-benar dapat memperkuat peran pesantren, bukan justru mengontrol secara berlebihan yang malah merepotkan dunkia Pesantren.

Selain itu, Dirjen Pesantren diharapkan memperjuangkan hak-hak pesantren sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pesantren, termasuk pengelolaan dana abadi pesantren, serta memastikan perlakuan adil terhadap seluruh jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren yaitu Pesantren tradisional (salafiyah), modern (mu‘adalah), dan terpadu.

“Kita pernah menolak rencana revisi Undang-Undang Pesantren karena hanya mengakui satu jenis pesantren. Padahal realitas di lapangan Pesantren sangat beragam, dan semuanya berkontribusi penting bagi bangsa,” tegasnya.

Ia juga menilai tema diskusi kali ini sejalan dengan semangat Undang-Undang Pesantren yang menempatkan fungsi dakwah sebagai bagian integral dari sistem pendidikan pesantren.
Dalam konteks dakwah, pesantren juga memiliki peran pembinaan masyarakat dan penguatan karakter.

Hal itu kata dia, sejalan dengan kebijakan Kementerian Agama tentang Kurikulum Pesantren Ramah Anak, yang menekankan pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan bebas kekerasan. Namun, HNW menegaskan bahwa “ramah” bukan berarti tanpa kedisiplinan.

“Pesantren justru unggul karena disiplin dan pembinaan akhlak melalui keteladanan para kiai dan ustaz,” ujarnya.

Ia menyoroti berbagai kasus kekerasan di lembaga pendidikan sebagai pelajaran penting agar pesantren terus memperkuat fungsi pendampingan psikologis dan pembinaan moral. HNW juga mengingatkan bahwa pesantren memiliki peran historis dalam perjuangan bangsa.

“Sejak masa perumusan BPUPK, tokoh-tokoh dari NU, Muhammadiyah, dan PUI, bahkan yang dari Partai2 Islam seperti Syarekat Islam, Penyadar, Partai Islam Indonesia, Masyumi, semua para Kiyai dan Santri yang berakar dari pesantren, dan mereka masing2 telah berkontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahanakn kemerdaan Indonesia,” ujarnya.

Peran pesantren juga tampak dalam berbagai momentum penting, seperti Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, Amanat Jihad 1946, hingga Perjuangan PDRI dan pengembalian Indonesja menjadi NKRI yang dipimpin Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan M Natsir, tokoh dari Partai Islam Masyumi.

“Karena itu, santri masa kini harus ikut mempersiapkan masa depan bangsa menuju Indonesia Emas 2045 dengan tetap berpegang pada nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan,” tegasnya.

Ia menegaskan bahwa jika ingin melihat nasib sebuah bangsa 20 tahun mendatang, lihatlah apa yang dikerjakan bangsanya 20 tahun sebelumnya.

“Karenanya apa yang kita lakukan hari ini, termasuk memperkuat peran pesantren, akan menentukan seperti apa wajah Indonesia tahun 2045,” pungkasnya.

Denny JA Foundation Umumkan 4 Pemenang Penghargaan Sastra 2025

Sutardji Calzoum Bachri, Sindhunata, Kaisar Deem, dan Fatin Hamama. Aktual/HO

Jakarta, aktual.com – Denny JA Foundation secara resmi mengumumkan empat penerima Penghargaan Sastra 2025. Penghargaan ini diberikan melalui tiga lembaga: Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Lembaga Kreator Era AI, dan Komunitas Puisi Esai, dengan total hadiah lebih dari Rp155 juta.

Di tengah era digital dan percepatan teknologi, penghargaan ini menjadi penegasan bahwa karya yang memiliki kedalaman estetik, kekuatan moral, dan empati kemanusiaan tetap menjadi fondasi kehidupan intelektual bangsa.

Dewan Juri 2025

Seluruh penghargaan—kecuali Puisi Esai Award—dinilai oleh dewan juri gabungan: Okky Madasari, Anwar Putra Bayu, Dhenok Kristiadi, Hamri Manoppo, Muhammad Thobroni, Wayan Suyadnya, dan Victor Manengkey.

Dewan juri ini mewakili lintas disiplin, lintas wilayah, dan lintas tradisi literasi, dari Sumatra hingga Papua, memastikan standar penilaian yang berimbang dan kredibel.

Penerima Penghargaan

1. Satupena Lifetime Achievement Award – Sutardji Calzoum Bachri, Hadiah: Piagam + Rp50.000.000

Sutardji Calzoum Bachri dianugerahi Satupena Lifetime Achievement Award 2025 atas kontribusinya yang luar biasa dalam merevolusi bahasa Indonesia.

Dikenal sebagai “Presiden Penyair Indonesia,” ia memandang kata sebagai makhluk hidup dan mengembalikan puisi kepada akar magisnya: mantra.

Melalui karya monumental seperti O Amuk Kapak dan Tragedi Winka & Sihka, ia memerdekakan bahasa dari penjara makna dan membuka era baru spiritualitas linguistik.

Selama lebih dari lima dekade, Sutardji menjadi rujukan estetik dan moral bagi penyair generasi berikutnya, menjadikan bahasa Indonesia lebih bernyawa, lebih bebas, dan lebih bercahaya.

2. Dermakata Award 2025 – Non-Fiksi: Sindhunata, Hadiah: Piagam + Rp35.000.000

Romo Sindhunata menerima Dermakata Award 2025 kategori Non-Fiksi berkat kemampuannya mengubah tawa rakyat menjadi filsafat hidup.

Melalui Ilmu Ngglethek dan Opo Jare Tekek, ia menempatkan ludruk dan jula-juli sebagai cermin kebijaksanaan wong cilik.

Dengan latar pendidikan doktoral di München serta pengalaman panjang sebagai penulis dan pastor, Sindhunata memadukan riset akademik, humanisme, dan empati pastoral.

Ia menjadikan non-fiksi sebagai ziarah batin yang merawat akar budaya, mengangkat suara mereka yang sering luput dari perhatian, dan menegaskan bahwa pengetahuan yang paling jernih sering lahir dari tawa dan air mata rakyat jelata.

3. Dermakata Award 2025 – Fiksi: Kaisar Deem, Hadiah: Piagam + Rp35.000.000

Kaisar Deem memenangkan Dermakata Award kategori Fiksi melalui kumpulan cerpen Jose Kecil dalam Dirimu.

Karyanya menyuarakan memori kelam sejarah melalui sosok Jose, bocah penyintas Timor Leste, yang berbicara dengan bahasa yang jujur dan mengguncang.

Lahir dari keluarga sederhana di Makassar, Kaisar memilih jalur realisme sosial: menulis tentang luka yang tak terlihat, penderitaan yang sering dihindari, dan ketidakadilan yang tak diberi ruang bicara.

Ia menghadirkan fiksi sebagai perlawanan senyap terhadap lupa kolektif bangsa. Kepekaan moral, kesederhanaan bahasa, dan keberaniannya mengungkap sisi gelap kemanusiaan membuat karyanya mendapat pengakuan kuat dari para juri.

4. Puisi Esai Award 2025 – Fatin Hamama, Hadiah: Piagam + Rp35.000.000

Fatin Hamama dianugerahi Puisi Esai Award 2025 atas kemampuannya memadukan riset sosial, spiritualitas, dan suara kemiskinan urban menjadi karya puitik yang lembut namun menggetarkan.

Dalam “Puisi dan Bunga Kangkung” serta “Mazmur Duka Mazmur Cinta,” ia menulis dari lorong-lorong kehidupan: tepian kali, tubuh lapar, cinta yang patah, dan ruang kota yang kehilangan arah.

Lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, ia membawa puisi esai ke forum internasional sebagai bahasa empati dan penyembuhan.

Karyanya memperlihatkan bahwa puisi bukan hanya keindahan kata, tetapi juga upaya merawat martabat manusia di tengah dunia yang makin keras.

Kutipan Resmi dari Denny JA, Pendiri Denny JA Foundation

“Empat penerima penghargaan tahun ini menunjukkan bahwa di tengah teknologi yang semakin canggih, masyarakat tetap membutuhkan kedalaman kata-kata.

Mereka bukan hanya penulis, tetapi penjaga nurani bangsa. Karya-karya mereka mengingatkan kita bahwa kata-kata yang jujur dapat menjadi cahaya yang menuntun masyarakat menuju kemanusiaan yang lebih luhur.”

Denny JA Foundation berkomitmen membangun ekosistem literasi Indonesia melalui dana abadi penghargaan penulis, program penerjemahan, dan dukungan bagi kreator di era AI.

Di tengah dunia yang dipenuhi algoritma dan artificial intelligence, keempat karya pemenang justru menegaskan keunggulan manusia: hati yang berempati, pikiran yang merenung, dan kata-kata yang menyentuh jiwa.

Ini sebagai penanda peradaban yang tetap manusiawi.

Melalui penghargaan sastra 2025, Yayasan menegaskan tekad bahwa karya yang penuh empati, jujur, dan bernilai estetik tetap menjadi pilar dalam membangun peradaban Indonesia.

Menkes Beri Sinyal Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (13/11/2025). Foto: Nur Aida Nasution/Aktual.com

Jakarta, Aktual.com – Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin memberi sinyal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pasalnya, tanpa kenaikan iuran, keberlanjutan program jaminan kesehatan nasional (JKN) ini akan terancam, karena defisit anggaran.

Ia menjelaskan, pendapatan BPJS Kesehatan hanya tercatat positif pada beberapa tahun tertentu, seperti pada tahun 2016, 2020, 2021, dan 2022.

“BPJS itu nggak pernah sustainable, dia positif kalau ada kenaikan iuran,” ujarnya saat ditemui di Komplek Parlemen, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

Pada 2023 lalu, BPJS Kesehatan mencatatkan pendapatan iuran sebesar Rp151,7 triliun, namun beban program JKN mencapai Rp158,9 triliun.

“Penting untuk mengkaji kenaikan iuran untuk menjaga keberlanjutan sistem JKN yang memberikan layanan kepada masyarakat,” paparnya.

Meski begitu, ucap Budi, Pemerintah belum membahas rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam waktu dekat. “Tetapi kami sadar BPJS bisa nggak sustain tanpa ada kenaikan iuran,” katanya.

Sebagai langkah untuk memastikan keberlanjutan, Kementerian Keuangan telah mengucurkan dana sebesar Rp10 triliun kepada BPJS Kesehatan. Sisa dana Rp10 triliun diharapkan dapat disalurkan pada Januari 2026 untuk mendukung kelangsungan program JKN.

Pihaknya terus berupaya untuk memperbaiki mekanisme iuran dan koordinasi dengan asuransi swasta. “Kami sudah menandatangani kesepakatan dengan OJK untuk skema Combine of Benefit (COB),” ujarnya.

Budi juga menyoroti ketidaksesuaian data penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan. “Ada 540 ribu orang di desil 10 yang dibiayai pemerintah, padahal mereka orang kaya,” ungkap Budi.

Menurutnya, hal ini pertanda perlunya perbaikan sistem PBI untuk memastikan bantuan tepat sasaran. Sebagai solusi jangka panjang, Budi mengusulkan penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dan lebih fokus pada masyarakat kelas bawah.

Laporan: Nur Aida Nasution

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi

Berita Lain