26 Desember 2025
Beranda blog Halaman 190

Cermin Itu Bernama Soeharto

Oleh: Radhar Tribaskoro

Jakarta, aktual.com – Ada saat-saat ketika sebuah bangsa seperti sedang menguji dirinya sendiri. Bukan melalui perang, bukan melalui pemilihan umum, bukan pula melalui kemajuan ekonomi. Tetapi melalui sesuatu yang tampak sederhana: sebuah gelar, sebuah nama yang hendak diangkat lebih tinggi dari nama-nama lain. Ketika Soeharto diusulkan kembali untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional, sebenarnya negeri ini sedang menanyakan dirinya: apa yang ingin kita ajarkan kepada anak-anak kita tentang kebenaran, kekuasaan, dan memori?

Penganugerahan pahlawan adalah hal yang umum di dunia. Amerika menaruh Martin Luther King Jr. sebagai simbol keberanian moral untuk menghadapi ketidakadilan negara. Prancis mengistirahatkan Émile Zola di Panthéon sebagai lambang suara yang berani membela mereka yang dituduh tanpa bukti. Di tempat-tempat itu, pahlawan bukan hanya orang yang berjasa, tetapi orang yang nilai hidupnya ingin diwariskan sebagai pelajaran. Pahlawan adalah kurikulum sunyi bagi masa depan.

Namun tidak semua tokoh besar dijadikan pahlawan. Winston Churchill, meski memimpin Inggris keluar dari gelapnya Perang Dunia, tidak dipuja sebagai pahlawan moral karena kebijakan yang menyebabkan kelaparan di India. Napoleon adalah tokoh besar yang mengubah wajah hukum dan administrasi modern, tapi Prancis tetap menempatkan dirinya dalam jarak moral: Napoleon dihormati sebagai tokoh sejarah, bukan sebagai teladan kebajikan.

Negara-negara itu tampaknya mengerti bahwa jasa tidak sama dengan teladan. Bahwa membangun negara tidak otomatis berarti membangun nurani bangsa. Bahwa kekuasaan bisa memajukan ekonomi sambil merusak manusia dari dalam.

Dan di sini, Soeharto berdiri seperti sebuah teka-teki yang tidak ingin diselesaikan, tetapi terus dibawa-bawa, seperti beban yang kita enggan letakkan di tanah.

Kita tahu, sejarah Soeharto tidak terbaca dengan satu warna. Ia memimpin penghancuran Gerakan 30 September, mengakhiri kekacauan politik yang menjerat republik muda. Ia memimpin stabilisasi ekonomi, membangun infrastruktur, menekan inflasi, memelihara kestabilan jangka panjang. Generasi yang tumbuh pada era Orde Baru mengenang masa itu sebagai masa ketika harga kebutuhan pokok terasa terukur, dan negara seperti memiliki arah yang jelas.

Namun sejarah yang sama menampung sesuatu yang lain. Ada pembantaian besar setelah 1965 yang sampai hari ini tidak pernah mendapat kejujuran negara. Ada orang-orang yang dihilangkan, dipenjara, disiksa tanpa proses hukum. Ada surat kabar yang kehilangan suara, partai politik yang didiamkan, kampus-kampus yang dijaga dengan ketakutan. Ada korupsi yang terstruktur rapi, seperti benang besar yang melilit seluruh jaringan ekonomi Indonesia, membuat negeri ini makmur bagi segelintir, tapi rapuh bagi banyak.

Maka pertanyaannya bukan lagi: apakah Soeharto berjasa? Itu jelas. Tetapi: apakah jasa itu dapat dijadikan dasar keteladanan? Apakah negara sedang menetapkan prestasi atau menetapkan nilai?

Di sinilah filsafat mikul duwur mendem jero muncul. Sebuah ajaran Jawa: mengangkat tinggi jasa orang tua, mengubur dalam-dalam kesalahannya. Ajaran yang indah dalam keluarga. Ia menjaga cinta, kelembutan, kesetiaan pada darah dan kenangan. Tapi negara bukan keluarga. Negara bukan rumah di mana kita menutup aib demi menjaga perasaan.

Ketika falsafah keluarga dipindahkan ke ranah negara, maka kebenaran berubah menjadi kesunyian yang dipaksakan. Luka berubah menjadi sejarah yang dihapus. Dan generasi yang akan datang mewarisi bukan kebijaksanaan, melainkan kebingungan.

Sebab negara yang sehat tidak menutup mata pada kesalahan para pemimpinnya. Ia justru menengok luka itu agar generasi berikutnya tidak mengulanginya. Seperti kata Milan Kundera, “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” Tanpa ingatan yang jujur, bangsa hanya akan berjalan dalam lingkaran.

Rusia memberi pelajaran yang menarik. Lenin tidak disebut pahlawan; ia dikenang sebagai pendiri negara. Stalin tidak diangkat sebagai pahlawan; ia dikenang sebagai pemimpin perang. Jasa mereka diakui, tetapi kejahatan mereka tidak dihapus. Museum Gulag berdiri di tengah kota. Arsip kekejaman tidak disembunyikan. Negara memelihara dua wajah sejarah itu secara bersamaan: jasa dibiarkan menjadi jasa, luka dibiarkan menjadi luka.

Hal yang sama terjadi di Jerman. Mereka tidak menghapus Hitler dari buku sejarah; mereka menelanjangi seluruh dosa ideologi itu. Mereka tidak membangun patung penghormatan, melainkan museum kesaksian. Di Berlin, para siswa diantar ke bekas kamp konsentrasi, bukan supaya mereka dicekoki rasa bersalah, tetapi supaya mereka tahu bahwa kebudayaan dapat menjadi gelap ketika kekuasaan tidak diawasi.

Kita belum melakukan itu. Kita melewati 1965 dengan bisu nasional. Kita membiarkan suara para penyintas hanya terdengar di simpang-simpang jalan diskusi terbatas. Kita membiarkan sejarah diajarkan dengan satu narasi. Dan kini, kita ingin mengangkat nama yang menjadi pusat dari semua itu sebagai pahlawan.

Bukan karena kita sudah berdamai, tetapi karena kita tidak pernah benar-benar membicarakan apa yang terjadi.

Jika penganugerahan ini terjadi, maka ia bukan perayaan sejarah. Ia adalah penutupan sejarah. Ia adalah penguburan kesaksian. Ia adalah pernyataan bahwa luka bukan masalah, bahwa kekuasaan boleh menumpahkan darah, selama hasil akhirnya terlihat megah.

Seperti kata Václav Havel, “Rezim paling berbahaya bukan yang menindas kebenaran, tetapi yang menghapus kebutuhan akan kebenaran.”

Dan di situlah kekhawatiran terbesar berada: jika Soeharto dijadikan pahlawan tanpa proses kebenaran yang jernih, generasi baru akan memahami bahwa kekuasaan berhak atas pengampunan. Mereka akan belajar bahwa keberhasilan politik boleh menghapus kesalahan moral. Mereka akan menyerap gagasan bahwa kesunyian terhadap luka adalah bagian dari patriotisme.

Padahal tugas sejarah bukan menenangkan. Tugas sejarah adalah membuat kita melihat diri sendiri apa adanya, tanpa tirai.

Pahlawan, pada akhirnya, bukan orang yang paling berjasa. Pahlawan adalah orang yang ketika namanya disebut, kita menyadari sesuatu tentang manusia, tentang bangsa, tentang arah hidup yang lebih jernih. Pahlawan adalah yang meninggalkan warisan moral, bukan hanya warisan bangunan dan jalan raya.

Soeharto adalah tokoh besar. Ia akan tetap hadir dalam lembar-lembar sejarah Indonesia, mau kita kehendaki atau tidak. Tetapi kebesaran tidak harus berarti kepahlawanan. Kita boleh mengingat jasanya, tetapi kita tidak boleh menutup luka yang terjadi di bawah kepemimpinannya.

Sejarah yang sehat bukan sejarah yang bersih, melainkan sejarah yang jujur. Dan bangsa yang matang adalah bangsa yang berani mengatakan: ada yang telah kita bangun, ada juga yang telah kita rusak. Kedua-duanya harus diingat.

Sebab masa depan tidak dibangun dari kebanggaan semata.

Masa depan dibangun dari keberanian untuk menatap cermin, bahkan ketika yang tampak di sana bukan wajah yang membuat kita bangga.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Gelar Sinau Kebangsaan, Sekolah Negarawan Deklarasikan Musyawarah Kenegarawanan Saat Momen Hari Pahlawan

Jakarta, aktual.com – Sekolah Negarawan berkolaborasi bersama Komunitas Bangbangwetan dan gamelan Kiai Kanjeng menggelar acara bertajuk “Sinau Kebangsaan” di Surabaya, Senin (10/11/2025). Dalam forum yang dihadiri ratusan jamaah ini, gerakan intelektual “Sekolah Negarawan” secara resmi mendeklarasikan pembentukan Sekretariat Musyawarah Kenegarawanan serta menyerukan rekonstruksi pemahaman tata negara, khususnya pemisahan tegas antara entitas “Negara” dan “Pemerintah”.

Acara ini digagas sebagai upaya ijtihad untuk menggali dan memformulasikan kembali pemikiran-pemikiran budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) mengenai kedaulatan rakyat. Forum ini menyoroti kondisi bangsa yang dinilai sedang mengalami krisis peran antar-lembaga.

Dalam sesi diskusi, Sekolah Negarawan menggunakan analogi “Rumah Tangga” untuk membedah kondisi pemerintah terkini. Negara diibaratkan sebagai sebuah keluarga di mana MPR adalah “Suami”, Rakyat adalah “Istri” sekaligus pemilik sah rumah, sementara Presiden dan Pemerintah diposisikan sebagai “Asisten Rumah Tangga” (ART).

“Kondisi saat ini ibarat broken home. MPR (Suami) justru berselingkuh dengan Pemerintah (ART), sementara Rakyat (Istri) sebagai pemilik kedaulatan justru diabaikan. Pemerintah sejatinya adalah buruh yang digaji rakyat untuk melayani, bukan untuk menguasai,” ujar perwakilan Sekolah Negarawan dalam paparan materinya.

Suara dari Indonesia Timur dan Kritik Pengelolaan Sumber Daya

Forum ini juga menghadirkan perspektif dari Indonesia Timur melalui perwakilan Kesultanan Ternate dan Tidore. Sekretaris Kesultanan Ternate, Irwan Abdul Gani, menyampaikan kritik tajam terkait ketimpangan distribusi ekonomi pusat dan daerah.

“Maluku Utara menyumbang sekitar Rp200 triliun ke pusat dari hasil tambang, namun dana bagi hasil yang kembali ke daerah hanya berkisar 3 persen. Akibatnya, rakyat di lumbung kekayaan alam justru tetap berada dalam kemiskinan,” tegas Irwan.

Senada dengan itu, Rektor Universitas Nuku Tidore, Idris Sudin, mengingatkan bahwa Republik Indonesia terbentuk atas konsensus kerajaan-kerajaan Nusantara dengan janji kesejahteraan bersama. Ia menilai janji tersebut belum sepenuhnya terpenuhi bagi masyarakat di wilayah timur.

Redefinisi Kepahlawanan

Bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, konten kreator Guru Gembul yang turut hadir sebagai narasumber, mengajak peserta untuk meredefinisi makna pahlawan. Ia menekankan bahwa perdebatan mengenai gelar pahlawan masa lalu tidak boleh mengalihkan fokus dari urgensi melahirkan pahlawan masa kini.

“Masalah kita adalah gemar berdebat pada hal parsial. Pertanyaan utamanya bukan siapa pahlawan masa lalu, tapi siapa di antara kita yang berani mengambil peran nyata hari ini. Forum seperti ini akan sia-sia jika pesertanya pulang tanpa dampak konkret bagi lingkungan,” ujarnya.

Sementara itu, pakar hukum Dr. Alessandro Ray menyoroti implementasi konstitusi yang dinilai masih lemah, terutama Pasal 34 UUD 1945. Menurutnya, pengelolaan pajak negara belum maksimal dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat, seperti jaminan kesehatan dan pendidikan yang setara.

Deklarasi Gerakan Moral

Acara yang juga dimeriahkan oleh pembacaan puisi “Pahlawan” dan “Ibu” oleh penyair D. Zawawi Imron serta penampilan musikalisasi Kiai Kanjeng ini ditutup dengan pembacaan deklarasi.

Sekolah Negarawan berkomitmen menjadikan gerakan ini bukan sekedar wacana intelektual, melainkan gerakan moral dan kebudayaan. Melalui Sekretariat Musyawarah Kenegarawanan, mereka berencana menggelar pendidikan politik publik secara berkelanjutan untuk mencetak negarawan baru yang berpikir jernih, berjiwa luhur, dan menempatkan kepentingan bangsa di atas ambisi golongan.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Dukung Dunia Pendidikan Islam, DPR Usul Pesantren Bebas Pajak Pembangunan

Wakil Ketua MPR RI sekaligus Anggota Komisi VIII DPR RI, Hidayat Nur Wahid. Aktual/DOK MPR RI

Jakarta, aktual.com — Anggota Komisi VIII DPR Hidayat Nur Wahid mendukung langkah pemerintah untuk tidak mengenakan pajak pembangunan terhadap pondok pesantren. Menurutnya, pesantren secara prinsip merupakan lembaga sosial dan pendidikan, bukan unit bisnis yang berorientasi profit.

“Akan sangat bagus bila Pak Menteri Agama memberikan klarifikasi tentang pajak bagi pesantren ini, yang mestinya tidak diberlakukan,” ujar Hidayat dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VIII DPR bersama Menteri Agama Nasaruddin Umar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/11/2025).

Hidayat menegaskan, pesantren selama ini memiliki peran besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan membantu pemerintah dalam pembangunan sumber daya manusia. Karena itu, ia menilai sangat wajar bila pesantren mendapat perlakuan khusus dalam kebijakan fiskal, termasuk pembebasan pajak pembangunan.

Lebih lanjut, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berharap Direktorat Jenderal Pesantren (Ditjen Pesantren) yang baru dibentuk oleh Kementerian Agama dapat segera bekerja maksimal menangani isu-isu seperti pajak dan pendanaan pesantren.

“Kita berharap agar Ditjen Pesantren segera bisa terbentuk dan menjalankan tugasnya dengan maksimal,” kata Hidayat.

Hidayat juga menyambut baik pembentukan Ditjen Pesantren sebagai “kado positif” dari pemerintah pada momentum Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025. Pembentukan tersebut tertuang dalam surat nomor B-617/M/D-1/HK.03.00/10/2025 tertanggal 21 Oktober 2025.
Ia menyebut langkah itu sebagai bentuk pengakuan negara terhadap peran besar dunia pesantren, seiring dengan penetapan sejumlah ulama sebagai pahlawan nasional, seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Syaikhona Kholil.

Selain pajak, Hidayat juga menyoroti pengelolaan dana abadi pesantren. Ia mengusulkan agar dana tersebut dipisahkan dari dana abadi pendidikan, seperti halnya dana abadi pendidikan tinggi dan dana abadi kebudayaan.

“Dengan begitu, proporsinya akan lebih jelas dan adil. Dana abadi pesantren bisa berjalan berdampingan dengan Ditjen Pesantren agar manfaatnya optimal,” jelasnya.

Sebelumnya, Menko Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar (Cak Imin) juga menegaskan komitmen pemerintah untuk menggratiskan izin persetujuan bangunan gedung (PBG) bagi pondok pesantren di seluruh Indonesia.

“Pak Presiden (Prabowo Subianto) memberikan perhatian agar izin PBG digratiskan untuk pesantren, karena Undang-Undang Pesantren menegaskan bahwa pesantren adalah lembaga nirlaba yang berhak mendapat dukungan pemerintah,” ujar Cak Imin di Jakarta, (14/10/2025).

Langkah-langkah ini diharapkan dapat memperkuat ekosistem pendidikan Islam di Indonesia dan memberikan kepastian hukum serta dukungan nyata bagi ribuan pesantren yang berkontribusi besar dalam pembangunan moral dan karakter bangsa.

KPK Temukan Dugaan Aliran Uang Korupsi Digitalisasi SPBU Pertamina ke Pihak Tertentu

Ilustrasi - Gedung KPK
Ilustrasi - Gedung KPK

Jakarta, aktual.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan aliran uang hasil korupsi proyek digitalisasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) PT Pertamina (Persero) tahun 2018–2023 ke sejumlah pihak tertentu. Temuan itu terungkap usai pemeriksaan terhadap Eko Ramanda Hidayat, OSM Service Operation SDA PT Telkom tahun 2021.

Selain Eko, KPK juga memeriksa Dwi Puja Ariestya, Direktur Sales dan Marketing PT Pertamina Lubricants, serta Aya Natalia, pegawai TRG Investama. Pemeriksaan berlangsung untuk menelusuri lebih dalam dugaan aliran dana dan keterlibatan berbagai pihak dalam proyek digitalisasi tersebut.

“Penyidik mendalami saksi perihal aliran uang yang diduga terkait dengan perkara,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangan resminya, Selasa (11/11/2025).

Namun, Budi enggan mengungkap siapa saja pihak yang diduga menerima aliran dana tersebut.

“Pihak terkait masih didalami,” tegasnya.

Lebih lanjut, KPK juga meminta keterangan para saksi untuk mendukung proses penghitungan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Dengan pemeriksaan paralel oleh penyidik KPK dan auditor BPK, proses penyidikan menjadi lebih efektif,” tambah Budi.

Dalam kasus ini, KPK dan BPK bekerja sama menelusuri dugaan pelanggaran hukum dalam proyek pengadaan digitalisasi SPBU Pertamina. Kolaborasi itu melibatkan pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat perusahaan terkait, termasuk Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Sigma Cipta Caraka (Telkomsigma), Rina Susanti.

Proyek digitalisasi SPBU Pertamina merupakan kerja sama antara Pertamina dan Telkom, di mana Telkom menyediakan infrastruktur dan solusi digital untuk mendukung sistem pemantauan stok dan penjualan BBM, transaksi pembayaran, serta distribusi BBM bersubsidi. Sistem tersebut juga mencakup penerapan kode QR (Quick Response) bagi pelanggan penerima subsidi.

KPK menegaskan penyidikan akan terus berlanjut guna mengungkap pola aliran uang, keterlibatan pihak swasta dan BUMN, serta potensi kerugian negara dalam proyek strategis yang semestinya bertujuan meningkatkan transparansi distribusi BBM bersubsidi itu.

Bank ASA dan Bank AKS Perkuat Komitmen Sosial lewat Program #ASApeduli dan #AKSpeduli di Yogyakarta

Aksi kemanusiaan ini berlangsung di Panti Asuhan Sancta Maria dan Panti Asuhan Brayat Pinudji, Boro, Yogyakarta. Aktual/HO

Yogyakarta, aktual.com – Semangat kolaborasi dan kepedulian sosial kembali diwujudkan oleh Bank ASA (BPR Artha Sarana Abadi) dan Bank AKS (BPR Artha Karya Sejahtera) melalui kegiatan sosial bertajuk #ASApeduli dan #AKSpeduli. Aksi kemanusiaan ini berlangsung di Panti Asuhan Sancta Maria dan Panti Asuhan Brayat Pinudji, Boro, Yogyakarta, pada Minggu (9/11).

Kegiatan ini menjadi rangkaian penutup dari Rapat Kerja Tahunan Bank ASA dan Bank AKS yang digelar pada 7–8 November 2025. Dalam rapat tersebut, dua bank yang kini sedang menjalani proses merger itu membahas strategi penguatan bisnis, efisiensi operasional, dan kesiapan menghadapi tantangan ekonomi 2026—seraya menegaskan bahwa nilai-nilai kemanusiaan tetap menjadi napas budaya perusahaan.

Bagi Bank ASA dan Bank AKS, keberhasilan perusahaan tidak hanya diukur dari kinerja finansial, tetapi juga dari kontribusi nyata terhadap masyarakat. Melalui program #ASApeduli dan #AKSpeduli, keduanya ingin memastikan dampak positif dirasakan langsung oleh komunitas yang membutuhkan, khususnya anak-anak di panti asuhan.

“Berbagi bukan sekadar kegiatan sosial. Ini adalah refleksi dari nilai yang kami junjung—bahwa keberhasilan bisnis harus sejalan dengan tanggung jawab sosial,” ujar Sri Martini Dewi, salah satu pemilik Bank AKS.

Senada dengan itu, Farai Tody, pemilik Bank ASA sekaligus salah satu pemilik Bank AKS, menambahkan bahwa kepedulian sosial merupakan bagian dari strategi keberlanjutan perusahaan. “Nilai kemanusiaan dan kolaborasi sosial adalah fondasi yang menguatkan perusahaan dalam jangka panjang. Kami ingin menebarkan semangat kasih, tidak hanya bagi anak-anak panti, tetapi juga bagi karyawan dan mitra kerja,” jelasnya.

Kegiatan sosial kali ini juga mendapat dukungan dari Garudafood, yang menjadi sponsor dan memberikan produk makanan serta minuman untuk disalurkan kepada kedua panti asuhan. Bantuan diserahkan langsung oleh Sri Martini Dewi dan Farai Tody, memperkuat kolaborasi sosial lintas sektor.

Sebagai informasi tambahan, Sri Martini Dewi merupakan generasi ketiga keluarga Garudafood dan saat ini juga menjadi salah satu pemegang saham di perusahaan tersebut—salah satu produsen makanan dan minuman terbesar di Indonesia.

Selain menyerahkan bantuan produk makanan, Bank ASA dan Bank AKS juga memberikan donasi uang tunai untuk mendukung operasional panti, mulai dari kebutuhan pendidikan hingga pengembangan karakter anak-anak.

Kegiatan berlangsung dalam suasana penuh kehangatan dan keceriaan. Para pegawai Bank ASA dan Bank AKS tidak hanya hadir untuk memberikan bantuan, tetapi juga ikut bermain, bernyanyi, dan berbagi cerita bersama anak-anak. Interaksi tersebut menciptakan kedekatan emosional yang menjadi esensi dari kegiatan sosial ini.

“Senyum dan semangat anak-anak adalah hadiah terbesar bagi kami,” ungkap salah satu pegawai Bank ASA.

Selain memberi dampak sosial, kegiatan ini juga menjadi ruang untuk mempererat hubungan antarkaryawan. Melalui aktivitas di luar rutinitas kantor, para pegawai dapat menumbuhkan empati dan solidaritas yang berdampak positif pada budaya kerja perusahaan.

Sebagai penutup kegiatan, Bank ASA dan Bank AKS menyerahkan piagam penghargaan dan kenang-kenangan kepada pengurus kedua panti asuhan sebagai wujud apresiasi atas dedikasi mereka dalam membimbing dan merawat anak-anak.

Perwakilan panti menyampaikan terima kasih atas dukungan kedua bank.
“Kehadiran Bank ASA dan Bank AKS membawa kebahagiaan dan semangat baru bagi anak-anak kami. Semoga kegiatan ini menginspirasi banyak pihak untuk ikut berbagi,” ujar pengurus panti.

Dengan suksesnya kegiatan #ASApeduli dan #AKSpeduli di Yogyakarta tahun ini, Bank ASA dan Bank AKS berharap aksi sosial serupa dapat terus diperluas ke berbagai wilayah di Indonesia. Kolaborasi antara dunia usaha dan masyarakat diharapkan dapat menciptakan masa depan yang lebih inklusif, peduli, dan berkelanjutan.

Sukseskan GNIB, Satpol PP Jalin Kolaborasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Komunitas

Jakarta, aktual.com — Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak untuk menyukseskan Gerakan Nasional Indonesia Bersih (GNIB). GNIB merupakan salah satu agenda prioritas pemerintah yang bertujuan mewujudkan lingkungan yang bersih, sehat, tertib dan indah melalui sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. GNIB tidak hanya menekankan kebersihan dalam arti fisik tetapi juga menyangkut kebersihan lingkungan visual dan tata kota, termasuk penataan ruang publik dari keberadaan reklame, spanduk, banner, baliho dan alat peraga lainnya yang sering kali terpasang secara sembarangan.

Satpol PP sebagai perangkat daerah yang memiliki mandat untuk menegakkan perda/perkada memegang peranan sentral dalam mendukung GNIB melalui dua jalur utama; yaitu penegakan Perda tentang Kebersihan dan Pengelolaan Sampah, serta penertiban reklame, spanduk dan alat peraga lainnya yang tidak sesuai ketentuan. Peran Satpol PP ini menjadi semakin penting mengingat keberhasilan GNIB tidak dapat dilepaskan dari terwujudnya lingkungan yang bersih secara fisik dan visual. Sampah yang berserakan dan spanduk liar yang menumpuk sama-sama menjadi simbol lemahnya kesadaran hukum dan penataan kota.

Terkait hal tersebut, Kepala Bidang Penegakan Perda dan Perkada Satpol PP, Rahmat Efendi Lubis mengatakan, pihaknya berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk menyukseskan GNIB karena Satpol PP tidak bisa bekerja sendiri untuk mewujudkan lingkungan yang bersih secara fisik dan visual.

“Kolaborasi kami lakukan dengan Dinas Lingkungan Hidup, dan berbagai instansi lainnya. Dengan Kementerian Lingkungan Hidup, kami juga berkolaborasi terkait dengan penanganan pencemaran lingkungan,” ujar Rahmat Efendi Lubis dalam Talkshow Penguatan Kapasitas Satpol PP di Daerah dalam Penegakan Hukum Perda Terkait Pelaksanaan GNIB dan Pengelolaan Sampah.

Sebagai contoh, ketika selesai pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah yang dilaksanakan secara serentak pada 2024 lalu, Jakarta dibanjiri limbah Alat Peraga Kampanye (APK) yang sudah tidak terpakai.

“Setelah dilakukan penurunan oleh SatPol PP, jumlah alat peraga sangat banyak di seluruh wilayah Ibukota. Untuk mengatasinya, kami mencari komunitas yang dapat melaksanakan kegiatan pemanfaatan limbah alat peraga tersebut. Komunitas melakukan daur ulang untuk mengubah limbah APK menjadi bahan baku furnitur seperti meja dan kursi,” katanya.

Dalam talkshow tersebut, Fungsional Penyuluh Lingkungan Hidup Ahli Madya Kementerian Lingkungan Hidup Herbita Simanjuntak, SSI.,MT mengungkapkan, GNIB lahir akibat permasalahan kebersihan yang memprihatinkan dan adanya kebutuhan untuk mengubah perilaku masyarakat. Faktanya, menurut Herbita, Indonesia memproduksi sampah sekitar 56 juta ton per tahun. Hampir 63 persen dari jumlah sampat tersebut dikelola secara open dumping di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah. Sementara, masih ada sekitar 22 juta ton yang berserakan di lingkungan seperti pembuangan limbah ilegal, pemukiman dan badan-badan air.

“Perlu kolaborasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat untuk menyelesaikan masalah ini. Maka dicetuskanlah Gerakan Nasional Indonesia Bersih,” ujar Herbita.

Ia menambahkan, peran pemerintah daerah sangat penting dalam hal penanganan sampah, karena daerah yang akan mendampingi masyarakat secara langsung, misalnya melalui Satpol PP, untuk memberikan penyadaran bagaimana mengelola sampah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah.

Terkait hal ini, menurut Rahmat Efendi Lubis, pihaknya sudah menjalankan beberapa program seperti Satpol PP Goes To School untuk memberikan sosialisasi kepada siswa setingkat SMA, mengenai peraturan daerah yang berkaitan dengan bagaimana menjaga ketertiban umum, kebersihan lingkungan dan estetika kota.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Berita Lain