25 Desember 2025
Beranda blog Halaman 195

Badan Gizi Nasional dan Bahaya Penjajahan Regulasi

Badan Gizi Nasional (BGN)
Badan Gizi Nasional (BGN)

Oleh: Rinto Setiawan Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)

Jakarta, aktual.com – Pemerintah baru saja membentuk Badan Gizi Nasional (BGN) melalui Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024. Di atas kertas, niatnya tampak mulia: memperkuat kebijakan gizi nasional, mengatasi stunting, dan meningkatkan ketahanan pangan. Namun jika ditelisik secara hukum, kelahiran BGN justru menimbulkan pertanyaan serius: apakah badan ini lahir secara konstitusional?

Dalam konsiderans Mengingat, Perpres ini hanya menyebut satu dasar hukum, yaitu Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Tidak ada satu pun Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang dijadikan rujukan atau sumber delegasi kewenangan. Artinya, pembentukan BGN melompat langsung dari UUD ke Perpres, melewati mekanisme hierarki peraturan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Praktik ini berbahaya. Secara prinsip negara hukum, setiap peraturan di bawah UU harus bersumber dari UU atau PP. Tanpa itu, peraturan menjadi cacat formil, karena tidak memiliki cantolan hukum yang sah. Lebih dari itu, Perpres seperti ini juga tidak bisa diuji oleh Mahkamah Agung (karena mengaku bersumber dari UUD) maupun Mahkamah Konstitusi (karena bukan UU). Ia berdiri di wilayah abu-abu, kebal dari kontrol hukum, tapi tetap mengikat rakyat dan lembaga negara lain.

Fenomena ini menunjukkan munculnya penjajahan regulasi—kekuasaan normatif presiden yang tak lagi dibatasi oleh prinsip delegasi hukum. Presiden bisa menciptakan lembaga, kewenangan, dan struktur baru hanya dengan Perpres, tanpa persetujuan DPR dan tanpa mekanisme koreksi yudisial. Dalam jangka panjang, ini mengancam sistem checks and balances yang menjadi roh demokrasi konstitusional Indonesia.

Ironisnya, bidang gizi nasional sudah diatur secara jelas dalam UU 18/2012 tentang Pangan dan UU 17/2023 tentang Kesehatan. Kedua undang-undang tersebut sudah menempatkan fungsi gizi sebagai bagian integral dari tugas pemerintah dan kementerian terkait. Maka pembentukan BGN lewat Perpres bukan hanya melompati hierarki hukum, tapi juga berpotensi tumpang tindih dengan lembaga dan mandat yang sudah ada.

Dengan demikian, Perpres 83/2024 bukan sekadar soal birokrasi gizi—ini cermin dari persoalan yang jauh lebih besar: menguatnya kekuasaan eksekutif di luar kontrol konstitusional. Jika pola ini dibiarkan, kita akan melihat lebih banyak lembaga “turunan presiden” lahir tanpa dasar hukum yang jelas, menumpuk beban anggaran, dan mengacaukan tata kelola pemerintahan.

Sudah saatnya publik, akademisi, dan DPR membuka mata: Badan Gizi Nasional boleh saja penting secara program, tetapi ia berdiri di atas fondasi hukum yang rapuh. Kebaikan niat tidak bisa menutupi cacat konstitusi.

Negara hukum tidak dibangun dari niat baik, tetapi dari ketaatan pada prosedur hukum. Dan jika hukum bisa diloncati atas nama niat baik, maka tinggal menunggu waktu sebelum semua hal buruk dilakukan atas nama tujuan mulia yang sama.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Komisi Percepatan Reformasi Polisi Akan Tambah Satu Anggota Perempuan

Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama para anggota komisi; Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Kepolisian Ahmad Dofiri (kiri); Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan (kedua kiri); Kapolri periode 2019–2021 Jenderal Pol. (Purn.) Idham Aziz (kedua kanan); dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan periode 2019–2024 sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008–2013 Mahfud MD (kanan) memberikan keterangan pers di Gedung Mabes Polri, Jakarta, Senin (10/11/2025). ANTARA/Nadia Putri Rahmani.
Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama para anggota komisi; Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Kepolisian Ahmad Dofiri (kiri); Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan (kedua kiri); Kapolri periode 2019–2021 Jenderal Pol. (Purn.) Idham Aziz (kedua kanan); dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan periode 2019–2024 sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008–2013 Mahfud MD (kanan) memberikan keterangan pers di Gedung Mabes Polri, Jakarta, Senin (10/11/2025). ANTARA/Nadia Putri Rahmani.

Jakarta, aktual.com – Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dibentuk oleh Presiden RI Prabowo Subianto akan menambah satu anggota perempuan.

“Insyaallah mungkin minggu depan akan ada tambahan satu orang ya, ibu-ibu. Saya belum sebut namanya,” kata Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie di Gedung Mabes Polri, Jakarta, Senin (10/11).

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan bahwa penambahan anggota perempuan merupakan ide dari Presiden Prabowo agar ada keterwakilan perempuan di dalam komisi.

“Karena setelah dilantik, ‘loh ternyata laki-laki semua’. Jadi, bukan usulan kami, melainkan beliau sendiri. Nah, namanya sudah ada, tinggal diteken,” ujarnya.

Dengan adanya penambahan anggota perempuan, maka jumlah anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri akan berjumlah 11 orang.

Pada Jumat (7/11), Presiden Prabowo Subianto melantik 10 anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri di Istana Merdeka, Jakarta, yang diketuai oleh Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003–2008 Jimly Asshiddiqie.

Pelantikan tersebut dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 122P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selain Jimly yang juga merangkap anggota, Prabowo turut melantik sembilan anggota komite lainnya, yaitu Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo; Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Kepolisian Ahmad Dofiri.

Lalu, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra; Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan.

Kemudian, Menteri Dalam Negeri sekaligus Kapolri periode 2016–2019 Jenderal Pol. (Purn.) Tito Karnavian; Menteri Hukum Supratman Andi Agtas; Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan periode 2019–2024 sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008–2013 Mahfud MD.

Terakhir, Kapolri periode 2019–2021 Jenderal Pol. (Purn.) Idham Aziz; dan Kapolri periode 2015–2016 Jenderal Pol. (Purn.) Badrodin Haiti.

Pembentukan komisi ini merupakan salah satu janji Presiden Prabowo untuk memenuhi aspirasi masyarakat mengenai reformasi internal Polri, terutama setelah muncul berbagai desakan dari berbagai kelompok masyarakat pada akhir Agustus 2025.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Aroma Perseteruan Negara Berkembang Vs Negara Maju di COP30 Brasil

Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, menyampaikan penghargaan dan kekagumannya kepada Indonesia dalam pernyataan pers bersama Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto pada Rabu, 9 Juli 2025. Aktual/BPMI-SETNEG

Jakarta, aktual.com — Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP30) resmi dibuka di Kota Belém, Brasil, dengan nada tegas dari para pemimpin dunia: laju aksi global menahan krisis iklim masih terlalu lambat. Dalam dua pekan ke depan, hampir 200 negara akan duduk di meja perundingan untuk membahas detail strategi pengurangan emisi, transisi energi bersih, hingga skema pendanaan bagi negara miskin yang terus dihantam dampak cuaca ekstrem.

Melansir Bloomberg, Senin (10/11/2025), konferensi kali ini berpotensi menjadi ajang tarik-menarik kepentingan antara negara maju dan negara berkembang — dari urusan pendanaan hingga arah kebijakan energi fosil. “COP kali ini akan sangat berbeda. Topik ini menyentuh begitu banyak sektor ekonomi, dan tak ada satu pun negara yang benar-benar siap untuk transisi energi,” ujar Presiden COP30 André Corrêa do Lago pekan lalu.

Perebutan Agenda: Dana Iklim Jadi Medan Tarung Utama

Seperti tradisi lama, pertempuran politik di forum COP dimulai sejak hari pertama. Tahun ini, kelompok Like Minded Developing Countries (LMDC) yang terdiri dari negara-negara berkembang seperti Arab Saudi dan India menekan negara maju agar memperjelas komitmen pendanaan iklim bagi negara miskin.

Mereka juga menuntut agar forum membahas kebijakan perdagangan sepihak, merujuk pada langkah Uni Eropa yang akan memberlakukan pungutan karbon terhadap impor beremisi tinggi mulai tahun depan. Di sisi lain, Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS) menuntut tindakan nyata atas laporan PBB yang memperingatkan dunia kian jauh dari target pemanasan global di bawah 1,5°C.

Namun, upaya itu berpotensi tersandera kepentingan negara kaya minyak seperti Arab Saudi, yang menolak bahasa tambahan terkait peningkatan ambisi iklim. Brasil sebagai tuan rumah mencoba meredam ketegangan dengan menggabungkan berbagai isu dalam satu jalur negosiasi bersama topik pendanaan. Pertemuan informal antar kepala delegasi bahkan digelar Minggu sore waktu setempat demi mencegah kebuntuan sejak dini.

Peta Jalan Energi Fosil: Antara Ambisi dan Realitas

Setahun setelah kesepakatan pendanaan iklim US$1,3 triliun di COP29, negara-negara maju kini ingin mengembalikan fokus pada mitigasi emisi. Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dalam pidato pembukaannya menyerukan peta jalan global untuk mengakhiri ketergantungan dunia terhadap bahan bakar fosil.

“Jika kesepakatan ini tercapai, itu akan menjadi kemenangan besar bagi negara progresif dan aktivis lingkungan,” tulis laporan tersebut. Namun, hingga kini belum ada kejelasan bagaimana inisiatif transisi energi itu akan diterapkan secara konkret.

“Mandat transisi energi sudah ada. Sekarang saatnya bicara langkah konkretnya,” tegas do Lago.

Namun dari Kepulauan Marshall, Menteri Luar Negeri Kalani Kaneko mengingatkan bahwa dunia belum siap menghadapi konsekuensi sosial dan ekonomi dari peralihan besar ini. “Kami melihat masa depan dengan gejolak pasokan, perebutan sumber daya, dan aset terlantar — sementara kami yang paling terdampak justru menanggung risikonya,” ujarnya.

Bayang-bayang Trump di Meja Perundingan

Meski belum mengirim delegasi resmi, Amerika Serikat tetap menjadi “elemen tak terlihat” dalam COP30. Negara itu dipastikan keluar dari Perjanjian Paris pada 27 Januari 2026, seiring kebijakan baru pemerintahan Donald Trump yang kembali pro-bahan bakar fosil.

Kendati masih tercatat dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), absennya AS secara formal menjadi sinyal mundurnya kepemimpinan global negara itu dalam isu iklim. “Bayangan Trump masih kuat di meja perundingan,” tulis analis iklim Amerika Latin, menyoroti bagaimana Washington kerap menghambat negosiasi multilateral terkait energi, plastik, dan emisi pelayaran.

Adaptasi: Harapan Terakhir di Tengah Krisis

Berbeda dari dua edisi sebelumnya, COP30 tak memiliki satu kesepakatan besar yang jadi sorotan utama. Namun, banyak pihak menaruh harapan pada agenda adaptasi iklim — terutama setelah badai Melissa menghantam Jamaika dan menyebabkan kerugian hingga US$4,2 miliar.

Negosiator tengah berupaya memangkas daftar indikator ketahanan iklim dari 400 menjadi 100 agar ada tolok ukur yang lebih jelas bagi kebijakan dan pendanaan global. Target sebelumnya untuk melipatgandakan dana adaptasi telah berakhir tahun ini, dan para delegasi berharap target pendanaan baru bisa disepakati sebelum konferensi ditutup.

“Kebutuhan kami untuk beradaptasi sudah melampaui kemampuan yang ada. COP kali ini harus menyepakati paket adaptasi dengan pendanaan baru sebagai pusatnya,” tegas Kaneko.

Tarik-Ulur Abadi di Tengah Planet yang Memanas

COP30 di Brasil kembali menegaskan jurang lebar antara kepentingan politik dan urgensi ilmiah. Negara maju datang dengan janji transisi bersih, sementara negara berkembang menuntut keadilan iklim yang selama ini tertunda.

Namun satu hal pasti — di tengah perang, perdagangan, dan politik energi global, iklim kini kembali menuntut tempat utama di meja dunia.

Anggota DPR Minta Pandji Pragiwaksono Selesaikan Kasus dengan Dialog Kekeluargaan

Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, menyerukan penyelesaian kasus Pandji Pragiwaksono dengan pendekatan kekeluargaan bersama masyarakat Toraja. Ia menekankan pentingnya penghormatan terhadap budaya lokal dan menyarankan agar penyelesaian masalah dilakukan melalui dialog yang bijaksana.

“Kita serahkan kepada masyarakat Toraja dan tokoh setempat untuk menentukan langkah-langkah penyelesaian. Kami berharap penyelesaian ini dapat dilakukan dengan pendekatan yang bijaksana,” ujar Lalu saat ditemui Aktual.com di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (10/11/2025).

Menurutnya, komentar Pandji dalam stand-up comedy-nya seharusnya menjadi pengingat akan pentingnya memahami nilai-nilai budaya dan adat di masing-masing daerah. Ia menekankan bahwa setiap budaya memiliki etika dan tradisi yang harus dihormati oleh siapapun.

Lebih lanjut, Lalu mengingatkan bahwa publik figur harus lebih berhati-hati dalam berbicara tentang budaya yang bukan milik mereka. “Ketika berkomentar tentang adat istiadat daerah lain, perlu pertimbangan agar tidak menyinggung perasaan masyarakat,” ungkap Lalu.

Terkait kronologi kasus, Pandji Pragiwaksono dilaporkan ke kepolisian oleh Aliansi Pemuda Toraja setelah video candaan yang dianggap menghina ritual adat Toraja. Pandji, yang membawakan materi tersebut pada 2013, telah meminta maaf secara terbuka di media sosial.

“Dalam beberapa hari terakhir, saya menerima banyak protes dan kemarahan dari masyarakat Toraja terkait sebuah joke dalam pertunjukan Mesakke Bangsaku tahun 2013. Dari obrolan itu, saya menyadari bahwa joke yang saya buat memang ignorant, dan untuk itu saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat Toraja yang tersinggung dan merasa dilukai,” kata Pandji dalam permintaan maafnya di Instagram, Rabu (4/11/2025).

Saat ini, terdapat dua proses hukum yang berjalan dalam kasus Pandji, yakni proses hukum negara dan proses hukum adat Toraja. Pandji menyatakan siap mengikuti kedua proses tersebut untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan.

(Nur Aida Nasution)

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Tak Kuasa Menahan Haru, Kakak Marsinah Terima Gelar Pahlawan Nasional untuk Mendiang Adiknya

Aktivis Buruh, Marsinah (foto) menjadi pahlawan nasional yang ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Aktual/HO

Jakarta, aktual.com — Suasana haru menyelimuti Istana Negara saat Marsini, kakak kandung aktivis buruh Marsinah, menyampaikan keterangan pers usai Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2025, Senin (10/11/2025).

Dengan mata berkaca-kaca, Marsini mengucapkan rasa syukur dan terima kasih atas penghargaan yang diberikan oleh Presiden Prabowo Subianto kepada mendiang adiknya, Marsinah.

Marsini hadir bersama keluarga besar, termasuk keponakan Marsinah, A. Anovianto Prajoko, serta perwakilan dari Kabupaten Nganjuk, untuk menerima penghargaan tersebut. “Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden Prabowo, Bapak Presiden RI yang sekarang. Terima kasih banget, terima kasih sebesar-besarnya untuk anugerah yang diberikan untuk adik saya Marsina,” ujar Marsini dengan suara bergetar.

Ia juga menyampaikan apresiasi kepada berbagai pihak yang telah mendukung proses panjang pengajuan gelar pahlawan nasional bagi Marsinah — mulai dari pemerintah daerah, organisasi buruh, hingga lembaga swadaya masyarakat. “Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Bupati pendahulu yang telah memberi nama Jalan Marsina. Juga kepada teman-teman Marsina yang lain, yaitu ke-13 anak yang di-PHK saat peristiwa demo,” tuturnya.

Marsini mengenang dengan haru perjuangan sahabat-sahabat Marsinah yang selama bertahun-tahun terus memperingati perjuangan sang aktivis melalui doa bersama dan kegiatan sosial. Ia mengaku tak menyangka akhirnya dapat berdiri di Istana Negara, menyaksikan perjuangan sang adik diakui oleh negara. “Akhirnya saya bisa berdiri di sini, didampingi orang nomor satu, nomor dua, juga dari LSM Pak Kelik yang selalu berkomunikasi. Saya tidak bisa membalas apa-apa, hanya terima kasih. Semoga semuanya berkah hidupnya di dunia dan akhirat,” ucapnya penuh emosi.

Mengenang sosok sang adik, Marsini bercerita tentang masa kecil Marsinah yang penuh perjuangan. Ia menggambarkan betapa berat kehidupan yang dijalani Marsinah kecil, yang harus berpindah-pindah mengikuti kerabat demi bisa bersekolah. “Marsina waktu kecil berjuang keras agar bisa sekolah sampai SMP. Naik sepeda ontel jengki merah tanpa boncengan, tanpa selebor, tetap semangat belajar meski tanpa ibu dan bapak,” kenangnya.

Dalam kesempatan itu, Marsini juga menyampaikan pesan kepada para buruh di seluruh Indonesia agar terus melanjutkan semangat perjuangan Marsinah dalam memperjuangkan kesejahteraan pekerja. “Harapan kami, teman-teman Marsinah terus berjuang meningkatkan taraf hidupnya. Semoga UMR yang ada sekarang bisa mencukupi kehidupan yang lebih layak, tidak seperti dulu makan saja hanya dua kali sehari,” katanya.

Marsini juga menyoroti sistem kerja kontrak dan outsourcing yang menurutnya masih menjadi persoalan di kalangan buruh. “Kalau outsourcing tiga bulan selesai, otomatis bisa menimbulkan pertengkaran dalam rumah tangga hingga perceraian. Saya mohon teman-teman tetap berjuang, ingatlah Marsina yang berkorban untuk kesejahteraan buruh,” ujarnya.

Di akhir keterangannya, Marsini berharap perjuangan Marsinah tidak berhenti di masa lalu, tetapi terus menjadi inspirasi bagi generasi muda. “Perjuangan Marsinah semoga dilanjutkan oleh teman-temannya yang dulu masih kecil, sekarang sudah dewasa. Teruslah berjuang. Marsina dulu ingin kuliah tapi tidak bisa karena tidak ada biaya — semoga semangatnya tetap hidup,” tandas Marsini.

Mensesneg Sebut Penganugerahan Gelar Pahlawan Kepada Marsinah Tidak Berkaitan dengan Hukum

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi ANTARA/Fathur Rochman/am.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi ANTARA/Fathur Rochman/am.

Jakarta, aktual.com – Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyatakan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah tidak berkaitan dengan proses penyidikan ulang atas kasus pembunuhannya pada 1993.

Hal itu disampaikan Prasetyo usai Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11), ketika ditanya apakah pemerintah akan membuka kembali penyelidikan kasus tersebut.

“Saya kira, enggak ada hubungannya juga ya. Jadi hari ini memang tadi sebagaimana sudah disampaikan bahwa kita melihat jasa-jasa dari para tokoh-tokoh terutama juga para pendahulu-pendahulu kita,” kata Prasetyo.

Ia menyatakan bahwa penganugerahan gelar diberikan berdasarkan kontribusi dan keteladanan perjuangan Marsinah sebagai simbol keberanian buruh memperjuangkan keadilan.

Prasetyo mengajak publik untuk menaruh fokus pada nilai perjuangan yang ditinggalkan, bukan pada polemik masa lalu.

“Mari kita bersama-sama melihat ke depan ya, semua generasi punya masa, semua masa ada orangnya, ada prestasi, ada kelebihan, ada kekurangan,” ujarnya.

Kasus Marsinah terjadi pada 1993 di Sidoarjo, Jawa Timur. Buruh PT Catur Putra Surya (CPS) itu melancarkan aksi mogok kerja bersama rekannya untuk menuntut kenaikan upah sesuai standar pemerintah.

Pada 5 Mei 1993, setelah beberapa buruh ditahan di Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo, Marsinah terlihat terakhir kali saat mendatangi markas tersebut untuk menanyakan nasib rekan-rekannya.

Tiga hari berselang, pada 8 Mei 1993, jenazahnya ditemukan di sebuah gubuk di Nganjuk dengan tanda-tanda penyiksaan berat dan kekerasan seksual.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Berita Lain