25 Desember 2025
Beranda blog Halaman 196

Pramono Harap Tidak Ada Lagi Perundungan di Lingkungan Sekolah

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung saat dijumpai di Balai Kota, Senin (10/11/2025). ANTARA/Lifia Mawaddah Putri.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung saat dijumpai di Balai Kota, Senin (10/11/2025). ANTARA/Lifia Mawaddah Putri.

Jakarta, aktual.com – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo berharap tidak ada lagi perundungan atau bullying di lingkungan sekolah di ibu kota.

“Jadi yang paling utama yang bersifat perundungan atau bullying tidak boleh terulang kembali karena ini bisa menjadi motivasi atau pemicu,” kata Pramono saat dijumpai di Balai Kota Jakarta, Senin (10/11).

Kendati demikian, saat dimintai tanggapan terkait pelaku ledakan SMA Negeri 72 yang diduga merupakan korban bullying, Pramono masih enggan berkomentar.

Meski saat meninjau tempat kejadian perkara (TKP) Pramono mendengar terkait isu tersebut, namun Ia mengatakan masih menunggu proses dari pihak kepolisian terkait hal tersebut.

“Sampai hari ini, karena ini yang berwenang sepenuhnya adalah kepolisian, mari kita tunggu bersama-sama apa yang sebenarnya terjadi. Jadi untuk itu, saya tidak komentar, tetapi sekali lagi kita tunggu apa yang menjadi temuan yang sebenarnya,” ujar Pramono.

Sebelumnya, Polda Metro Jaya menyebutkan masih mendalami motif terduga pelaku ledakan di SMA Negeri 72, Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara, pada Jumat siang (7/11) yang disebut adalah korban “bully” atau dirundung oleh siswa lain.

“Kita di malam ini sengaja meluruskan informasi sehingga tidak simpang siur, tadi disampaikan oleh Bapak Kapolda Metro Jaya, ini juga masih dilakukan pendalaman terhadap motif, apakah yang bersangkutan korban bullying? Ini juga masih kita dalami,” kata Kabid Polda Metro Jaya, Kombes Pol Budi Hermanto.

Budi juga menjelaskan pihaknya belum dapat meminta sejumlah keterangan dari para saksi karena mayoritas masih dalam penanganan Rumah Sakit.

“Karena saksi-saksi yang ada juga adalah menjadi korban dan butuh pemulihan dalam penanganan medis. Jadi, kemungkinan besok Bapak Kapolda Metro Jaya yang akan menyampaikan,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Prabowo Anugrahkan Gelar Pahlawan kepada 10 Tokoh Termasuk Soeharto, Berikut Daftarnya

Presiden RI Prabowo Subianto memimpin Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional 2025 di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). ANTARA/Andi Firdaus
Presiden RI Prabowo Subianto memimpin Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional 2025 di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). ANTARA/Andi Firdaus

Jakarta, aktual.com – Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh yang dinilai berjasa besar bagi bangsa dan negara.

Upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional berlangsung di Istana Jakarta, Senin (10/11), diawali dengan prosesi mengheningkan cipta untuk arwah para pahlawan yang dipimpin langsung Presiden.

Penganugerahan Pahlawan Nasional ini dilakukan sebagai bentuk penghargaan negara atas kontribusi para tokoh dalam bidang kepemimpinan, demokrasi, HAM, dan keberpihakan kepada rakyat.

Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116.TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional ditetapkan di Jakarta 6 November 2025.

Dalam upacara tersebut, pemerintah menetapkan sepuluh tokoh sebagai Pahlawan Nasional, yakni:

1. K.H. Abdurachman Wahid (Gus Dur) – Jawa Timur.
2. Jenderal Besar TNI H.M. Soeharto – Jawa Tengah.
3. Marsinah – Jawa Timur
4. Mochtar Kusumaatmaja – Jawa Barat.
5. Hj. Rahma El Yunusiyyah – Sumatera Barat.
6. Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo – Jawa Tengah.
7. Sultan Muhammad Salahuddin – Nusa Tenggara Barat.
8. Syaikhona Muhammad Kholil – Jawa Timur.
9. Tuan Rondahaim Saragih – Sumatera Utara.
10. Zainal Abidin Syah – Maluku Utara.

Agenda tersebut turut dihadiri Wakil Presiden Gibran Rakabuming beserta jajaran anggota Kabinet Merah Putih beserta perwakilan keluarga Pahlawan Nasional yang namanya diumumkan hari ini.

Upacara diakhiri dengan penyerahan plakat dan dokumen gelar kepada keluarga ahli waris. Pemerintah berharap penganugerahan ini menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk terus berkontribusi bagi bangsa.

Pengumuman ini merupakan yang terbaru setelah penetapan pahlawan nasional pada 8 November 2023 oleh Presiden Ke-7 RI Joko Widodo.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Viral Hasto Perintahkan Ajak Pihak Eskternal Partai Tolak Gelar Pahlawan Untuk Soeharto

Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto. Aktual/HO/PDIP

Jakarta, aktual.com – Dunia maya dihebohkan dengan adanya screenshot chat dari Sekertaris Jenderal PDIP, Hasto Kristanto di group whatsapp internal PDI Perjuangan.

Dari tangkapan layar yang beredar, Hasto menyebut bahwa tugas dirinya maupun pengurus partai untuk mendorong pihak pihak diluar partai untuk menolak pemberian gelar pahlawan kepada Presiden RI Ke 2 Soeharto.

“Tugas kita mendorong pihak-pihak eksternal partai untuk menolak pemberian gelar tersebut (Gelar Pahlawan kepada Soeharto). Jadi terus lakukan penggalangan opini,” salah satu kutipan chat Hasto dalam pesan digroup tersebut.

Dalam pesannya hasto menekankan untuk menggalang opini untuk menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.

Menurutnya hal tersebut merupakan hasil diskusi berdasarkan arahan dari ketua umum PDI Perjuangan Megawati dalam rapat di DPP pada pekan sebelumnya.

“Rekan-Rekan DPP ini hasil diskusi dari beberapa teman. Diskusi ini dibuat berdasarkan arahan ibu ketua umum dalam rapat DPP Minggu lalu dan juga arahan melalui pernyataan di Blitar,” demikian kutipan chat hasto.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Roy Suryo dan Tifauzia Tyassuma Dipanggil Polda Metro Jaya Terkait Kasus Dugaan Ijazah Palsu Jokowi

Pakar telematika Roy Suryo saat ditemui di Polda Metro Jaya, Senin (7/7/2025). ANTARA/Ilham Kausar

Jakarta, aktual.com – Polda Metro Jaya menjadwalkan pemeriksaan terhadap para tersangka kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi). Salah satu yang akan diperiksa perdana sebagai tersangka adalah Roy Suryo.

“Surat panggilan sebagai tersangka sudah dikirim, terjadwal Kamis 13 November 2025,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Budi Hermanto, saat dihubungi, Senin (10/11/2025).

Selain Roy Suryo, penyidik juga memanggil sejumlah tersangka lain. “Ada Pak Rismon dan Bu Tifauzia juga,” ujarnya.

Diketahui, Polda Metro Jaya telah menetapkan delapan orang tersangka dalam perkara dugaan ijazah palsu Jokowi. Delapan tersangka tersebut terbagi ke dalam dua klaster.

Lima tersangka dalam klaster pertama:

  1. ES
  2. KTR
  3. MRF
  4. RE
  5. DHL

Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan/atau Pasal 311 dan/atau Pasal 160 KUHP serta Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4) dan/atau Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Tiga tersangka dalam klaster kedua:

  1. RS
  2. RHS
  3. TT

Kelompok ini dijerat dengan Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP serta Pasal 32 Ayat (1) juncto Pasal 48 Ayat (1) dan/atau Pasal 35 juncto Pasal 51 Ayat (1) dan ketentuan lain dalam Undang-Undang ITE.

Menanggapi penetapan dirinya sebagai tersangka, Roy Suryo memilih bersikap tenang.

“Dan poin yang paling penting apa? Status tersangka itu masih harus kita hormati dan kita, saya sikap saya apa? senyum saja. Tersangka itu adalah salah satu proses, masih nanti ada status menjadi, misalnya lanjut, itu baru menjadi terdakwa, baru lanjut lagi menjadi terpidana,” ujar Roy Suryo di kawasan Bareskrim Polri.

Ia menegaskan menghormati seluruh proses hukum yang berlangsung dan mengajak para tersangka lainnya untuk tetap kuat.

“Jadi sekali lagi, sikap saya apa? saya senyum, saya menyerahkan ke kuasa hukum, saya tetap mengajak untuk semua yang ke tujuh orang lain untuk tetap tegar. Ini adalah perjuangan kita semua bersama rakyat Indonesia selaku masyarakat yang bebas untuk melakukan penelitian atas dokumen publik, tidak untuk dikriminalisasi,” ujarnya.

Sementara itu, Dokter Tifauzia Tyassuma atau dr. Tifa juga angkat bicara soal penetapan dirinya sebagai tersangka. Ia memilih menyerahkan seluruh proses kepada Tuhan.

“Semua proses yang berlangsung saya serahkan sepenuhnya pada Allah. Secara pribadi saya telah siap lahir dan batin. Hasbunallah wanikmal wakil, nikmal maula wanikman nasir,” ungkap Tifa kepada wartawan, Jumat (7/11/2025).

Ia menegaskan tetap menghargai proses hukum yang berjalan dan telah menyerahkan penanganannya kepada tim kuasa hukum.

“Saya menghargai dan menghormati proses hukum. Dengan cara ini proses akan berlangsung terang benderang. Di mana kebenaran harus berpijak. Untuk proses ini, saya menyerahkan sepenuhnya kepada tim kuasa hukum saya,” kata Tifa.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Kejagung Ungkap Sedang Selidiki Kasus Dugaan Korupsi Minyak Mentah

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna berbicara dengan awak media di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (28/10/2025). (ANTARA/Nadia Putri Rahmani)
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna berbicara dengan awak media di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (28/10/2025). (ANTARA/Nadia Putri Rahmani)

Jakarta, aktual.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan bahwa saat ini sedang menyidik kasus dugaan korupsi pengadaan minyak mentah oleh Pertamina Energy Trading Ltd. (Petral) atau PT Pertamina Energy Services Pte. Ltd (PES).

“Sudah naik penyidikan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna di Jakarta, Senin (10/11).

Dia mengatakan, status kasus ini naik menjadi penyidikan pada bulan Oktober. Namun menurut dia, hingga saat ini belum ada penetapan tersangka.

“Belum,” katanya.

Anang juga belum bisa mengungkapkan duduk perkara yang tengah diusut.

Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tengah mengusut kasus korupsi minyak mentah ini. Anang memastikan bahwa Kejagung sedang berkoordinasi dengan lembaga antirasuah tersebut.

“Sedang dikoordinasikan dengan KPK,” ujarnya.

Sebelumnya, KPK mengumumkan penyidikan kasus baru terkait dugaan korupsi dalam pengadaan minyak mentah dan produk jadi kilang minyak oleh Pertamina Energy Trading Ltd. (Petral) atau PT Pertamina Energy Services Pte. Ltd (PES) tahun 2009-2015.

“Penyidik menemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi lainnya berupa kerugian negara yang diakibatkan dari pengadaan minyak mentah dan produk jadi kilang pada periode 2009-2015,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo.

Ia menjelaskan bahwa penyidikan kasus baru tersebut bermula dari pengembangan dua perkara yang mulai dilakukan pada Oktober 2025.

Pertama, perkara dugaan suap terkait pengadaan katalis di PT Pertamina (Persero) tahun anggaran 2012–2014 yang melibatkan salah satu tersangkanya, yakni Chrisna Damayanto (CD).

Budi mengatakan Chrisna Damayanto diketahui sempat menjabat sebagai Direktur Pengolahan Pertamina tahun 2012-2014, dan sekaligus merangkap sebagai Komisaris Petral.

Kedua, pengembangan perkara dugaan suap terkait perdagangan minyak dan produk jadi kilang minyak tahun 2012-2014, dengan tersangka Bambang Irianto selaku Managing Director PT PES periode 2009-2013 yang sempat menjabat sebagai Direktur Utama Petral sebelum diganti pada 2015.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Seruan Keras Aktivis: “Soeharto Pengkhianat dan Pelaku Kejahatan Kemanusiaan, Tak Layak Jadi Pahlawan”

Jakarta, aktual.com – Pengusulan Soeharto menjadi pahlawan nasional menuai penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk kalangan mahasiswa. Mereka menilai langkah tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan konstitusi, mengingat banyaknya kejahatan kemanusiaan, pembungkaman suara kritis, serta menguatnya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) selama masa pemerintahannya.

Tahun ini, bersama 39 nama lainnya, Soeharto diajukan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) kepada Presiden untuk dipertimbangkan menerima gelar pahlawan nasional.

Sementara itu, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) mengusulkan 49 nama, dengan 24 di antaranya masuk dalam daftar prioritas.

Ketua GTK, Fadli Zon, menyampaikan bahwa sembilan nama calon telah dikaji dan diusulkan pada tahun-tahun sebelumnya, sementara 40 lainnya merupakan usulan baru tahun ini.

Penetapan penerima gelar pahlawan nasional dijadwalkan akan diumumkan pada 10 November, bertepatan dengan Peringatan Hari Pahlawan.

Menolak Lupa Dosa Pemerintahan Otoriter Soeharto

Deodatus Sunda Se, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC-GMNI) Jakarta Selatan secara tegas menyatakan penolakannya.

Ia menilai Soeharto tidak pantas diberi gelar pahlawan karena telah melakukan banyak pengkhianatan terhadap rakyat dan konstitusi.

“Dosa pertama,” ujarnya, “adalah membunuh sosio-demokrasi, baik dalam politik maupun ekonomi.”

Selama Orde Baru, rakyat justru dipinggirkan dengan pembatasan kebebasan berpikir dan berserikat atas nama stabilitas nasional.

Demokrasi dijadikan alat legitimasi kekuasaan, bukan sarana mewujudkan kedaulatan rakyat.

Lebih lanjut, Deodatus menjelaskan bahwa pembunuhan sosio-demokrasi juga tampak dalam bidang ekonomi.

Kekayaan nasional diprivatisasi demi kepentingan segelintir elit dan kroni, sementara ekonomi rakyat disingkirkan, tanah dirampas, dan buruh dijadikan alat produksi murah untuk kepentingan modal besar.

Selain itu, Soeharto mereduksi makna nasionalisme menjadi sekadar bentuk kepatuhan kepada negara dengan dalih persatuan dan pembangunan yang bersifat top-down, sentralistik, dan militeristik.

“Semangat kebangsaan kehilangan jiwa sosialnya dan berubah menjadi ideologi pengendalian,” katanya.

Ia menegaskan bahwa nasionalisme sejati, sebagaimana dirumuskan Soekarno, adalah nasionalisme yang membebaskan rakyat dengan menolak segala bentuk penindasan (sosio-nasionalisme).

Menurutnya, dosa lain Soeharto adalah pembantaian massal terhadap kaum Marhaen (petani, buruh, seniman, guru, dan rakyat kecil lainnya) yang dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Inilah kejahatan kemanusiaan dan luka kolektif terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia modern yang dilakukan dan dibiarkan oleh negara,” ujarnya.

Direktur Institut Marhaenisme 27 itu menambahkan bahwa kekerasan menjadi pola berulang sepanjang rezim Orde Baru.

Demonstrasi mahasiswa menolak penanaman modal asing dibalas dengan represi brutal dalam Tragedi Malari (1974).

Pada dekade 1980-an, penembakan misterius (Petrus) menewaskan ribuan warga tanpa proses hukum, diikuti oleh Tragedi Tanjung Priok (1984) dan Talangsari (1989).

Sementara itu, ribuan nyawa melayang dalam insiden Santa Cruz di Timor Leste (1991). Di Aceh dan Papua, kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) menyebabkan banyak korban sipil tewas.

Bahkan menjelang akhir kekuasaan Soeharto, aparat militer menembaki mahasiswa dalam Tragedi Trisakti serta Semanggi I dan II pada 1998.

Ratusan aktivis pro-demokrasi juga diculik dan disiksa; sebagian tidak pernah kembali.

“Itu menunjukkan wajah negara yang tak segan membunuh rakyatnya sendiri atas nama ketertiban,” kata Deodatus.

Ia menambahkan, semua itu tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dalam sistem politik yang sengaja dibuat otoriter.

Ruang politik kampus dimatikan melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), sementara pers dibungkam lewat pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

“Ruang publik berubah menjadi panggung monolog kekuasaan, dan rakyat didorong untuk diam karena diam berarti aman,” katanya.

Dosa lainnya, lanjut Deodatus, adalah memutarbalikkan Pancasila dan mengkhianati konstitusi UUD 1945.

Pancasila dijadikan alat legitimasi kekuasaan tunggal melalui indoktrinasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Berita Lain