#HereNow, Kampanye Generali untuk Wujudkan Keamanan Finansial Masa Depan

Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano

Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano
Oleh : Hamidin Pengamat Terorisme Global
Jakarta, aktual.com – Ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta pada Jumat siang, 7 November 2025, bukan sekadar dentuman fisik yang mengguncang sekolah. Ia adalah ledakan simbolik dari luka sosial yang selama ini terpendam, melukai puluhan siswa dan guru, meninggalkan trauma, dan memunculkan pertanyaan besar: apa yang mendorong seorang anak sekolah menyalurkan amarahnya dengan cara paling tragis?
Dari keterangan awal aparat, pelaku kemungkinan adalah siswa sendiri, berusia sekitar 17 tahun, yang dikenal pendiam dan tertutup. Polisi tidak menutup kemungkinan bahwa ia menjadi korban bullying atau tekanan sosial di lingkungan sekolah. Bila dugaan itu benar, ledakan ini lebih dari insiden kriminal; ia adalah tindakan regresif-balasan, manifestasi luka psikologis yang lama terpendam dan akhirnya meledak dalam bentuk kekerasan fisik.
Bullying, meski kerap diremehkan, memiliki efek psikologis serius. Korban bisa kehilangan harga diri, merasa terasing, hingga menumpuk kemarahan yang tak tersalurkan. Dalam banyak kasus, tekanan yang dibiarkan menumpuk ini dapat memuncak dalam tindakan ekstrem. Ledakan di SMA 72, dengan demikian, bisa dipahami sebagai buah dari luka sosial yang membusuk tanpa penanganan.
Di sisi lain, muncul dugaan bahwa tindakan ini mungkin terkait dengan ideologi ekstrem atau lone wolf terrorism—aksi kekerasan tunggal yang dilakukan tanpa komando organisasi, tetapi terinspirasi narasi ekstrem yang beredar di dunia maya. Era digital memang memungkinkan radikalisasi terjadi tanpa kontak langsung. Propaganda yang memadukan pesan heroik dan penderitaan global bisa menjadi “bahan bakar emosional” bagi remaja yang sedang mencari identitas.
Namun, dalam konteks Indonesia, kemungkinan proses radikalisasi konvensional—melalui guru radikal (warship), pembelajaran tertutup (discipleship), atau jaringan pertemanan ideologis (friendship)—terlihat sangat kecil. Hal ini berkat keberhasilan program kontra-radikalisasi dan deradikalisasi yang dijalankan Densus 88 dan BNPT. Program rehabilitasi narapidana terorisme, pemberdayaan mantan pelaku, serta pendekatan sosial-ekonomi telah menjadikan Indonesia salah satu negara dengan strategi penanganan ekstremisme paling komprehensif di dunia.
Keunggulan model Indonesia terletak pada kombinasi penegakan hukum dan pendekatan kemanusiaan. Aparat tidak hanya menindak pelaku, tetapi juga menyembuhkan luka ideologis melalui edukasi, pembinaan sosial, dan pemberdayaan ekonomi. Karena itu, kemungkinan adanya proses indoktrinasi klasik dari guru radikal atau jaringan rahasia tampak sangat kecil.
Yang tetap harus diwaspadai hanyalah kemungkinan ekstrem: sel tidur (hybernated cell), jaringan yang selama ini dorman, namun dapat bangkit bila ada pemicu signifikan—misalnya kemunculan tokoh simbolik seperti Hambali atau seruan global dari pimpinan terorisme. Meski demikian, hingga saat ini aparat menegaskan tidak ada bukti keterkaitan pelaku dengan jaringan teror aktif, domestik maupun internasional.
Dalam perspektif ini, tragedi SMA 72 lebih masuk akal dibaca sebagai letupan sosial yang dibungkus simbol kekerasan, bukan serangan ideologis yang terstruktur. Pelaku tampaknya bukan radikal, melainkan remaja yang kehilangan ruang aman, yang mencoba menyalurkan amarahnya melalui cara paling tragis.
Namun konteks global tetap relevan. Konflik di Timur Tengah, krisis Gaza, hingga tensi politik di negara lain menciptakan gelombang narasi emosional yang tersebar luas di media sosial. Gambar penderitaan, seruan heroik, dan propaganda bisa menembus batas logika, terutama bagi remaja yang sedang mencari identitas. Emosi yang tersulut oleh isu global dapat menjadi pemicu tambahan, meski tidak ada hubungan langsung dengan jaringan teror aktif.
Tragedi ini mengingatkan kita bahwa keamanan bukan hanya soal menghadang bom atau menangkap pelaku, tetapi juga soal membangun ketahanan sosial sejak dini. Dunia pendidikan harus menjadi ruang aman, bukan sekadar tempat belajar. Guru, konselor, dan teman sebaya perlu peka terhadap perubahan perilaku siswa. Program anti-bullying tidak cukup menjadi slogan; ia harus menjadi budaya yang menumbuhkan empati dan solidaritas.
Keberhasilan Indonesia dalam menekan radikalisasi konvensional adalah prestasi nyata. Namun ketahanan sejati juga tergantung pada keluarga, sekolah, dan komunitas—yang mampu mendeteksi tanda-tanda luka sosial sebelum berubah menjadi aksi destruktif. Ledakan di SMA 72 bukan sekadar persoalan hukum atau keamanan, tetapi juga peringatan moral: ekstremisme dapat tumbuh dari kesepian, kekecewaan, dan rasa terasing.
Kasus ini juga menekankan bahwa senjata terkuat melawan kekerasan bukan hanya aparat atau undang-undang, tetapi perhatian, kasih, dan kemampuan mendengar. Luka yang dibiarkan diam bisa meledak dengan cara paling tragis. Anak-anak perlu merasa aman tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional dan sosial.
Ledakan di SMA 72 adalah cermin bagi bangsa: betapa pentingnya empati, ruang aman, dan solidaritas dalam kehidupan sehari-hari. Indonesia telah menyiapkan sistem keamanan dan program deradikalisasi yang diakui dunia. Namun mencegah tragedi berikutnya membutuhkan kesadaran kolektif—bahwa anak-anak yang terluka di hati bisa menjadi bom waktu jika tidak ada yang mendengar dan menuntun mereka ke jalan yang benar.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

Jakarta, aktual.com – Wakil Ketua MPR Akbar Supratman mengucapkan selamat atas prestasi talenta sepakbola muda asal Sulawesi Tengah, Aimar Al Adlu. Pemain berusia 14 tahun asal Kota Palu sukses meraih gelar Top Scorer Singa Cup 2025 setelah mencetak total 11 gol sepanjang turnamen internasional yang digelar di Singapura.
“Proficiat Aimar! Luar biasa,” kata Wakil Ketua MPR Abcandra Muhammad Akbar Supratman mengucapkan selamat, Sabtu, 8 November 2025.
Senator Sulawesi Tengah itu meminta Aimar yang bernomor punggung 10 itu untuk terus giat berlatih meski timnya, Palu Selection, harus terhenti di babak delapan besar. Aimar yang akrab disapa Marco ini sudah menunjukkan potensi besar sebagai atlet masa depan Indonesia. “Jangan berpuas diri, terus rajin berlatih dan mengembangkan teknik permainan,” kata Akbar.
Marco mencuri perhatian sejak laga pembuka hingga fase gugur. Ia memperlihatkan teknik tinggi, kecepatan, dan naluri mencetak gol yang tajam. Ia membuka turnamen dengan lima gol ke gawang tim asal India, menambah satu gol saat menghadapi Australia, serta dua gol lainnya ketika melawan Singapura, sebelum melengkapi koleksinya di laga penyisihan berikutnya.
Saat ini, Aimar Al Adlu menempuh pendidikan di Al Azhar Mandiri Palu. Di luar sekolah, ia aktif berlatih di salah satu akademi sepak bola di Bogor untuk memperkuat teknik, taktik, dan mental bertandingnya.
Dukungan penuh dari sang ayah, Ahmadi H.B. Buraera, turut menjadi faktor penting dalam perjalanan karier sepak bolanya.
“Prestasi ini tentu sangat membanggakan, tapi jangan cepat puas. Terus berlatih dan tetap rendah hati. Aimar telah menunjukkan bahwa bakat sepak bola dari daerah pun bisa bersinar di panggung internasional,” ujar Ahmadi Buraera.

Istanbul, aktual.com – Kantor Kepala Kejaksaan Umum Istanbul di Turki pada Jumat (7/11) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk 37 orang, termasuk Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, dengan tuduhan “genosida” dan “kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Kantor kejaksaan tersebut menyatakan dalam sebuah pernyataan bahwa surat-surat perintah penangkapan tersebut dikeluarkan setelah penyelidikan tentang apa yang disebut sebagai serangan “sistematis” Israel terhadap warga sipil di Gaza, seraya menambahkan bahwa penyelidikan tersebut dimulai setelah adanya pengaduan dari sejumlah korban dan anggota Global Sumud Flotilla, misi bantuan sipil yang dihalangi oleh pasukan angkatan laut Israel saat berusaha mengirimkan pasokan kemanusiaan ke Gaza.
Menteri Luar Negeri Israel Gideon Sa’ar mengecam surat perintah penangkapan tersebut dalam sebuah unggahan di platform media sosial X, menyebutnya sebagai “upaya pencitraan” oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Dia mengatakan Israel “menolak keras” langkah tersebut.
Erdogan merupakan salah satu kritikus terkuat Israel selama kampanye militernya di Gaza, yang dimulai setelah serangan Hamas pada 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel, menurut pejabat Israel.
Otoritas kesehatan Palestina mengatakan lebih dari 68.000 orang telah tewas di Gaza sejak saat itu, dan sebagian besar area di wilayah kantong tersebut telah hancur lebur.
Turki juga berperan sebagai salah satu negara penjamin untuk perjanjian gencatan senjata di Gaza yang dicapai bulan lalu.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

Teheran, aktual.com – Juru Bicara (Jubir) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Iran Esmaeil Baghaei pada Jumat (7/11) mengatakan Amerika Serikat (AS) harus bertanggung jawab atas “keterlibatan langsungnya” dalam serangan udara Israel ke Iran pada Juni lalu.
Dalam sebuah unggahan di media sosial X, Baghaei menanggapi pernyataan Presiden AS Donald Trump, yang pada Kamis (6/11) mengatakan dirinya “bertanggung jawab penuh” atas serangan awal Israel ke Iran, yang bertentangan dengan klaim sebelumnya dari Washington bahwa Israel bertindak sendiri.
“Israel menyerang terlebih dahulu. Serangan itu sangat, sangat kuat. Saya bertanggung jawab penuh atas hal itu,” ujar Trump kepada awak media di Gedung Putih.
Baghaei mengutip pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Marco Rubio pada 13 Juni, ketika Rubio membantah keterlibatan AS dalam serangan itu dan menyebutnya sebagai tindakan “sepihak” Israel. Baghaei menyebut pernyataan itu merupakan “kebohongan besar.”
“Sejak awal, sudah jelas bahwa AS merupakan partisipan penuh dalam kejahatan agresi Israel terhadap bangsa Iran,” katanya, seraya menyerukan Washington untuk bertanggung jawab atas “pelanggaran terang-terangan dan kejahatan keji ini.”
Israel melancarkan serangan udara berskala besar pada 13 Juni yang menargetkan sejumlah lokasi di Iran, termasuk fasilitas nuklir dan militer, menewaskan komandan senior, ilmuwan, serta warga sipil, menurut pihak berwenang Iran. Iran membalas dengan gelombang serangan roket dan drone terhadap Israel.
Militer AS kemudian menyerang situs nuklir Iran di Natanz, Fordow, dan Isfahan pada 22 Juni, sebelum gencatan senjata antara Iran dan Israel mulai berlaku pada 24 Juni setelah konflik selama 12 hari.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain