29 Desember 2025
Beranda blog Halaman 273

Lengkap Setahun, Menteri di Kabinet Prabowo Gibran Dapat Nilai Rendah dari Publik

Sidang Kabinet Paripurna (SKP) di Istana Negara, Jakarta, Senin, 20 Oktober 2025, Aktual/BPMI.SETNEG

Jakarta, aktual.com – Satu tahun sudah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berjalan. Namun bukannya menuai pujian, hasil survei terbaru dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) justru menunjukkan penilaian publik yang mengecewakan dan penuh kritik.

Dalam survei nasional terhadap 1.338 responden dan 120 jurnalis dari 60 media nasional, CELIOS mencatat mayoritas publik menilai kinerja pemerintahan jauh dari harapan. Rata-rata nilai kinerja nasional hanya 3 dari 10 untuk Presiden Prabowo dan 2 dari 10 untuk Wapres Gibran — mencerminkan penurunan tajam dari ekspektasi tinggi pasca-pelantikan pada 20 Oktober 2024.

“Publik melihat banyak kebijakan yang tidak berpihak pada kebutuhan nyata rakyat, sementara komunikasi dan transparansi pemerintah semakin tertutup,” ujar peneliti CELIOS, Media Wahyu Askar, dalam keterangannya di Jakarta.

Temuan CELIOS menggambarkan krisis kepercayaan publik di hampir semua sektor tersebut seperti kinerja pemerintah buruk sekitar 72%. Ada juga dalam kebijakan tidak sesuai kebutuhan rakyat sekitar 80%, transparansi anggaran 81% serta komunikasi pemerintah yang dinilai sangat buruk sekitar 91%.

Dalam aspek hukum, 75% responden menyebut penegakan hukum makin tumpul, dan 43% menilai pemberantasan korupsi tidak efektif.
Sementara itu, reformasi sektor keamanan dinilai mandek, dengan Polri dan TNI masing-masing hanya meraih nilai 2 dan 3 dari 10. Publik juga menganggap aparat masih represif dalam penanganan persoalan sosial.

Sektor ekonomi menjadi salah satu bidang paling disorot.
Sebanyak 84% responden merasa pajak dan pungutan makin memberatkan, sementara bantuan ekonomi dianggap tidak menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
CELIOS juga menyoroti ketimpangan antara kebijakan fiskal dan realitas ekonomi rakyat yang semakin melebar, memperlihatkan ketidakseimbangan antara ambisi pembangunan dan kesejahteraan sosial.

“Ada kesan bahwa pemerintah sibuk dengan proyek besar, sementara dapur rakyat kecil semakin panas,” tulis laporan CELIOS.

Survei ini juga menemukan tingginya keinginan publik untuk perombakan kabinet.
Sebanyak 96% responden mendukung reshuffle kabinet, dan 98% setuju agar jumlah kementerian dipangkas demi efisiensi.
Publik menilai banyak menteri tidak menunjukkan kinerja nyata, bahkan cenderung menjadi beban politik bagi pemerintahan.

CELIOS menilai hasil ini sebagai “peringatan keras” bagi Presiden Prabowo untuk segera melakukan koreksi besar-besaran terhadap arah kebijakan dan tata kelola pemerintahan, terutama di bidang ekonomi dan hukum yang paling banyak menuai kritik.

Jika setahun pertama menjadi tolok ukur konsolidasi kekuasaan, maka hasil survei CELIOS adalah sinyal krisis kepercayaan paling serius dalam sejarah pemerintahan pasca-reformasi.
Rapor merah di semua lini menandakan defisit legitimasi publik, sesuatu yang berpotensi mengguncang stabilitas politik jangka menengah.

Kegagalan komunikasi publik, lemahnya koordinasi antarkementerian, dan kebijakan ekonomi yang dinilai “tidak membumi” bisa menjadi bumerang politik bagi Prabowo–Gibran jika tidak segera dibenahi.

Apalagi, dukungan reshuffle hampir menyentuh angka mutlak — menunjukkan rakyat tidak hanya menuntut evaluasi, tetapi juga tindakan nyata dan perubahan arah kebijakan.

Berikut daftar 10 menteri dengan kinerja terburuk versi publik selama satu tahun kepemimpinan Prabowo Gibran:

  1. Bahlil Lahadalia – Menteri ESDM (-151 poin )
  2. Dadan Hindayana – Kepala Badan Gizi Nasional (-81 poin )
  3. Natalius Pigai – Menteri HAM (-79 poin)
  4. Raja Juli Antoni – Menteri Kehutanan (-56 poin)
  5. Fadli Zon – Menteri Kebudayaan (-36 poin)
  6. Widiyanti Putri Wardhana – Menteri Pariwisata (-34 poin)
  7. Zulkifli Hasan (Zulhas) – Menko Bidang Pangan (-22 poin)
  8. Budiman Sudjatmiko – Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (-14 poin)
  9. Yandri Susanto – Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (-10 poin)
  10. Nusron Wahid – Menteri Agraria dan Tata Ruang (-7 poin)

Setahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran menjadi ujian kepemimpinan yang keras.
CELIOS telah memberi cermin: rakyat masih menunggu bukti, bukan janji.
Kini, bola ada di tangan Presiden. Apakah ia akan menjawab kritik dengan tindakan korektif, atau membiarkan “rapor merah” ini menjadi catatan sejarah awal kepemimpinannya?

 

KPU Terbang dengan Jet Mewah, Etika Pemilu Jatuh di Landasan

Logo Komisi Pemberantasan Korupsi. HO

Jakarta, aktual.com –  Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akhirnya menjatuhkan sanksi teguran keras kepada Ketua, empat anggota, serta Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, setelah terbukti menyalahgunakan penggunaan private jet senilai Rp90 miliar dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.

Keputusan DKPP ini sontak memantik tanda tanya publik: bagaimana mungkin lembaga yang seharusnya menjunjung asas integritas, efisiensi, dan akuntabilitas, justru terperangkap dalam praktik yang mencoreng etika penyelenggara pemilu?

Dalam sidang etik, anggota majelis DKPP, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, membeberkan fakta mencengangkan. KPU diketahui menyewa pesawat jet pribadi jenis Embraer Legacy 650 dalam dua tahap: tahap pertama senilai Rp65,4 miliar, dan tahap kedua Rp46,1 miliar, dengan selisih anggaran yang tidak kecil—mencapai Rp19,2 miliar.

Ironisnya, pesawat mewah tersebut seharusnya digunakan untuk memantau distribusi logistik ke wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Namun hasil pemeriksaan menunjukkan, dari 59 kali penerbangan, tak satu pun diarahkan ke wilayah 3T. Sebaliknya, penerbangan justru digunakan untuk kegiatan internal seperti bimbingan teknis, penyerahan santunan, hingga perjalanan ke Jawa Timur, Bali, dan Kalimantan Selatan.

“Dari total 59 kali perjalanan, tidak satu pun digunakan untuk kegiatan distribusi logistik. Private jet justru dipakai untuk keperluan lain,” ungkap Anggota DKPP Ratna Dewi Pettalolo, yang menegaskan bahwa tindakan tersebut melanggar asas efisiensi sebagaimana diatur dalam kode etik penyelenggara pemilu.

DKPP menilai tindakan para komisioner tidak dapat dibenarkan secara etika, apalagi mengingat pilihan pesawat yang “eksklusif dan mewah”. Teguran keras pun dijatuhkan kepada Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin, empat anggota KPU (Idham Holik, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, August Mellaz) serta Sekjen Bernard Dermawan Sutrisno.

Sanksi “teguran keras” yang dijatuhkan DKPP memang terdengar tegas secara redaksional, namun lemah secara substantif. Dengan anggaran publik sebesar Rp90 miliar, pelanggaran ini tidak sekadar persoalan administrasi—melainkan indikasi krisis moralitas dan akuntabilitas di tubuh lembaga penyelenggara pemilu.

Bagi publik, kasus ini menimbulkan ironi mendalam: di saat banyak petugas KPPS gugur dalam tugas karena kelelahan dan keterbatasan fasilitas, para elit penyelenggara justru “terbang nyaman” dengan jet pribadi atas biaya negara.

Dalam konteks etika penyelenggaraan pemilu, pelanggaran ini bukan sekadar “kesalahan teknis”, melainkan bentuk penyimpangan nilai dasar: efisiensi, kesederhanaan, dan integritas. Teguran keras tanpa konsekuensi struktural dapat menimbulkan preseden buruk—bahwa pelanggaran bernilai miliaran rupiah bisa diselesaikan dengan “peringatan moral”.

Publik tentu menanti langkah lanjutan dari lembaga pengawasan keuangan dan penegak hukum. Sebab, jika sanksi etik berhenti di teguran, maka kepercayaan rakyat terhadap independensi dan kredibilitas penyelenggara pemilu bisa benar-benar jatuh.

SOROTAN: Rp234 Triliun yang Tidur di Bank

Uang memang tidak pernah tidur, kecuali kalau ia disandera oleh kebijakan yang lamban dan birokrasi yang takut mengambil risiko. Di atas kertas, pembangunan daerah telah dibiayai. Namun di rekening bank, uangnya justru diam. Data Bank Indonesia menunjukkan, hingga akhir September 2025, dana pemerintah daerah yang mengendap di perbankan mencapai Rp234 triliun.

Bank Indonesia akhirnya buka suara. Mereka menyebut angka itu bukan tuduhan, tapi hasil laporan rutin bulanan dari perbankan yang telah diverifikasi dan disampaikan ke publik secara agregat.

Namun, suara dari daerah justru beragam. Ada kepala daerah yang membantah angkanya sebesar itu. Misalnya, dari Jawa Barat disebutkan ada Rp4,1 triliun yang mengendap, padahal menurut Gubernur Jabar Dedi Mulyadi, dana yang ada hanya sekitar Rp3,8 triliun dan berada dalam bentuk kas giro daerah, bukan deposito. Perselisihan data ini menunjukkan bahwa yang mengendap bukan hanya uang, tapi juga komunikasi fiskal antara pusat dan daerah.

Kementerian Keuangan menilai penumpukan dana ini bukan karena kelebihan uang, melainkan karena belanja daerah yang berjalan lambat. Proyek belum siap, perencanaan belum matang, lelang belum tuntas, sementara transfer dana dari pusat sudah lebih dulu turun. “Dananya sudah ada, segera digunakan,” ujar Wakil Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan pesan sederhana tapi tajam.

Faktanya, uang yang terlalu lama parkir di bank akan kehilangan fungsi sosialnya. Ia tidak membangun jalan, tidak memperbaiki sekolah, tidak menambah dokter di puskesmas. Padahal, setiap rupiah yang tersimpan pasif berarti peluang kerja yang tertunda, pertumbuhan ekonomi yang terhambat, dan pelayanan publik yang tertahan.

Tentu tidak semua dana yang tersimpan di bank bisa disebut ‘uang tidur.’ Sebagian adalah kas rutin untuk gaji pegawai atau kebutuhan darurat. Uang sebesar itu mencerminkan ketimpangan antara niat anggaran dan kemampuan mengeksekusi. Pemerintah daerah tampak lebih pandai merencanakan daripada merealisasikan.

Yang lebih ironis, sebagian dana itu ditempatkan bukan di bank daerah, melainkan di perbankan nasional besar di Jakarta. Akibatnya, uang daerah tidak benar-benar berputar di daerah.

Likuiditasnya mengalir ke pusat, sementara ekonomi lokal tetap lesu. Ini adalah paradoks pembangunan desentralistik yang kehilangan arah, dana desentralisasi, tapi manfaatnya tersentralisasi.

Fenomena ‘uang tidur’ ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan cerminan lemahnya disiplin fiskal daerah. Kepala daerah perlu ditantang untuk membelanjakan anggaran secara produktif, bukan sekadar menunggu akhir tahun demi mengejar serapan anggaran kosmetik.

Di sisi lain, pemerintah pusat lewat Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, harus berani menegakkan akuntabilitas, mana daerah yang efisien, mana yang abai. Transparansi data per daerah dan kategori dana (kas, deposito, BLUD, investasi) wajib dibuka untuk publik.

Karena uang publik seharusnya bekerja, bukan tidur di rekening. Bila dana sebesar Rp234 triliun hanya jadi angka di dashboard, maka pembangunan akan terus tersandera oleh ketakutan birokrasi dan budaya menunda. Dan ketika uang berhenti bergerak, bukan hanya pembangunan yang berhenti, tapi kepercayaan publik ikut membeku.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto

Bapanas Tegas Ancam Pidana Jika Mainkan Harga Beras

Makassar, aktual.com – Direktur Pengawasan Penerapan Standar Keamanan dan Mutu Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Hermawan menegaskan, bila ada orang yang memainkan harga beras, label maupun mutu beras atau bertindak curang, diancam kena sanksi pidana dan denda miliaran.

“Bagaimana dengan label, jika informasi pada label tidak sesuai isi, itu bisa pidana. Mutu pun demikian, bila hasilnya lab tidak sesuai,” katanya menegaskan kepada wartawan seusai rapat koordinasi pengendalian harga beras di Baruga Lappo Ase Bulog, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (22/10).

Ia menjelaskan, mekanisme pemeriksaan label maupun mutu beras dilakukan di laboratorium selama 14 hari. Hal ini guna memastikan benar atau tidak mutu beras yang dipasarkan, apakah jenis premium sesuai kemasan serta mutunya atau medium.

“Itu batas maksimal 15 persen patahannya (beras premium). Dan 16 persen itu sudah masuk kategori medium. Banyak kasus di Jakarta kemarin itu karena beras medium di jual sebagai premium,” tuturnya mengungkapkan.

Kendati demikian, sejauh ini kata dia, agar suasana tidak ricuh dan ribut, bagi para pelanggar yang ditemukan diberikan teguran tertulis terlebih dahulu, bila masih nakal dan mengulang, sanksinya pencabutan izin.

“Kami ingin menjaga suasana harmonis. Tapi, kita (sanksi berat) terakhir adalah penegakan hukum pidana (berbuat curang). Ada Undang-undang Perlindungan Konsumen, itu lima tahun penjara dan denda di atas Rp5 miliar,” papar dia menekankan.

Selain itu, Kepala Bapanas RI sekaligus menjabat Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, lanjut Hermawan, sebelumnya menemukan hal-hal yang janggal saat sidak di pasaran serta melihat banyak masyarakat tertipu.

“Ternyata, hasil pemeriksaan Pak Mentan, mutu beras yang di jual premium harusnya di jual medium. Dari situlah kita mulai bergerak penyelidikan, kemudian naik ke penyidikan, setelah itu baru ada penetapan tersangka kemarin, 36 orang di Bareskrim,” ucapnya.

Meski demikian, ungkap dia, tidak menutup kemungkinan beberapa daerah lain di Indonesia melakukan praktik serupa. Dan rata-rata terjadi di daerah non sentra produksi. Tetapi, untuk wilayah Sulsel yang menjadi sentra produksi, masih aman karena stok cukup.

Pihaknya kembali menegaskan, bila ada orang-orang baik itu pejabat pemerintah daerah, personil TNI maupun Polri ikut terlibat memainkan pangan beras, juga dilaksanakan penindakan dengan sanksi hukum pidana sama.

“Jika ada oknum pemerintah daerah, TNI, atau Polri yang ikut terlibat dalam perdagangan dengan pelanggaran yang sama, sanksinya sama seperti lainnya. Kita tidak boleh bedakan, itu jalan terakhir,” katanya.

“Tentu kalau oknum TNI (diproses) di Peradilan Militer (POM). Dan untuk oknum polisinya di pidana umum, sama dengan masyarakat yang lain. Satu dua minggu ke depan (sanksi) masih administratif. Tapi, kalau tidak diindahkan, baru kami ke proses penyelidikan untuk penegakan hukum,” katanya dengan tegas.

Mengenai dengan aturan Harga Eceran Tertinggi (HET), Hermawan menambahkan, masih tahap pembukaan dan sosialisasi. Tetapi, Bapanas telah mengirimkan surat teguran kepada sejumlah produsen dan pedagang menjual beras di atas HET. Karena berasnya lokal, surat teguran diberikan oleh OKKPD setempat.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Kontekstualisasi Nilai Pesantren untuk Jawab Tantangan Zaman

Jakarta, aktual.com – Pesantren dituntut untuk melakukan kontekstualisasi terhadap nilai-nilai yang hidup di lembaga pendidikan khas nusantara. Di samping itu, komunitas pesantren secara atraktif perlu menjawab tantangan yang muncul di era digital ini.

Hal tersebut dinyatakan oleh Menteri Agama Periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin, saat menjadi pembicara dalam Seminar Hari Santri dan Bedah Buku Karya Dr. Suwendi, M.Ag, bertema “Rekonstruksi Narasi Pesantren: Analisis Kritikal Media Massa dan Implikasinya Terhadap Identitas Santri” yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta, Rabu (22/10/2025).

Hadir sebagai narasumber Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI 2014-2019, Prof. Dr. H. Husni Rahim, M.A., Guru Besar Politik Pendidikan UIN Jakarta, dan H. Mauludin Anwar, Pengasuh Pesantren Kaligrafi dan Eks Produser Metro TV dan GM Produksi Berita Liputan 6 SCTV.

Lukman Hakim Saifuddin lebih lanjut mengatakan kontekstualisasi nilai pesantren menjadi kebutuhan mendesak yang mesti segera dilakukan. Nilai yang merupakan ruh pesantren itu berasal dari keluhuran para pendahulu pesantren seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, persaudaraan dan kebebasan. “Tantangan kita saat ini bagaimana mengkontekstualisasi ruhul ma’had atau spirit pesantren agar tetap relevan dan memiliki urgensi yang tinggi,” ujar Lukman.

Lebih lanjut Lukman mengatakan transformasi pesantren tetap berpijak pada menjaga eksistensi jati diri pesantren terhadap nilai-nilai yang tumbuh di pesantren termasuk menjaga independensi pesantren hal yang tidak bisa ditawar. “Menjaga eksistensi jati diri pesantren dan menjaga kemandirian pesantren merupakan hal yang tidak boleh ditinggalkan. Negara juga tidak boleh terlalu jauh mencampuri otonomi pesantren,” ingat Lukman.

Tak luput Lukman juga mengomentari peristiwa belakangan mengenai pemberitaan oleh media massa terhadap pesantren. Menurutnya, reaksi yang muncul dari kalangan santri dapat memakluminya, meskipun ia mengingatkan agar reaksi tidak berlebihan. “Saya khawatir ada pihak lain yang menungganginya,” tambah Lukman.

Sementara dalam kesempatan yang sama Guru Besar Politik Pendidikan UIN Jakarta, Prof. Husni Rahim, mengatakan identitas pesantren seperti islami, populis, beragam, berkualitas, unggul, religiusitas, sains dan akhlah melekat pada profil pesantren di Indonesia. “Kita harus bangga dengan keunggulan pesantren,” ingat Husni.

Kendati demikian, ia juga mengingatkan kritik dan masukan terhadap pengembangan pesantren patut menjadi perhatian kalangan pesantren. Ia menyebutkan seperti soal literasi digital serta persoalan ekologi menjadi catatan yang patut ditindaklanjuti. “Kritik terhadap pengembangan pesantren tidak boleh diabaikan,” tambah Husni.

Sementara pegiat media Mauludin Anwar mengatakan framing dan narasi negatif yang ditujukan terhadap pesantren mesti direspons dengan produksi tandingan oleh kalangan pesantren. Dia mendorong narasi yang kontekstual dan inspiratif akan efektif menjawab pembingkaian negatif dari media. “Rebut kembali tafsir pubik atas pesantren. Santri bukan obyek tapi subyek. Kuncinya, santri harus melek digital,” tegas Mauludin.

Sementara itu, penulis buku Dr. Suwendi, M.Ag mengatakan media massa memiliki pengaruh besar dalam membentuk citra diri dan persepsi sosial terhadap eksistensi santri. Identitas santri, yang semula dibangun melalui nilai-nilai keikhlasan, kedalaman ilmu, dan ketundukan spiritual, kini bersinggungan dengan konstruksi identitas digital yang lebih visual, instan, dan performatif.

Oleh karenanya, lanjut Suwendi yang aktif sebagai dosen Sekolah Pascasarjana sekaligus Ketua Program Studi Pendidikan Agam Islam, menyatakan bahwa rekonstruksi narasi pesantren melalui analisis kritikal media massa merupakan ikhtiar untuk mengembalikan identitas santri sebagai agen perubahan yang berpijak pada nilai keilmuan, spiritualitas, dan kemanusiaan universal.

“Buku-buku yang dibedah ini sejatinya ingin merumuskan strategi kultural dan edukatif dalam merekonstruksi narasi pesantren yang lebih otentik, berimbang, dan mencerminkan nilai-nilai keilmuan Islam rahmatan lil ‘alamin”, ungkap Suwendi. Dengan demikian, rekonstruksi narasi pesantren bukanlah upaya defensif terhadap stigmatisasi media, melainkan langkah afirmatif dalam membangun kesadaran publik bahwa pesantren merupakan pusat peradaban Islam Nusantara yang berakar pada tradisi keilmuan, tetapi juga terbuka terhadap perubahan zaman.

Terdapat tujuh buku karya Dr. Suwendi, M.Ag yang dibedah, yang terdiri atas (1) Detik-detik Penetapan Hari Santri, (2) Sejarah dan Kebijakan Pendidikan Islam Indonesia, (3) Kecendekiaan Digital (Digital Scholarcy) Dosen Kampus Islam, (4) Pemikiran Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari, (5) Integrasi Ilmu Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (6) Pendidikan Islam Indonesia: Mengurai Masalah, Solusi, dan Kebijakan, dan (7) Moderasi Beragama dan Layanan Keagamaan: Gagasan dan Respon Kebijakan.

Kegiatan Hari Santri dan Bedah Buku Karya Dr. Suwendi, M.Ag, ini dihadiri oleh Wakil Rektor UIN Jakarta Bidang Kelembagaan dan Kerjasama, Din Wahid, serta Bidang Administrasi Umum, Prof Imam Subchi, Dekan FITK UIN Jakarta, Prof. Siti Nurul Azkiyah, M.Sc., Ph.D, dosen dan ratusan mahasiswa program sarjana dan pascasarjana UIN Jakarta.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Temui KPK, Nusron Wahid Bongkar ‘Penyakit’ di Tubuh Kementerian ATR/BPN

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid dalam pembukaan Rapat Koordinasi Pencegahan dan Penyelesaian Tindak Pidana Pertanahan di Jakarta, Kamis (14/11/2024). (ANTARA/Aji Cakti)

Jakarta, aktual.com – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (22/10). Kedatangan Nusron bukan untuk memberikan keterangan terkait kasus tertentu, melainkan untuk melakukan koordinasi dan meminta masukan dalam upaya memperbaiki sistem pelayanan publik di instansinya.

“Pertama, membahas masalah rencana satu transformasi pelayanan publik di lingkungan ATR BPN. Mulai dari satu penerbitan sertifikat baru, peralihan hak, pemecahan sertifikat, kemudian hak tanggungan,” kata Nusron.

Nusron menegaskan bahwa sebagian besar tugas di kementeriannya merupakan pelayanan publik, dan hal tersebut rentan akan pungutan liar (Pungli).

“Kan di tempat kami ini kan 80% kan pelayanan publik. Namanya pelayanan publik itu dimana-mana, termasuk di tempat saya isunya dua. Lama waktunya gak terukur, dan ono punglinya,” ujarnya.

Menurutnya, kedatangan ke KPK dimaksudkan untuk membedah bersama berbagai persoalan yang menghambat pelayanan publik agar bisa segera dibenahi. Ia ingin minta masukan, dan berkoordinasi, supaya ke depan pelayanannya lebih cepat, bersih, tapi tetap akurat, kompatibel, dan prudent.

“Sehingga ke depan tidak ada celah untuk digugat orang lagi,” tambahnya.

Selain itu, Nusron juga membahas persoalan alih fungsi lahan yang terus terjadi, terutama di Pulau Jawa. Ia menilai, lahan sawah produktif harus dijaga demi mendukung program ketahanan pangan nasional.

“Lajunya perumahan butuh lahan. Dan rata-rata baik industri, kemudian perumahan, pemukiman, pariwisata, Macem-macemlah. Itu yang disasar adalah sawah,” ungkapnya.

Nusron mengingatkan bahwa hilangnya lahan pertanian dapat berdampak pada menurunnya produksi pangan dan berujung pada meningkatnya impor. Padahal pada satu sisi Presiden Prabowo Subianto mempunyai program ketahanan pangan.

“Kalau sawahnya hilang habis makan, produksi pangannya berkurang. Nah, kalau produksi pangan berkurang, nanti kita impor lagi.Jadi kami minta koordinasi, yuk bantu kawal kami sama-sama menahan laju alih fungsi lahan,” katanya.

Masalah lain yang dibahas ialah tumpang tindih sertifikat tanah yang sering kali menjadi sumber sengketa di berbagai wilayah, terutama Jabodetabek. Menurutnya, sudah menjadi rahasi umum tumpang tindih kepemilikan tanah. Terlebih di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), sertifikat sebuah lahan bisa dimiliki lebih dari satu orang.

“Jabodetabek ini ada lahan yang satu numpuk satu tanah, sertifikatnya empat-empat, tiga, dua, itu kan banyak. Nah, apalagi kalau kemudian ada pembebasan jalan tol, konsinyasi di pengadilan, itu yang punya pada muncul. Saya punya girik ini, saya punya ini, saya punya ini. Itu banyak sekali. Nah, ini kan menandakan bahwa dulu-dulunya kan administrasinya nggak baik,” jelasnya.

Ia menegaskan pentingnya pembenahan sistem administrasi pertanahan agar persoalan tersebut tidak terus berulang. “Nah, kita ke depan menata sistem administrasi pertanahan di Indonesia yang jauh lebih baik sudah ke depan nggak muncul lagi isu tumpang tindih,” tuturnya.

Dari hasil diskusi yang berlangsung sekitar dua jam, Nusron menyebut ada dua hal utama yang menjadi kesimpulan. “Kami di sini diskusi membedah mencari anatomi penyakit di tubuh ATR/BPN. Yang penyakit itu berpotensi menimbulkan tindakan korupsi. Yang nomor dua, kami bersama-sama mencarikan obat dan dokter yang mujarab untuk mengatasi. Dokternya apa? Obatnya apa? Sistem. Dokternya siapa? SDM yang punya integritas,” pungkasnya.

Penulis: Achmat

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Berita Lain