26 Desember 2025
Beranda blog Halaman 276

BMKG Sebut Mayoritas Kota Besar di Indonesia Berpotensi Hujan Ringan

Pengendara sepeda motor menerobos hujan di kawasan Senopati, Jakarta,
Pengendara sepeda motor menerobos hujan di kawasan Senopati, Jakarta,

Jakarta, aktual.com – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan mayoritas kota besar di Indonesia berpotensi hujan ringan pada Selasa (21/10).

Prakirawan Cuaca BMKG Satriana Roguna dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa di Pulau Sumatera, awan tebal diperkirakan di wilayah Banda Aceh dan Padang, serta di Medan dan Pekanbaru diperkirakan terjadi hujan ringan.

Satriana mengingatkan akan adanya potensi hujan yang dapat sertai dengan petir untuk wilayah Tanjung Pinang. Dia menyebutkan, awan tebal diperkirakan di wilayah Bengkulu dan Jambi, sedangkan untuk wilayah Palembang dan Pangkal Pinang diperkirakan terjadi hujan ringan.

“Waspada adanya potensi hujan yang dapat disertai dengan petir untuk wilayah Bandar Lampung,” katanya.

Di Pulau Jawa, diperkirakan terjadi hujan ringan untuk wilayah Jakarta, Serang, dan Semarang. Sedangkan untuk wilayah Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya diperkirakan terjadi hujan sedang.

Adapun untuk Pulau Bali dan Nusa Tenggara, diperkirakan berawan tebal untuk wilayah Kupang, sedangkan untuk wilayah Denpasar diperkirakan terjadi hujan sedang. Dia mengingatkan untuk mewaspadai potensi hujan disertai petir di wilayah Mataram.

Untuk Pulau Kalimantan, diperkirakan terjadi hujan ringan untuk wilayah Tanjung Selor, Samarinda, dan Palangkaraya. Sedangkan untuk wilayah Banjarmasin, diperkirakan terjadi hujan sedang.

“Waspada adanya potensi hujan yang dapat disertai dengan petir untuk wilayah Pontianak,” katanya.

Kemudian, untuk Pulau Sulawesi, diperkirakan hujan ringan untuk wilayah Palu, Gorontalo, Manado, dan Kendari. Sedangkan untuk wilayah Mamuju dan Makassar diperkirakan terjadi hujan sedang.

Untuk wilayah Indonesia bagian timur, diperkirakan udara kabur untuk wilayah Merauke. Sedangkan untuk wilayah Ternate, Ambon, Manokwari, Nabire, Jayawijaya, dan Jayapura diperkirakan terjadi hujan ringan, serta wilayah Sorong diperkirakan hujan sedang.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Whoosh: Cepat, Tapi Belum Dekat

Presiden RI Prabowo Subianto saat duduk menggunakan kereta cepat "Whoosh" saat bertolak menuju Bandung, Jawa Barat, Rabu malam. Aktual/TIM MEDIA PRESIDEN PRABOWO SUBIANTO

Jakarta, aktual.com – Kereta cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) menandai babak baru dalam sejarah transportasi Indonesia. Lintasan 142 kilometer itu memangkas waktu tempuh menjadi 45 menit, dengan kecepatan hingga 350 kilometer per jam. Sebuah lompatan teknologi yang patut dibanggakan.

Namun, di balik prestise nasional itu, terselip pertanyaan mendasar: bisakah kecepatan tinggi ini berujung pada sesuatu yang lebih penting—keberlanjutan? Tak sekadar soal ketangguhan teknologi, melainkan juga manfaat ekonomi dan jangkauan sosialnya bagi masyarakat. Sebab, infrastruktur kelas dunia hanya bermakna bila benar-benar terhubung dengan kebutuhan riil warganya.

Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, sejak awal kehadiran Whoosh lebih mencerminkan ambisi simbolik ketimbang kebutuhan mobilitas yang mendesak. Ia muncul bukan karena adanya krisis transportasi Jakarta-Bandung, melainkan dari dorongan untuk membuktikan bahwa Indonesia setara dengan bangsa-bangsa maju pemilik kereta cepat.

Pencapaian teknologinya memang patut diapresiasi. Namun tanpa pemahaman utuh tentang kebiasaan bepergian masyarakat, kecepatan fantastis itu justru berpotensi sia-sia. Konsekuensinya, pertumbuhan penumpangnya pun berjalan lambat—sebuah ironi yang justru bertolak belakang dengan semangat akselerasi yang diusung. Lantas, ke mana perginya para calon penumpang yang tidak tertarik ini?

Cepat Tapi Tak Praktis

Nyatanya, Whoosh hadir dengan segmentasi yang jelas: bukan untuk semua kalangan. Tarif premium dan lokasi stasiun yang jauh dari pusat kota—ditambah integrasi antarmoda yang masih terbatas—membuatnya lebih cocok untuk segmen tertentu.

Tak heran bila para pelaju harian tetap setia pada travel/shuttle atau bus antarkota. Alasannya sederhana: selain lebih terjangkau, pilihan moda tersebut menawarkan fleksibilitas jadwal dan layanan door-to-door yang memberikan kepraktisan yang sulit tergantikan.

Di sisi lain, pengguna mobil pribadi juga belum banyak beralih. Daya tarik utama tetap pada kebebasan mobilitasnya: bisa berangkat sesuka waktu, mampir di mana saja, serta membawa barang tanpa batasan. Tawaran 45 menit di atas rel pun terasa kurang menggiurkan ketika dihadapkan pada tarif tinggi, waktu tunggu, dan kerepotan akses menuju stasiun.

Yang ironis, kecepatan tinggi Whoosh itu pun kehilangan makna ketika perjalanan dihitung dari rumah hingga tujuan akhir—total perjalanan justru kerap tak jauh beda dengan berkendara pribadi.

Bukan APBN, Tapi Tetap Publik

Fakta di lapangan menunjukkan jumlah penumpang Whoosh masih jauh dari target. Kerugian operasional pun tak terelakkan. Menteri Keuangan memang bersikukuh bahwa beban ini bukan tanggungan APBN, melainkan sepenuhnya berada di pundak korporasi. Namun realitanya lebih kompleks.

Sebagai konsorsium yang didominasi BUMN, kerugian Whoosh pada akhirnya berpotensi berdampak tidak langsung pada publik. Misalnya mulai dari tertundanya proyek strategis lain yang lebih mendesak, hingga permohonan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk menutupi defisit.

Dampaknya bisa merambat ke berbagai sisi. Kualitas layanan berisiko stagnan, investasi baru terhambat, dan kepercayaan publik semakin terkikis. Dengan kata lain, meskipun negara berusaha menjaga jarak, gelombang efek finansial Whoosh pada akhirnya tetap akan sampai ke masyarakat—secara langsung maupun tidak.

Saat Whoosh Menjawab dengan Mutu

Meski dibayangi persoalan keekonomian, sisi lain Whoosh justru mencatatkan prestasi. Di balik berbagai sorotan kritis, mutu layanan Whoosh justru patut diacungi jempol. Kenyamanan kabin yang senyap, desain kursi yang ergonomis, hingga ketepatan jadwal menjadi penanda baru standar transportasi darat Indonesia.

Tak kalah penting, kesigapan awak dan keandalan operasionalnya membuktikan kemampuan negeri ini dalam mengelola teknologi mutakhir setara kelas dunia.

Dalam persepsi publik, Whoosh telah melampaui wujudnya sebagai sekadar kereta cepat. Ia menjelma menjadi simbol harapan bagi layanan publik yang lebih berkualitas. Citra positif inilah yang justru menjadi aset berharga di tengah tekanan finansial—sebuah modal sosial yang dapat dipertahankan, sambil menunggu aspek komersialnya sepenuhnya membaik.

Menjadikan Whoosh Lebih dari Sekadar Transportasi
Meski dibayangi tantangan finansial, Whoosh belum kehilangan harapan. Kunci utamanya terletak pada kemampuan pemerintah dan operator dalam merancang strategi jangka panjang yang adaptif.

Bukan sekadar mengejar break-even point, melainkan menciptakan nilai tambah berkelanjutan. Caranya: memperluas basis pengguna, menguatkan konektivitas antarmoda, serta mengoptimalkan potensi ekonomi di sekitar jalur dan kawasan stasiun. Dengan strategi tepat, Whoosh bisa menjadi lokomotif baru bagi pertumbuhan kawasan.

Untuk mewujudkan strategi tersebut, langkah pertama dan paling krusial adalah membenahi mata rantai yang selama ini terputus: konektivitas. Lokasi Halim dan Tegalluar memang bukan di jantung kota, namun itu seharusnya bukan masalah bila tersedia angkutan pengumpan yang nyaman, andal, dan terintegrasi.

LRT di Halim memang sudah beroperasi, tapi integrasinya masih jauh dari ideal. Waktu tunggu belum sinkron, informasi terbatas, dan proses berpindah moda masih terasa rumit bagi penumpang.

Jalur Jakarta–Bandung bukan sekadar koridor bisnis, tapi juga kawasan wisata yang terus berkembang. Inisiatif paket terpadu semacam “Whoosh + Glamping Lembang” atau “Whoosh + Heritage Trip Asia-Afrika” dapat menjadi magnet bagi segmen wisatawan urban yang mendambakan perjalanan singkat tanpa repot. Kelebihan utama Whoosh di sini jelas: mobilitas tinggi yang memampatkan waktu perjalanan tanpa mengorbankan kenyamanan.

Peluang serupa terbuka lebar di segmen korporasi. Kawasan Tegalluar bisa dikembangkan menjadi pusat konferensi terpadu. Rapat, pelatihan, hingga gathering perusahaan dapat dilakukan di Bandung tanpa perlu menempuh perjalanan jauh. Konsep “meeting out of town” ini menarik bagi perusahaan yang mengejar efisiensi sekaligus suasana kerja yang lebih segar dan inspiratif.

Jangan Biarkan Whoosh Jadi Barang Pajangan

Kritik terhadap Whoosh bukanlah bentuk penolakan, melainkan pengingat bahwa ada hal yang perlu dibenahi. Proyek ini tetap menyimpan masa depan cerah—asal tidak dibiarkan menjadi moda transportasi eksklusif yang cuma dinikmati segelintir kalangan atau sekadar jadi pengalaman sekali coba. Masa depan Whoosh pada akhirnya ditentukan oleh kemampuannya melayani kebutuhan riil para pelaju harian yang mengutamakan keandalan, kecepatan, dan keterjangkauan.

Tanpa langkah korektif yang berarti, Whoosh berisiko terjebak dalam statusnya sebagai sekadar monumen teknologi. Padahal, cita-cita besarnya justru terletak pada potensinya sebagai katalisator transformasi logistik dan pariwisata di Pulau Jawa—terutama bila jalurnya kelak membentang hingga Surabaya dan didukung oleh integrasi sistem logistik nasional yang lebih solid.

Whoosh tak boleh berhenti sebagai simbol kemajuan yang hanya bisa dinikmati dari kejauhan. Ia harus bergerak melampaui status proyek prestisius, dan menjelma menjadi moda andalan yang hadir dalam denyut kehidupan masyarakat sehari-hari.

Masa depan transportasi modern Indonesia bergantung pada keberanian untuk membenahi, mendekatkan, dan memanusiakan layanan publik—bukan sekadar membanggakan kecepatannya. Sebab bila tidak, Whoosh akan tinggal nama: cepat, canggih, tapi asing dari kebutuhan rakyat.

Oleh: MUHAMAD AKBAR, Pemerhati Transportasi

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Kualitas Udara Jakarta Terburuk Keenam di Dunia

Ilustrasi - Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, Kamis (6/3/2025). ANTARA FOTO/Fathul Habib Sholeh/sgd/Spt/pri.
Ilustrasi - Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, Kamis (6/3/2025). ANTARA FOTO/Fathul Habib Sholeh/sgd/Spt/pri.

Jakarta, aktual.com – Kualitas udara di Jakarta pada Selasa (21/10) pagi masuk kategori tidak sehat dan menduduki peringkat keenam sebagai kota dengan udara terburuk di dunia.

Berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir pada pukul 06.08 WIB, Indeks Kualitas Udara (AQI) di Jakarta berada di angka 163 atau masuk dalam kategori tidak sehat dengan polusi udara PM2.5 dan nilai konsentrasi 71,5 mikrogram per meter kubik.

Angka itu memiliki penjelasan tingkat kualitas udaranya tidak sehat bagi kelompok sensitif karena dapat merugikan manusia ataupun kelompok hewan yang sensitif atau bisa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika.

Situs tersebut juga merekomendasikan terkait kondisi udara di Jakarta, yaitu bagi masyarakat sebaiknya menghindari aktivitas di luar ruangan. Jika berada di luar ruangan gunakanlah masker, kemudian menutup jendela untuk menghindari udara luar yang kotor.

Sedangkan kategori baik, yakni tingkat kualitas udara yang tidak memberikan efek bagi kesehatan manusia atau hewan dan tidak berpengaruh pada tumbuhan, bangunan ataupun nilai estetika dengan rentang PM2,5 sebesar 0-50.

Kemudian, kategori sedang yakni kualitas udaranya yang tidak berpengaruh pada kesehatan manusia ataupun hewan tetapi berpengaruh pada tumbuhan yang sensitif dan nilai estetika dengan rentang PM2,5 sebesar 51-100.

Lalu, kategori sangat tidak sehat dengan rentang PM2,5 sebesar 200-299 atau kualitas udaranya dapat merugikan kesehatan pada sejumlah segmen populasi yang terpapar. Terakhir, berbahaya (300-500) atau secara umum kualitas udaranya dapat merugikan kesehatan yang serius pada populasi.

Kota dengan kualitas udara terburuk urutan pertama, yaitu Delhi (India) di angka 1111, urutan kedua Lahore (Pakistan) di angka 254, urutan ketiga Kalkota (India) di angka 213, urutan keempat Mumbai (India) di angka 187, dan urutan kelima Tashkent (Uzbekistan).

Adapun Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta meluncurkan platform perantau kualitas udara terintegrasi yang didukung 31 titik Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) tersebar di wilayah kota metropolitan tersebut.

Dari SPKU tersebut, kemudian data yang diperoleh ditampilkan melalui platform pemantau kualitas udara. Hal ini dibuat sebagai penyempurnaan dari yang sudah ada sebelumnya dan sesuai dengan standar yang berlaku secara nasional.

Laman ini juga menampilkan data dari 31 SPKU di Jakarta yang mengintegrasikan data dari SPKU milik DLH Jakarta, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), World Resources Institute (WRI) Indonesia dan Vital Strategies.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran: Antara Stabilitas dan Ujian Tata Kelola

Jakarta, aktual.com – Satu tahun sudah pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka berjalan. Dari Istana hingga jalanan pasar, dari pelaku usaha hingga masyarakat kecil, semua kini mulai menilai arah baru yang dibawa duet presiden dan wakil presiden termuda dalam sejarah republik ini.

Apakah perubahan besar yang dijanjikan mulai terasa? Atau justru stabilitas yang menjadi prestasi utama tahun pertama?

Ekonomi: Stabil, Tapi Belum Melonjak

Dari sisi makro, ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan 5,12% (yoy) pada Triwulan II-2025 dan 4,99% (c-to-c) sepanjang semester pertama. Data Badan Pusat Statistik (5 Agustus 2025) menunjukkan daya tahan ekonomi yang cukup baik di tengah gejolak global. Inflasi juga terkendali di 2,65% (yoy) per September 2025, menurut rilis BPS 1 Oktober 2025, mencerminkan stabilitas harga bahan pokok yang relatif terjaga.

Namun, di balik angka stabil itu, daya beli masyarakat belum meningkat signifikan. Kebijakan efisiensi fiskal melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025, yang memangkas belanja hingga Rp306,7 triliun, memberi sinyal disiplin fiskal, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran: jangan-jangan efisiensi besar justru menahan pergerakan ekonomi rakyat.

Kesejahteraan: Angka yang Membaik

Ada kabar baik dari front sosial. Tingkat kemiskinan turun menjadi 8,47% per Maret 2025, setara dengan 23,85 juta orang (BPS, 25 Juli 2025). Tingkat pengangguran terbuka (TPT) juga turun ke 4,76% per Februari 2025, level terendah sejak krisis 1998. Bahkan Indeks Gini membaik dari 0,381 (Sept 2024) menjadi 0,375 (Maret 2025).

Angka-angka ini menunjukkan kebijakan sosial mulai berdampak. Namun, pemerataan antarwilayah masih menjadi tantangan: Pulau Jawa tetap menyumbang porsi terbesar pertumbuhan, sementara wilayah timur masih tertinggal dari sisi pendapatan dan lapangan kerja.

Tata Kelola Fiskal: Disiplin dengan Risiko

Langkah efisiensi lewat Inpres 1/2025 merupakan gebrakan besar. Pemerintah mengklaim penghematan ini akan meningkatkan fokus pada program prioritas dan menekan pemborosan. Kementerian Keuangan dalam laporan 17 Oktober 2025 menyebut penguatan tata kelola fiskal sebagai capaian utama setahun pemerintahan.

Namun, kritik muncul karena pemangkasan drastis ini berpotensi menunda proyek-proyek pembangunan dan mengganggu layanan publik di daerah. Pemerintah harus membuktikan bahwa efisiensi ini bukan sekadar pemotongan anggaran, tetapi juga peningkatan produktivitas dan akuntabilitas birokrasi.

Program Makan Bergizi Gratis: Ambisi dan Kontroversi

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi simbol paling konkret dari janji kampanye Prabowo. Diluncurkan Januari 2025, program ini menargetkan 83 juta penerima, namun hingga Oktober 2025 baru menjangkau sekitar 70 juta orang dengan 11.000 dapur yang melayani 35,4 juta anak sekolah (Reuters, 16 Oktober 2025).

Kendala utama datang dari aspek logistik dan keamanan pangan. Serangkaian kasus keracunan—dari laporan AP (akhir September) hingga CNN Indonesia (19 September 2025)—menyebut lebih dari 5.000 anak terdampak, bahkan menurut Transparency International Indonesia (6 Oktober 2025) mencapai 9.413 kasus. Pemerintah menutup sekitar 40 dapur dan memperketat SOP makanan olahan.

Program ini menunjukkan niat baik dan dampak ekonomi besar—memicu produksi pangan lokal dan penyerapan tenaga kerja—namun sekaligus mengingatkan kita pada satu hal penting: governance matters. Skala besar tanpa pengawasan ketat justru bisa menimbulkan risiko sosial.

Hukum, Pers, dan Antikorupsi: Mixed Signals

Di bidang hukum dan tata kelola, sinyal yang muncul masih beragam. Indeks Persepsi Korupsi (CPI 2024) yang dirilis Januari 2025 mencatat skor 37/100, naik tiga poin dari tahun sebelumnya—sebuah indikasi bahwa upaya antikorupsi kembali dihidupkan. Presiden sendiri dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 2025 menegaskan komitmen melawan korupsi dan “serakahnomics”.

Namun, di sisi lain, kebebasan pers justru memburuk. Indonesia turun ke peringkat 127 dunia (RSF, 2025), merosot 16 posisi dibanding tahun sebelumnya. Kasus pencabutan kartu liputan wartawan CNN pada September lalu—meskipun akhirnya dipulihkan—menjadi simbol tarik-menarik antara kontrol dan kebebasan dalam era komunikasi politik baru.

Persepsi Publik: Antara Optimisme dan Kritik

Survei berbagai lembaga menunjukkan kontras menarik. Poltracking Indonesia (3–10 Oktober 2025) mencatat 78,1% responden puas terhadap kinerja Prabowo–Gibran. IndoStrategi (18–20 Oktober 2025) memberi nilai 3,07 dari 5, kategori “sedang menuju baik”.

Namun, CELIOS (20 Oktober 2025) justru memberikan rapor 3 dari 10, menyoroti lemahnya implementasi janji kampanye dan tata kelola program. Dua wajah survei ini menggambarkan dilema umum pemerintahan muda: narasi besar diterima publik, tapi hasil teknis masih dalam proses.

Refleksi

Setahun ini seolah menjadi ujian kedewasaan bagi Presiden Prabowo: bagaimana menyeimbangkan kekuatan militeristik dalam gaya kepemimpinan dengan kebutuhan manajemen sipil yang transparan. Stabilitas tercapai, tetapi reformasi birokrasi, digitalisasi layanan publik, dan pembangunan berkelanjutan masih menunggu langkah besar.

Seperti kata pepatah Latin: Festina lente—bergegaslah dengan tenang. Setelah satu tahun menanam fondasi, ujian sebenarnya baru dimulai: menjaga momentum agar stabilitas tidak berubah menjadi stagnasi.

Prof. Dr. Pius Lustrilanang
Komisaris Independen PT Aneka Tambang Tbk, Aktivis Reformasi 1998

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Presiden Prabowo Targetkan Indonesia Miliki Mobil Nasional dalam Tiga Tahun

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, memimpin rapat terbatas bersama sejumlah menteri Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka, Jakarta. Aktual/BPMI.SETPRES

JAkarta, aktual.com – Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menegaskan bahwa pemerintah telah memulai langkah awal untuk mewujudkan mobil buatan Indonesia dalam tiga tahun ke depan. Langkah ini menjadi bagian dari komitmen pemerintah untuk memperkuat industri manufaktur dan teknologi nasional.

“Saudara-saudara, ini belum merupakan prestasi, tapi sudah kita mulai rintis. Kita akan punya mobil buatan Indonesia dalam tiga tahun yang akan datang,” ujar Prabowo dalam pidato pengantar Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (20/10).

Presiden Prabowo mengungkapkan, pemerintah telah menyiapkan alokasi dana dan lahan untuk pembangunan pabrik yang akan memproduksi kendaraan dalam negeri. Ia menyebut bahwa tim pengembang sudah mulai bekerja untuk merealisasikan proyek mobil nasional ini.

Menurutnya, langkah ini merupakan lanjutan dari keberhasilan Indonesia dalam memproduksi kendaraan taktis ringan Maung, hasil karya PT Pindad, yang kini digunakan oleh pejabat dan perwira TNI.

“Sekarang pejabat-pejabat kita, perwira-perwira kita bangga karena tidak lagi memakai jip buatan negara lain. Mereka pakai jip buatan Indonesia sendiri,” kata Presiden.

Prabowo menegaskan bahwa penggunaan kendaraan buatan dalam negeri akan diperluas di lingkungan pemerintahan dan militer. Ia bahkan mengimbau agar para pejabat mulai membiasakan diri menggunakan kendaraan produksi nasional.

“Sebentar lagi, saudara-saudara harus pakai Maung semua. Mobil-mobil bagus pakai kalau libur saja,” ucapnya disambut tawa para peserta sidang.

Sidang Kabinet Paripurna kali ini juga memiliki suasana berbeda. Seluruh peserta, termasuk Presiden, Wakil Presiden, dan para menteri, mengenakan kemeja panjang berwarna cokelat, menggantikan kemeja putih yang biasa dipakai dalam sidang kabinet sebelumnya.

Sidang tersebut digelar tepat satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran, menandai momentum refleksi dan tekad pemerintah untuk mendorong kemandirian industri nasional.

Dengan rencana produksi mobil buatan sendiri, Indonesia diharapkan tak hanya menjadi pasar otomotif dunia, tetapi juga produsen yang mampu bersaing di tingkat global.

“Kita ingin bangsa ini berdiri di atas kaki sendiri. Kita bisa buat kendaraan sendiri, dan kita akan buktikan itu,” tegas Presiden Prabowo.

Satu Tahun Pemerintahan Prabowo, YLBHI: Kacaunya Pembentukan Produk Hukum

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyalami Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan Pangllima TNI Jenderal Agus Subiyanto saat Upacara Peringatan ke-79 Hari Bhayangkara di Monumen Nasional, Jakarta, pada Selasa, 1 Juli 2025. Aktual/DOK BPMI Setpres

Jakarta, Aktual.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai satu tahun Pemerintahan Prabowo Subianto menimbulkan kekacauan pembentukan peraturan perundang-undangan. Ketiadaan posisi DPR RI yang kritis dan partai oposisi semakin memperparah ugal-ugal Pemerintah dalam membuat peraturan perundang-undangan.

Demikian disampaikan Ketua YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangan pers kepada aktual.com, Jakarta, Senin (20/10/2025).

Salah satu contohnya terkait revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP). YLBHI mencatat, selain pembahasan revisi yang super cepat dan tertutup, juga ada banyak masalah dalam substansinya.

Pembahasan revisi UU TNI, misalnya. RUU ini sebelumnya tidak masuk dalam 41 RUU Program Legislasi Nasional (prolegnas) prioritas 2025 yang ditetapkan 19 November 2024. RUU TNI baru diusulkan masuk prolegnas prioritas sebagai inisiatif pemerintah pasca dikeluarkannya Surat Presiden No. R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025. Usulan tersebut disetujui melalui rapat paripurna 18 Februari 2025.

Tak berselang lama, DPR mengesahkan revisi UU TNI menjadi UU pada Sidang Paripurna, 20 Maret 2025. UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto pada 26 Maret 2025.

Isnur menyampaikan, pembahasan draft RUU TNI tersebut dilakukan secara tertutup oleh DPR dengan Pemerintah di Hotel Fairmont Jakarta. Serta dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari pengawasan masyarakat sipil pada Sabtu 14-15 Maret 2025. Padahal sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menyatakan, RUU TNI ini tidak akan disahkan sebelum masa reses Lebaran 2025.

“Pembahasan tertutup tersebut menunjukkan rendahnya komitmen transparansi. Draft RUU juga bermasalah karena memuat perluasan jabatan sipil yang diduduki oleh prajurit TNI aktif,” papar Isnur.

YLBHI juga mencatat hal sama pada proses pembuatan R-KUHAP. Menurut Isnur, setidaknya ada sekitar 1.676 Daftar Isian Masalah (DIM) yang dibahas hanya dalam waktu 2 hari, 10-11 Juli 2025.

Isnur mengungkapkan, diusulkan oleh DPR RI, draf RUU ini muncul tiba-tiba pada awal Februari 2025. Beberapa anggota Komisi III dan Badan Legislasi DPR bahkan tidak mengetahui adanya draft tersebut dan tidak juga pernah dibahas di dalam pertemuan terbuka untuk meminta pandangan fraksi-fraksi.

“Begitu juga ketika proses penyusunan DIM versi Pemerintah, beberapa akademisi dan Ahli yang dilibatkan dalam penyusunan sebagai perumus mengakui hanya ada pertemuan 2 kali tanpa sempat membahas bagaimana pengaturan R-KUHAP,” ucapnya.

Pada sisi lain, kata Isnur, pembahasan pasal-pasal R-KUHAP sangat dangkal dan tidak menyentuh substansi permasalahan yang selama ini dialami banyak korban sistem peradilan pidana dalam kasus-kasus salah tangkap, kekerasan atau penyiksaan, undue delay dan kriminalisasi serta pembatasan akses bantuan hukum.

“Namun, DPR bersama Pemerintah malah memperluas kewenangan penegak hukum polisi yang melegitimasi tindakan subjektif tanpa standar dan batasan yang jelas dalam melakukan penangkapan, penahanan, penyadapan, penggeledahan,” ucap Isnur.

Mirisnya, ujar Isnur, syarat subjektif polisi dalam upaya paksa tidak didukung dengan mekanisme pengawasan yang ketat oleh lembaga internal maupun eksternal yang independen. Kerangka hukum yang melegitimasi tindakan subjektif polisi sangat berpotensi membuka ruang penyalahgunaan wewenang.

“Lebih dari itu posisi polisi sebagai penegak hukum dalam sistem peradilan pidana menjadi superior,” katanya.

Karena itu, pada momen 1 tahun Pemerintahan Prabowo, YLBHI meminta Pemerintah untuk menghentikan pembentukan produk hukum yang dibuat secara sewenang-wenang dan memperbaiki tata kelola pemerintahan yang akuntabel dan transparan.

“Dalam hal ini Pemerintah bersama DPR juga harus membuka kembali secara maksimal penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP,” paparnya.

YLBHI juga meminta Pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU yang merupakan kebutuhan langsung rakyat. Di antaranya RUU Masyarakat Adat, dan RUU Pekerja Rumah Tangga.

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi

Berita Lain