28 Desember 2025
Beranda blog Halaman 299

Wakil Kepala BGN Sebut Program MBG Tidak Boleh Berorientasi Bisnis

Wakil Kepala BGN Nanik S. Deyang (mengenakan batik) dalam rapat koordinasi kejadian menonjol terkait Makan Bergizi Gratis (MBG) di Jakarta pada Selasa (14/10/2025). ANTARA/HO-BGN.
Wakil Kepala BGN Nanik S. Deyang (mengenakan batik) dalam rapat koordinasi kejadian menonjol terkait Makan Bergizi Gratis (MBG) di Jakarta pada Selasa (14/10/2025). ANTARA/HO-BGN.

Jakarta, aktual.com – Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S. Deyang mengingatkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak boleh berorientasi bisnis karena bukan merupakan program komersial, melainkan program sosial untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia.

“Program MBG ini bukan bisnis. Ini adalah kecintaan Presiden Prabowo Subianto pada anak-anak Indonesia,” kata Nanik Deyang dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (15/10).

Nanik kemudian menekankan pentingnya tanggung jawab bersama antara BGN, mitra dapur, dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), untuk memperbaiki kekurangan di lapangan.

“Kita harus akui ini kelalaian kita bersama. Ini salah BGN, mitra, dan SPPG yang harus kita perbaiki bersama,” kata Nanik Deyang.

Ia juga menegaskan agar seluruh pihak tidak mengambil keuntungan berlebih dari bahan baku makanan.

“Jangan sampai ada yang mengurangi bahan baku. Pak Prabowo sampai menghitung sendiri menu itu, dan beliau berkesimpulan dengan Rp10 ribu itu masih bisa pakai ayam dan telur. Jadi jangan di-mark up (dilebihkan), anggaran bahan baku itu harus penuh. Selain susu, harus ada dua lauk, bukan satu,” ujarnya.

Nanik juga berpesan agar seluruh unsur pelaksana saling mengingatkan dan menjaga integritas pelaksanaan program.

“Tolong saling mengingatkan ahli gizi dan akuntan untuk mengawal menu ini,” ucapnya.

Nanik juga menyoroti sejumlah dapur mitra MBG yang dinilai belum memenuhi standar kelayakan.

“Dari Kuningan sampai Nusa Tenggara Barat (NTB) saya sudah melihat beberapa dapur yang tidak layak. Saat awal peluncuran, dapur yang belum diepoksi (dilapisi material untuk memperkuat lantai bangunan) tidak boleh jalan, tetapi sekarang banyak dapur yang belum diepoksi, tapi sudah beroperasi,” ujar Wakil Kepala BGN Nanik S Deyang.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

KPK Watch Desak KPK Segera Tahan Tersangka Kasus CSR BI

Jakarta, aktual.com — Direktur KPK Watch Indonesia, Muhammad Yusuf Sahide, menilai keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan konsekuensi dari tidak efektifnya lembaga penegak hukum konvensional seperti Polri dan Kejaksaan dalam menangani perkara korupsi.

“KPK sengaja diciptakan karena lembaga konvensional polri maupun jaksa dianggap tidak efektif dalam penanganan perkara korupsi. Di sisi lain sudah begitu akutnya korupsi di negeri ini, institusi ini pun diberi kewenangan yang luar biasa dengan anggaran yang besar,” kata Muhammad Yusuf Sahide, Rabu (15/10).

Ia menegaskan bahwa operasi tangkap tangan (OTT) menjadi salah satu keunggulan KPK karena memiliki kewenangan penyadapan. “OTT merupakan unggulan dari KPK karena diberikan kewenangan penyadapan,” ucapnya.

Lebih lanjut, Yusuf menekankan agar KPK benar-benar menjalankan peran sebagai lembaga pemberantas kejahatan luar biasa. “Berdasarkan apa yang kami sampaikan di atas tentunya KPK sebagai lembaga ektra ordinary crime diharapkan dapat membongkar mega skandal korupsi yang dilakukan oleh pejabat secara berjamah,” katanya.

Menyoroti penanganan kasus dugaan korupsi dana CSR Bank Indonesia, Yusuf mendesak KPK agar tidak menunda proses hukum terhadap para tersangka. “Oleh karena itu kami dari KPK Watch Indonesia menyoroti KPK dalam penangan kasus dugaan korupsi dana CSR BI dimana KPK telah menetapkan dua orang anggota DPR RI, menurut hemat kami ketika telah ditetapkan tersangka, KPK juga harus menyegerakan untuk segera ditahan, jangan sampai mereka dibiarkan berkeliaran hingga saat ini,” ucapnya.

Ia juga mengingatkan agar KPK tidak tebang pilih dalam mengusut perkara tersebut. “Terus apa yang menjadi pembeda dengan lembaga konvensional, KPK Watch Indonesia berharap untuk perkara CSR BI disinyalir atau dugaan banyak anggota DPR RI Komisi XI ikut menerimanya, dan tentunya KPK tidak boleh tebang pilih,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

MPR For Papua Desak Aparat Usut Tuntas Kasus Tewas Guru di Yahukimo

Ketua MPR for Papua Yorrys Raweyai (kanan) dan Sekretaris MPR for Papua Filep Wamafma (kiri). ANTARA/HO-MPR for Papua
Ketua MPR for Papua Yorrys Raweyai (kanan) dan Sekretaris MPR for Papua Filep Wamafma (kiri). ANTARA/HO-MPR for Papua

Jakarta, aktual.com – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk Papua (MPR for Papua) Yorrys Raweyai mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus tewasnya seorang guru di Yahukimo, Papua Pegunungan, bernama Melani Wamea yang diduga diserang kelompok kriminal bersenjata (KKB).

Yorrys Raweyai dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (15/10), menyatakan keprihatinan mendalam atas kejadian yang dialami guru Sekolah Jhon D. Wilson tersebut.

“Kejadian ini tidak bisa ditoleransi. Siapa pun pelakunya, kekerasan terhadap oknum tenaga pendidik tidak bisa diterima atas alasan apa pun,” kata Yorrys yang juga Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Aksi kekerasan terhadap tenaga pendidik di Papua sudah berulang kali terjadi.

Menurut Yorrys, sejak awal tahun 2025, puluhan tenaga pendidik mengalami kekerasan, beberapa di antaranya kehilangan nyawa dan mengalami luka berat.

Selain tenaga pendidik, bangunan sekolah juga menjadi sasaran perusakan. Salah satunya SMP Kiwirok di Pegunungan Bintang yang dibakar sekelompok orang diduga bagian dari anggota KKB pada Senin (13/10).

Baca juga: Anggota DPR: Guru tewas oleh KKB di Yahukimo ancam kedaulatan NKRI

Yorrys mengimbau aparat keamanan untuk melakukan tindakan tegas dan investigasi secara menyeluruh terkait fenomena yang menimpa infrastruktur pendidikan di Tanah Papua, khususnya di Papua Pegunungan.

Senator asal Papua itu mengatakan infrastruktur pendidikan adalah garda terdepan dalam pembangunan sumber daya manusia di Bumi Cenderawasih.

“Saya meminta seluruh pihak, khususnya aparat keamanan, untuk melakukan tindakan tegas dan investigasi menyeluruh untuk menjamin keamanan dan kenyamanan bagi tenaga pendidik dan bangunan sekolah di tanah Papua,” ucap Yorrys.

Sementara itu, Sekretaris MPR for Papua Filep Wamafma mengatakan kekerasan terhadap dunia pendidikan di Papua Pegunungan memerlukan respons komprehensif dari semua pihak yang berkepentingan dengan masa depan Papua.

Dia menegaskan puluhan korban tenaga pendidik selama tahun 2025 serta pembakaran sekolah seharusnya membuat seluruh pihak mencurahkan perhatian yang serius.

“Kekerasan yang menimpa guru dan hancurnya bangunan sekolah ini sudah menyangkut masalah kemanusiaan. Tidak sekadar tentang perbedaan ideologi, tapi masa depan generasi Papua di masa yang akan datang,” ujar Filep.

Sebelumnya, Kapolres Yahukimo AKBP Zeth Zalino mengonfirmasi adanya penyerangan yang dilakukan KKB hingga menyebabkan seorang guru di Holuwon, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, meninggal dunia.

“Melani Wamea yang berprofesi sebagai guru, pada Jumat ini meninggal akibat luka setelah dianiaya KKB,” ucap Kapolres Yahukimo AKBP Zeth Zalino dikutip dari Antara, Jumat (10/10).

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

KPK Kaji Pelaksanaan MBG untuk Cegah Tindak Pidana Korupsi

Sejumlah siswa menyantap Makan Bergizi Gratis (MBG) di SD Negeri 162 Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (14/10/2025). Berdasarkan data dari BGN Sumatera Selatan, per 6 Oktober 2025 realisasi penerima manfaat MBG di Provinsi tersebut mencapai 1.174.645 orang penerima manfaat dari target yang ditetapkan sebear 2.402.446 orang potensi penerima manfaat dengan total jumlah dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang sudah berdiri sebanyak 390 dapur dari target yang ditetapkan sebanyak 808 dapur SPPG dan ditargetkan dapat terpenuhi hingga akhir tahun 2025. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/YU
Sejumlah siswa menyantap Makan Bergizi Gratis (MBG) di SD Negeri 162 Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (14/10/2025). Berdasarkan data dari BGN Sumatera Selatan, per 6 Oktober 2025 realisasi penerima manfaat MBG di Provinsi tersebut mencapai 1.174.645 orang penerima manfaat dari target yang ditetapkan sebear 2.402.446 orang potensi penerima manfaat dengan total jumlah dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang sudah berdiri sebanyak 390 dapur dari target yang ditetapkan sebanyak 808 dapur SPPG dan ditargetkan dapat terpenuhi hingga akhir tahun 2025. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/YU

Jakarta, aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengkaji pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis atau MBG untuk pencegahan tindak pidana korupsi sekaligus dukungan dari lembaga antirasuah untuk program tersebut.

“Saat ini KPK sedang melakukan kajian di Direktorat Monitoring KPK. Dari kajian itu, nanti KPK akan memberikan rekomendasi-rekomendasi perbaikan kepada para stakeholder (pemangku kepentingan, red.) terkait,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (14/10).

Budi mengatakan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam kajian tersebut, KPK melakukan observasi di lapangan hingga menganalisis fakta yang ditemukan.

“Artinya, dalam proses kajian ini juga butuh proses yang komprehensif sehingga nantinya kami bisa menghasilkan sebuah kesimpulan yang lengkap untuk kemudian memberikan rekomendasi yang konkret dalam upaya mendukung perbaikan program MBG ini,” katanya.

Sebelumnya, Badan Gizi Nasional (BGN) menegaskan pegawai di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang terbukti korupsi akan dipecat hingga diproses hukum.

“Yang terdengar korupsi akan dihukum, termasuk pemecatan dari SPPG,” kata Deputi Bidang Sistem dan Tata Kelola BGN Tigor Pangaribuan saat dihubungi di Jakarta, Kamis (9/10).

Sementara itu, BGN telah memecat seorang kepala SPPG atas dugaan korupsi dengan modus yang digunakan yakni kolusi bersama yayasan untuk membeli bahan baku berkualitas rendah dengan iming-iming imbalan bulanan.

Kepala SPPG tersebut dijanjikan bagian dari selisih antara nilai pembelian bahan baku riil dan pembelian yang dilaporkan ke BGN, yakni sebesar hampir Rp20 juta per bulan.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Komisi II DPR: Kembalikan Semangat Desentralisasi, Jangan Pusatkan Lagi Segalanya

Komisi II DPR: Kembalikan Semangat Desentralisasi, Jangan Pusatkan Lagi Segalanya

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, menilai polemik pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) bukan sekadar persoalan fiskal, tetapi mencerminkan perubahan paradigma hubungan pusat dan daerah yang menjauh dari semangat otonomi.

Menurutnya, konstitusi, khususnya Pasal 18 UUD 1945, memberi kewenangan luas bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Karena itu, pemerintah pusat diingatkan agar tidak kembali ke pola sentralistik yang bisa menghambat efektivitas pemerintahan daerah.

Zulfikar juga menilai tudingan pemborosan dan kebocoran anggaran daerah tak bisa dilepaskan dari lemahnya pembinaan serta pengawasan pusat. Solusinya, kata dia, bukan menarik kewenangan ke Jakarta, melainkan memperkuat sistem kontrol dan menumbuhkan kepercayaan agar daerah mampu melaksanakan program nasional secara mandiri dan akuntabel.

Berikut petikan wawancara Aktual.com bersama Zulfikar Arse.

Belakangan ramai soal pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) yang membuat banyak kepala daerah gelisah. Bagaimana pandangan Anda?

Saya melihatnya dari dua sisi, masa sekarang dan ke depan. Tapi arah ke depan itu sangat ditentukan oleh paradigma kita hari ini dalam mengelola hubungan antara pusat dan daerah. Negara ini harus dikelola berdasarkan konstitusi, bukan selera.

UUD 1945 menegaskan bahwa daerah diberi kewenangan seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, ada urusan mutlak, urusan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan mutlak hanya enam: fiskal dan keuangan, agama, keamanan, pertahanan, hukum, dan kehakiman. Selebihnya diserahkan ke daerah. Itu semangat otonomi yang sejati.

Artinya, kebijakan sekarang belum sejalan dengan semangat otonomi itu?

Begitu kira-kira. Saya tidak ingin menyebut menyalahi, tapi belum sesuai saja. Pusat mestinya fokus pada regulasi, pembinaan, dan pengawasan. Soal pelaksanaan harus berangsur diserahkan ke daerah, karena banyak daerah yang sudah mampu.

Sayangnya, belakangan ini ada kecenderungan kembali ke arah sentralistik. Itu bukan hanya terjadi di rezim sekarang sejak pandemi Covid-19, banyak kewenangan daerah ditarik ke pusat atas nama pengendalian nasional. Tapi setelah keadaan normal, semestinya dikembalikan lagi ke daerah.

Pemerintah pusat beralasan banyak daerah tidak efisien dan anggarannya sering bocor. Apa tanggapan Anda?

Itu pertanyaan bagus. Tapi apakah daerah dibiarkan begitu saja? Kan ada pembinaan dan pengawasan dari pusat melalui Kemendagri. Jadi kalau ada masalah, pembinaan dan pengawasannya juga perlu dievaluasi.

Negara ini punya BPK dan BPKP yang bekerja sampai ke tingkat desa. Nah, bagaimana hasil kerja mereka selama ini?

Jangan semua kesalahan ditimpakan ke daerah.

Pusat juga menyebut pemotongan itu tidak besar, hanya sekitar 30 persen?

Benar, tapi tetap terasa berat bagi daerah. Dalam pembahasan terakhir, ada tambahan TKD dari Rp649 triliun menjadi Rp694 triliun, artinya naik sekitar Rp43 triliun. Tapi secara total masih turun dibanding 2024 yang mencapai Rp918 triliun.

Pemerintah menyebut ini bukan pemotongan, tapi realokasi untuk membiayai program prioritas. Itu boleh saja, tapi pelaksanaannya harus tetap melibatkan daerah. Karena yang tahu kebutuhan masyarakat adalah pemerintah daerah, bukan pusat.

Apakah kebijakan seperti ini bisa disebut langkah mundur, kembali seperti masa Orde Baru?

Kecenderungannya memang ada. Tapi sekali lagi, ini bukan hanya masalah sekarang. Dulu juga sudah mulai terjadi karena ada momentum bencana nasional. Biasanya dalam keadaan darurat, kewenangan ditarik ke pusat. Tapi setelah normal, seharusnya dikembalikan.

Kita ini negara kesatuan yang desentralistik. Semangat konstitusinya memberi ruang sebesar-besarnya kepada daerah untuk mengatur urusannya.

Beberapa kepala daerah mengatakan akibat kebijakan ini mereka kesulitan membiayai pembangunan. Banyak yang bilang uang hanya cukup untuk gaji pegawai.

Itu betul, tapi mestinya rasionalisasi anggaran jangan menyentuh belanja pegawai. Yang perlu dievaluasi adalah belanja barang dan kegiatan yang tidak prioritas. Kepala daerah harus lebih kreatif menata anggaran agar efisien tapi tetap berdampak bagi masyarakat.

Jangan hanya protes. Dengan dana yang ada, tetap harus bisa berbuat. Karena itu bagian dari tanggung jawab seorang pemimpin daerah. Pemerintah pusat juga menilai daerah seharusnya lebih kreatif mencari sumber pendapatan.

Yang berani bersuara memang baru sekitar 18 gubernur. Tapi jangan salah, kegelisahan itu dirasakan juga oleh ratusan kepala daerah lainnya. Hanya saja tidak semua berani bicara terbuka.

Mereka sebenarnya merasakan hal yang sama, ruang fiskalnya makin sempit, sementara tanggung jawab ke masyarakat makin besar.

Menurut Anda, sampai kapan kebijakan rasionalisasi ini akan berjalan?

Saya menyebutnya rasionalisasi, bukan efisiensi. Dan itu memang perlu dilakukan. Tapi pusat juga harus memastikan dana yang dialihkan benar-benar efektif di daerah. Jangan sampai kebijakan nasional justru membuat daerah kehilangan ruang untuk bergerak.

Pelaksanaan program prioritas pun mestinya dilakukan dengan melibatkan daerah secara aktif. Karena program itu dijalankan untuk rakyat yang ada di daerah, bukan untuk pusat.

Program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih itu sebagian besar dikendalikan pusat. Apa sebaiknya diserahkan ke daerah?

Kalau program itu memang prioritas nasional, ya laksanakan sungguh-sungguh. Tapi niatnya harus benar, jangan proyek, jangan rente. Kalau niatnya tulus untuk rakyat, pasti hasilnya baik.

Daerah juga harus dilibatkan. Mereka tahu peta lapangan dan kebutuhan masyarakatnya. Evaluasi dan kontrol tetap perlu, tapi jangan dengan sentimen politik. Yang penting, objektif dan berdasarkan fakta.

Jadi semangat desentralisasi masih sangat relevan ke depan?

Sangat relevan. Pemerintah pusat harus membuka ruang dan kepercayaan lebih besar kepada daerah. Ruang publik kita juga harus sehat, jangan alergi terhadap kritik atau evaluasi. Itu bagian dari cara memperbaiki kebijakan publik.

Lalu bagaimana dengan kapasitas fiskal daerah yang masih rendah?

Memang sebagian besar daerah masih bergantung pada pusat. Dari 514 kabupaten/kota, yang benar-benar kuat secara fiskal tidak lebih dari sepuluh. Dari 38 provinsi, hanya sekitar dua belas yang kuat.

Tapi jangan lupa, kebocoran itu bukan hanya di belanja, di pendapatan juga ada. PAD harus dioptimalkan, belanja harus rasional dan efektif. Jangan bangun kantor mewah sementara pelayanan publik masih terbengkalai. Itu contoh nyata perlunya perubahan paradigma.

Saya lebih suka menyebutnya rasionalisasi, bukan penghematan semata, karena ini soal cara berpikir dan cara mengelola negara secara lebih adil antara pusat dan daerah.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto

BKKBN Provinsi Bali Apresiasi Program Genting di Buleleng

Ketua Tim Kerja Genting Kemendukbangga Perwakilan Provinsi Bali, Dewa Nyoman Dalem, Monitoring dan Evaluasi di Aula Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP2KBP3A) Kabupaten Buleleng, Selasa, (7/10). Aktual/HO

Buleleng, aktual.com – Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga) Perwakilan Provinsi Bali mengapresiasi langkah Pemerintah Kabupaten Buleleng dalam melaksanakan Program Genting atau Gerakan Orangtua Asuh Cegah Stunting. Hal itu terungkap dalam kegiatan Monitoring dan Evaluasi di Aula Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP2KBP3A) Kabupaten Buleleng, Selasa, (7/10).

Ketua Tim Kerja Genting Kemendukbangga Perwakilan Provinsi Bali, Dewa Nyoman Dalem, mengatakan Genting merupakan salah satu program “quick win” dari Kemendukbangga. Program ini mengedepankan peran masyarakat dan lembaga nonpemerintah untuk menjadi orangtua asuh bagi keluarga yang berisiko stunting (KRS).

Ia mengapresiasi langkah Pemkab Buleleng yang telah mulai menggerakkan program Genting sejak awal 2025. Hingga saat ini, tercatat sekitar 21 donatur atau orangtua asuh telah terlibat dalam membantu keluarga berisiko stunting di wilayah tersebut, dengan tingkat intervensi mencapai 4,3 persen.

“Kami menyampaikan terima kasih kepada Pemkab Buleleng, terutama tim pengendali Genting. Memang masih kecil, tapi langkah ini sudah sangat baik. Harapannya, koordinasi bisa lebih kuat melalui pendekatan pentahelix — melibatkan pemerintah, dunia usaha, akademisi, media, dan masyarakat,” kata Dewa.

Menurut Dewa, keluarga berisiko stunting meliputi ibu hamil, ibu menyusui, dan ibu dengan anak berusia di bawah dua tahun (baduta). Pada masa seribu hari pertama kehidupan (HPK), lanjutnya, diperlukan intervensi gizi dan edukasi yang tepat agar tumbuh kembang anak tidak terganggu.

Lebih jauh, Dewa menjelaskan bahwa stunting bukan hanya disebabkan oleh kekurangan gizi semata. “Ada faktor sensitif seperti lingkungan yang tidak sehat, sanitasi buruk, dan pola asuh yang kurang tepat. Jadi edukasi masyarakat menjadi kunci dalam pencegahan,” ujarnya.

Dewa menambahkan, meskipun angka stunting di Bali termasuk yang terendah secara nasional, upaya pencegahan tetap perlu digencarkan agar tidak terjadi peningkatan di masa mendatang.

Sementara itu, Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP2KBP3A) Kabupaten Buleleng, Nyoman Suyasa, mengatakan program Genting di daerahnya dijalankan dengan pendekatan empat dimensi: bantuan nutrisi, perbaikan sanitasi, akses air bersih, dan edukasi berkelanjutan.

“Tidak semua bantuan harus berupa materi. Edukasi mengenai pola asuh, pola makan, hingga peningkatan kapasitas ekonomi keluarga juga bagian dari intervensi Genting,” jelas Suyasa.

Ia mengungkapkan, sejauh ini tercatat 81 orangtua asuh telah bergabung dalam program tersebut di Buleleng. Dari jumlah itu, 21 di antaranya memberikan bantuan langsung, sedangkan sisanya fokus pada pendampingan edukatif.

Namun, jumlah itu masih jauh dari kebutuhan. Berdasarkan data terakhir, terdapat lebih dari 17 ribu keluarga berisiko stunting (KRS) di Kabupaten Buleleng, dengan sekitar 900 keluarga telah teridentifikasi mengalami stunting.

“Artinya, kita masih butuh banyak pihak yang mau ikut menjadi orangtua asuh. Stunting ini tidak bisa hanya ditangani pemerintah. Harus ada kolaborasi lintas sektor dan gotong royong bersama masyarakat,” tutupnya.

Berita Lain