30 Desember 2025
Beranda blog Halaman 333

Menag Sebut Pesantren Harus Kembangkan Tradisi Intelektual Berbasis Turats

Menteri Agama Nasaruddin Umar membuka Halaqah Internasional di Pesantren As’adiyah Pusat Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. ANTARA/HO-Kemenag
Menteri Agama Nasaruddin Umar membuka Halaqah Internasional di Pesantren As’adiyah Pusat Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. ANTARA/HO-Kemenag

Jakarta, aktual.com – Menteri Agama Nasaruddin Umar menyatakan pesantren harus mengembangkan tradisi intelektual kritis berbasis turats lewat pendekatan multidisipliner, mulai dari semantik, filologi, hingga antropologi, agar khasanah klasik itu tetap hidup dan relevan.

“Tidak semua kitab kuning bisa disebut turats. Kitab turats adalah karya yang ditulis oleh ulama mumpuni, yang menghayati filosofi dasar Al Quran dan hadis, serta mampu mengangkat martabat kemanusiaan dan mendekatkan diri kepada Allah,” ujar Menag Nasaruddin dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (4/10).

Pernyataan itu disampaikan Menag Nasaruddin saat membuka Halaqah Internasional di Pesantren As’adiyah Pusat Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Forum ini mengangkat tema “Transformasi Sosio-Ekologis dan Solusi Epistemologis Berbasis Turats”.

Menag mengingatkan pentingnya cara membaca yang komprehensif sebagaimana diperintahkan Al Quran.

Ia menjelaskan bahwa ada tiga objek utama bacaan bagi setiap Muslim, khususnya para santri yakni membaca alam semesta (makro kosmos), membaca ayat-ayat yang merasuk dalam diri manusia (mikro kosmos), dan membaca kitab suci Al Quran (wahyu).

“Yang pertama adalah membaca alam semesta, yang kedua adalah membaca ayat-ayat yang merasuk dalam diri manusia, dan yang ketiga adalah membaca kitab suci Al Quran,” ujar Nasaruddin.

Menurut dia, kata iqra’ tidak sekadar berarti melafalkan huruf, tetapi juga menghimpun. Seperti pohon yang menghimpun akar, batang, daun, dan buah atau manusia yang menghimpun seluruh unsur makro kosmos dalam dirinya.

“Himpunan yang paling sempurna adalah manusia. Oleh karena itu, Ibnu Arabi menyebut bahwa sejatinya makro kosmos itu manusia, bukan alam semesta,” katanya.

Namun demikian, Menag menegaskan pesantren jangan berhenti pada bacaan tekstual semata.

Ia mengatakan Al Quran harus dipahami tidak hanya sebagai kitabullah (petunjuk bagi seluruh manusia), tetapi juga sebagai kalamullah (firman Allah yang hanya bisa diakses melalui ketaqwaan dan kedalaman spiritual).

“Jangan kita bangga hanya karena hafal Al Quran atau mampu menafsirkannya. Di atas langit masih ada langit. Masih ada lapisan terdalam, yakni haqaiq Al Quran,” ujar Imam Besar Masjid Istiqlal tersebut.

Ia kemudian mengurai empat tingkatan bacaan Alquran yakni teks Al Quran, isyarat Al Quran, lathaif Al Quran, dan haqaiq Al Quran.

Menag juga mengingatkan bahwa membaca dalam Islam tidak boleh dipersempit hanya pada dimensi tekstual. Tradisi iqra’ harus ditopang oleh kesadaran kritis terhadap realitas sosial dan ekologis, dengan turats sebagai basis epistemologisnya.

“Al Quran itu bukan sekadar informasi, tetapi juga konfirmasi. Membaca Al Quran berarti membaca alam, membaca diri, lalu mengkonfirmasikan semuanya dengan wahyu. Itulah tradisi ilmiah pesantren yang harus terus dikembangkan,” kata Nasaruddin.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag Amien Suyitno menekankan pentingnya kontekstualisasi maqashid al-syariah agar agama selalu relevan dengan zaman.

Ia menyoroti bab thaharah dalam fikih yang sering dipahami sempit, padahal sejatinya mengandung pesan ekologis.

“Menjaga air adalah bagian dari thaharah. Itu artinya menjaga kebersihan dan lingkungan juga ibadah. Inilah bentuk ekoteologi, membaca kehidupan dan alam dengan Al Quran sekaligus ditopang pemahaman turats,” katanya.

Suyitno menegaskan pesantren memiliki peran strategis dalam melahirkan fikih yang responsif terhadap isu-isu modern, termasuk krisis lingkungan.

“Dengan turats sebagai fondasi dan realitas sebagai ladang praksis, halaqah ini diharapkan melahirkan gagasan yang dapat menjadi rujukan kebijakan publik,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Dualisme PPP 2025, Pengamat: PPP Bisa Jadi Dinosaurus Politik Islam—Besar di Masa Lalu, Tapi Tenggelam di Era Baru

Sekjen Gerakan Pemuda Ka’bah, Thobahul Aftoni (tengah), Direktur Eksekutif SCL Taktika, Iqbal Themi (kiri) dan Pemimpin Radaksi actual.com, Rizal Maulana Malik (kanan), Saat diskusi aktual forum dengan tema “Dualisme Kepengurusan PPP Pasca Muktamar Ancol 2025” di Warung Aceh Garuda, Tebet, Jakarta, Selatan, Sabtu (4/10/2025). Aktual/TINO OKTAVIANO

Jakarta, aktual.com — Konflik kepemimpinan di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali mencuat pasca Muktamar Ancol 2025. Dua kubu, Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto, sama-sama mengklaim legitimasi. Kondisi ini memperparah situasi partai berlambang Ka’bah yang baru saja gagal menembus ambang batas parlemen pada Pemilu 2024.

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif SCL Taktika Konsultan, Iqbal Themi, menilai PPP kini berada di ambang krisis eksistensial. “PPP dulu adalah rumah besar umat Islam, simbol persatuan di masa Orde Baru. Tapi hari ini, setelah seperempat abad reformasi, PPP justru terpecah dan kehilangan kursi di Senayan. Jika tak segera berbenah, PPP bisa menjadi dinosaurus politik Islam—besar di masa lalu, tapi tenggelam di era baru,” ujar Iqbal dalam acara diskusi publik Aktual Forum bertema “Dualisme Kepengurusan PPP Pasca Muktamar Ancol 2025” di Tebet, Sabtu (4/10).

Menurut Iqbal, dualisme kepemimpinan antara kubu Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto bukan sekadar konflik biasa, tetapi cerminan krisis struktural yang telah lama membayangi PPP. “Partai yang dulu mampu bertahan di bawah represi politik Orde Baru, kini justru rapuh di era demokrasi. Ini ironi sejarah. Jika terus disandera dualisme, energi PPP akan habis untuk urusan administrative politics—politik yang direduksi menjadi perebutan legalitas birokratis, dan bukan tidak mungkin pada akhirnya hanya tinggal sebagai fosil demokrasi: eksis dalam dokumen negara, tapi kehilangan arah di mata umat,” ujarnya.

Secara elektoral, dukungan terhadap PPP terus menurun: dari 10,7 persen suara pada 1999 menjadi hanya 3,87 persen pada 2024. “Penurunan ini bukan sekadar tren angka, tetapi sinyal hilangnya kepercayaan umat,” tambahnya. Iqbal menilai, basis sosial PPP kini telah terdistribusi ke partai lain—NU ke PKB, Muhammadiyah ke PAN, kelas menengah Muslim ke PKS, sementara pemilih Islam yang lebih cair cenderung berpihak pada partai-partai nasionalis.

Ia menyebut krisis ini sebagai bentuk triple delegitimation: kehilangan legitimasi elektoral, legitimasi institusional, dan legitimasi performa. Meski begitu, Iqbal optimistis kebangkitan masih mungkin terjadi jika PPP berani melakukan islah secara serius. “Jalan satu-satunya adalah kembali ke khittah sebagai rumah besar umat Islam. Kalau ini dilakukan dengan semangat persatuan dan menjadi kesadaran kolektif, PPP masih punya peluang untuk kembali ke Senayan pada 2029,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Dualisme Kepengurusan PPP Pasca Muktamar Ancol 2025

Sekjen Gerakan Pemuda Ka’bah, Thobahul Aftoni (tengah), Direktur Eksekutif SCL Taktika, Iqbal Themi (kiri) dan Pemimpin Radaksi actual.com, Rizal Maulana Malik (kanan), Saat diskusi aktual forum dengan tema “Dualisme Kepengurusan PPP Pasca Muktamar Ancol 2025” di Warung Aceh Garuda, Tebet, Jakarta, Selatan, Sabtu (4/10/2025). Konflik kepemimpinan di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali mencuat pasca Muktamar Ancol 2025. Dua kubu, Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto, sama-sama mengklaim legitimasi. Kondisi ini memperparah situasi partai berlambang Ka’bah yang baru saja gagal menembus ambang batas parlemen pada Pemilu 2024. Aktual/TINO OKTAVIANO

KPK Sebut Transparansi Jadi Kunci Pengelolaan Layanan Haji 2026

Menteri Haji dan Umrah Mochamad Irfan Yusuf bertemu dengan pimpinan KPK bahas pencegahan korupsi terkait penyelengaraan haji. ANTARA/HO-KPK.
Menteri Haji dan Umrah Mochamad Irfan Yusuf bertemu dengan pimpinan KPK bahas pencegahan korupsi terkait penyelengaraan haji. ANTARA/HO-KPK.

Jakarta, aktual.com – Ketua KPK Setyo Budiyanto mendorong Kementerian Haji dan Umrah untuk memperkuat transparansi dalam proses pengadaan barang dan jasa (PBJ), guna memastikan layanan haji yang akuntabel dan bebas penyimpangan.

“Prinsipnya itu transparansi, kalau ada proses lelang, pengadaan, sebaiknya dipublikasikan saja,” kata Setyo dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (4/10).

Hal ini disampaikan Setyo saat menerima audiensi jajaran Kementerian Haji dan Umrah di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.

Tranparansi menjadi hal yang sangat penting mengingat sebanyak 221 ribu jemaah haji Indonesia akan berangkat pada tahun 2026 dengan nilai perputaran dana mencapai Rp17–20 triliun.

Setyo menegaskan, keterbukaan dalam pengadaan akan memudahkan masyarakat mengawasi proses dan mencegah persoalan seperti yang terjadi pada pelaksanaan haji tahun lalu, yang tidak hanya terkait kuota tetapi juga berbagai aspek lainnya.

Menteri Haji dan Umrah, Mochamad Irfan Yusuf, menyatakan komitmennya mewujudkan layanan yang efektif, akuntabel, dan transparan. Untuk itu, pihaknya akan menggandeng KPK dalam pencegahan potensi penyimpangan.

“Kami minta bantuan KPK untuk bisa menjalankan amanah sesuai yang diperintahkan oleh Presiden,” ujar Irfan.

Dalam forum tersebut, Kementerian memaparkan sejumlah titik rawan dalam PBJ layanan haji, seperti potensi markup dan gratifikasi pada pengadaan gelang identitas, buku manasik, hotel, penerbangan, katering, dan transportasi. Kerugian negara juga dapat muncul apabila premi asuransi melebihi nilai aktuaria.

Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, mengingatkan bahwa risiko terbesar bukan hanya kerugian negara, melainkan praktik pemberian upeti terkait kuota haji.

“Yang paling rawan itu bukan kerugiannya, tapi menerima upeti karena semua orang itu pasti ingin berangkat,” tegas Fitroh.

Ia juga mengingatkan pentingnya menghindari konflik kepentingan dan mendokumentasikan seluruh proses pengadaan sebagai bentuk antisipasi.

Selain paparan PBJ, Kementerian Haji dan Umrah meminta bantuan KPK melakukan tracing terhadap sejumlah calon pejabat yang bergeser dari Kementerian Agama ke Kementerian Haji dan Umrah, untuk memitigasi potensi masalah di masa depan.

“Kami mohon bisa dipantau oleh KPK untuk clean and clear agar ke depan tidak ada masalah bagi kami,” pinta Irfan.

KPK menyambut baik sinergi tersebut dengan menawarkan berbagai dukungan, termasuk berbagi hasil kajian pelaksanaan haji, penguatan integritas petugas haji, dan pengawasan pelaksanaan haji 2026.

Setyo menekankan pentingnya perbaikan sistem haji yang konsisten, profesional, dan berorientasi pada kemanusiaan. Ia optimistis perbaikan layanan dapat diwujudkan.

“Kami percaya di bawah kepemimpinan Gus Irfan sebagai Menteri Haji dan Umrah, (layanan haji) ini akan sangat berubah untuk menuju yang lebih baik,” tutur Setyo.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Sekjen GPK: Dukungan ke Agus Suparmanto Murni Aspirasi Arus Bawah

Jakarta, aktual.com – Sekjen Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), M. Thobahul Aftoni menegaskan bahwa tidak ada dualisme kepengurusan di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pasca Muktamar Ancol 2025. Hal itu ia sampaikan dalam acara diskusi publik Aktual Forum bertema “Dualisme Kepengurusan PPP Pasca Muktamar Ancol 2025” di Tebet, Sabtu (4/10).

“Sebenarnya kita tidak ada istilah dualisme, sebab sudah 9 bulan yang lalu kita ingin mengadakan muktamar setelah PPP tidak lolos dalam legislatif,” kata Thobahul Aftoni.

Ia menambahkan bahwa Muktamar Ancol tidak lahir dari tekanan kelompok tertentu, melainkan dari aspirasi arus bawah. “Muktamar ini bukan karena ada permintaan golongan A atau B. Nama Agus Suparmanto itu murni berasal dari arus bawah, bukan dari kelompok manapun,” ungkapnya.

Menurutnya, keputusan mengangkat Agus Suparmanto sebagai tokoh eksternal partai telah melewati mekanisme resmi. “Keputusan PPP untuk mengambil tokoh eksternal itu dari kesepakatan semua pihak dari Mukernas forum resmi. Jadi apa yang dilakukan oleh pimpinan majelis, ketua DPP, DPW, DPC sudah sesuai mekanisme,” ucap Aftoni.

Ia juga menilai, pihak yang mempermasalahkan hasil muktamar seharusnya menyalurkannya melalui forum resmi partai. “Jadi kalau ada yang mempermasalahkan seharusnya di forum Muktamar. Masalah kader, non-kader itu sudah selesai,” ujarnya.

Lebih jauh, Aftoni menyinggung lemahnya proses kaderisasi di bawah kepemimpinan sebelumnya. “Sebenarnya yang menghilangkan kaderisasi itu Pak Mardiono, menghilangkan semua program kaderisasi,” katanya.

Di sisi lain, ia menegaskan bahwa dukungan kader terhadap Agus Suparmanto cukup besar. “Bukti Pak Agus Suparmanto itu didukung oleh seluruh kader, bisa dilihat ketika terjadi muktamar banyak muktamirin yang menginginkan perubahan,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Johan Rosihan Ingatkan Ancaman Cs-137 dan Masa Depan Pangan Laut Indonesia

Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Johan Rosihan. Aktual/DOK MPR RI

Jakarta, aktual.com – Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Johan Rosihan mengatakan bahwa Hari Pangan Sedunia yang jatuh setiap 16 Oktober, kembali menjadi pengingat bahwa pangan bukan sekadar soal konsumsi, melainkan juga keadilan, keberlanjutan, dan kedaulatan. Bagi Indonesia, momentum ini kian relevan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, laut bukan hanya bentang geografi, tetapi nadi kehidupan jutaan warga.

Namun, di tengah potensi besar sektor kelautan, sebuah kabar mencemaskan datang dari Amerika Serikat. Otoritas setempat menemukan paparan radioaktif Cesium-137 (Cs-137) pada produk udang beku asal Indonesia. Temuan ini tak sekadar mencoreng citra ekspor perikanan nasional, tapi juga mengguncang keyakinan publik pada sistem keamanan pangan laut negeri ini.

“Pangan laut kita seharusnya bisa menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional. Tapi kasus Cs-137 ini justru menunjukkan lemahnya pengawasan dan kebijakan kita,” ujar Johan, dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat (3/10/2025).

Anggota DPR RI Komisi IV F-PKS Dapil NTB I (Pulau Sumbawa) ini mengungkapkan, data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, kontribusi sektor perikanan terhadap PDB Indonesia mencapai lebih dari 3 persen, dengan nilai ekspor menembus USD 5 miliar per tahun. Udang, tuna, dan rumput laut adalah primadona yang menyuplai kebutuhan protein di dalam negeri maupun pasar global.

Sayangnya, kebijakan pangan nasional masih bias daratan. Fokus pembangunan lebih banyak diarahkan pada padi, jagung, dan kedelai. Padahal, pangan laut memiliki keunggulan gizi dan keberlanjutan yang jauh lebih menjanjikan.

Dalam forum internasional, konsep blue food atau pangan biru bahkan mulai diakui sebagai solusi krisis pangan dan iklim. Indonesia seharusnya bisa menjadi pelopor. “Tapi itu butuh keberanian politik dan arah kebijakan yang jelas,” ujar Johan.

*Lonceng Peringatan dari Cs-137*

Cesium-137 merupakan isotop radioaktif berbahaya yang biasanya muncul dari aktivitas nuklir. Jika masuk ke tubuh manusia lewat rantai makanan, dampaknya bisa fatal: kanker, kerusakan organ, bahkan kematian.

Di tengah gencarnya promosi produk laut Indonesia, temuan Cs-137 di udang beku adalah tamparan keras. Bukan hanya soal ekonomi ekspor yang terganggu, tetapi juga kredibilitas sistem keamanan pangan nasional.

Yang lebih gawat, Indonesia ternyata belum memiliki mekanisme deteksi rutin terhadap kontaminasi radioaktif di produk pangan laut. Badan Karantina, BPOM, maupun laboratorium mutu belum dilengkapi teknologi pendeteksi isotop berbahaya itu.

“Ini celah besar yang bisa meruntuhkan reputasi pangan laut kita. Dunia sedang mengawasi. Kalau pemerintah tidak transparan, kepercayaan pasar bisa lenyap dalam hitungan minggu,” kata Johan.

Menganggap kasus Cs-137 hanya insiden teknis, lanjut Johan, adalah keliru. Pencemaran laut di Indonesia bukan cerita baru. Banyak wilayah pesisir berbatasan langsung dengan kawasan industri, pelabuhan, atau pertambangan. Sistem pengawasan kualitas air di daerah pesisir pun masih minim.

Lemahnya sistem _traceability_ atau ketertelusuran produk juga memperburuk keadaan. Asal-usul produk, metode budidaya, hingga jalur distribusi sering tidak tercatat dengan baik. Saat terjadi kasus kontaminasi, penelusuran pun jadi mustahil.

Pemerintah perlu berbenah, mulai dari tata ruang laut, pengelolaan pesisir, hingga regulasi industri di sekitar wilayah perairan. Tanpa pengawasan ketat, kontaminasi serupa bisa terus berulang.

Berita Lain