27 Desember 2025
Beranda blog Halaman 336

DPR Dukung Penuh Usulan Kemenhaj Setarakan Masa Tunggu Haji Hingga 27 Tahun

Anggota Komisi VIII DPR RI Aprozi Alam. ANTARA/HO-DPR.
Anggota Komisi VIII DPR RI Aprozi Alam. ANTARA/HO-DPR.

Jakarta, aktual.com – Anggota Komisi VIII DPR RI Aprozi Alam mengapresiasi dan mendukung penuh Kementerian Haji dan Umrah yang mengusulkan kebijakan penyetaraan masa tunggu jamaah haji Indonesia menjadi sekitar 26-27 tahun.

Kebijakan yang bertujuan menyeragamkan antrian dari Aceh hingga Papua ini dinilai memiliki sisi positif sebagai langkah menuju keadilan, namun memerlukan kajian mendalam dan langkah-langkah strategis dari Pemerintah Indonesia untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan.

“Kebijakan ini, jika diterapkan, pada dasarnya menjawab keresahan jamaah di daerah dengan antrian panjang yang merasa haknya tidak setara dengan daerah lain. Ini adalah momentum untuk memperbaiki sistem yang selama ini dianggap timpang,” kata Aprozi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Dalam rapat kerja Kementerian Haji dan Umrah dengan Komisi VII DPR RI Menteri Haji dan Umrah Gus Irfan Yusuf menyatakan bahwa pihaknya akan mengusulkan agar antrian jamaah haji bisa dibuat rata dan adil antardaerah yaitu sekitar 26-27 tahun.

Alasannya karena ada ketidaksesuaian pembagian kuota haji antarprovinsi dengan Undang Undang yang berlaku. Dengan kebijakan ini, maka antrian jamaah haji akan sama dari Aceh sampai Papua.

Sebagai informasi, saat ini terjadi ketimpangan signifikan dalam masa tunggu pemberangkatan haji antarprovinsi di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Agama per akhir 2023, provinsi dengan kuota besar seperti Jawa Barat memiliki masa tunggu yang sangat panjang, mencapai 30-40 tahun.

Sementara itu, beberapa provinsi di Indonesia Timur, seperti Papua Barat, memiliki masa tunggu yang relatif lebih singkat, di bawah 15 tahun. Perbedaan ini terjadi karena sistem kuota haji berdasarkan populasi Muslim (1:1000) dan pembagian antrian yang diatur masing-masing daerah.

Merespon hal tersebut, Aprozi menyatakan bahwa secara prinsip, kebijakan penyetaraan antrian ini selaras dengan semangat keadilan dan pemerataan yang diamanatkan oleh undang-undang. Meski demikian, Ia menekankan bahwa penerapan kebijakan ini tidak sederhana dan penuh dengan tantangan.

“Yang harus kita pahami, kebijakan ini adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan keadilan prosedural. Di sisi lain, ia berpotensi menimbulkan ‘kejutan’ dan ketidakadilan substantif bagi jutaan calon jamaah yang telah lama mengantri dengan ekspektasi berdasarkan sistem lama,” jelasnya.

Aprozi memaparkan beberapa poin kritis yang harus menjadi perhatian serius Pemerintah Indonesia diantaranya potensi terjadinya penyesuaian paksa bagi daerah daerah dengan antrian pendek.

Provinsi-provinsi yang saat ini memiliki masa tunggu 10-15 tahun akan mengalami lonjakan masa tunggu secara drastis menjadi 26-27 tahun.

“Ini bisa menimbulkan kekecewaan dan rasa tidak adil dari calon jamaah di daerah tersebut yang telah berencana berdasarkan perkiraan lama. Pemerintah harus menyiapkan skenario komunikasi publik yang sangat baik untuk hal ini,” ujarnya.

Sementara itu Bagi daerah seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah, kebijakan ini justru akan memotong masa tunggu. Meski positif, hal ini harus diiringi dengan kesiapan infrastruktur pendaftaran, pembinaan, dan pelayanan yang memadai untuk menangani kuota yang mungkin akan bergerak lebih cepat.Kebijakan ini tidak serta merta menambah kuota Indonesia yang tetap berdasarkan perhitungan populasi global.

“Kita harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak malah mengurangi kuota Indonesia secara keseluruhan. Diplomasi yang kuat dengan Pemerintah Arab Saudi tetap kunci untuk mempertahankan dan jika mungkin menambah kuota kita,” kata Aprozi.

Selain itu Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada integrasi dan akurasi data tunggal antar provinsi.

“Kementerian Haji dan Umrah harus memastikan sistem database haji terpadu benar-benar siap, akurat, dan transparan untuk mencegah manipulasi data dan memastikan perpindahan antrian berjalan mulus,” tuturnya.

Sebagai bentuk sikap yang proporsional dan konstruktif, Aprozi Alam dan Komisi VIII DPR RI akan mendorong Kementerian Haji dan Umrah untuk segera membuat pemetaan dampak (impact assessment) yang komprehensif terhadap semua provinsi. Selain itu juga perlu dialog antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan DPRD untuk mensosialisasikan kebijakan ini dan menampung aspirasi masyarakat.

“Kebijakan ini adalah sebuah terobosan yang berani. Tujuan akhirnya mulia, yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tugas kita bersama, terutama Pemerintah dan DPR, adalah memastikan jalan menuju keadilan itu tidak menimbulkan luka baru. Mari kita sambut dengan pikiran terbuka, namun kita kawal dengan sikap kritis dan responsif untuk melindungi hak-hak calon jamaah haji Indonesia,” kata Aprozi.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Kemenhaj Minta DPR Segera Bentuk Panja BPIH

Menteri Haji dan Umrah RI Mochammad Irfan Yusuf. ANTARA/Asep Firmansyah
Menteri Haji dan Umrah RI Mochammad Irfan Yusuf. ANTARA/Asep Firmansyah

Jakarta, aktual.com – Kementerian Haji dan Umrah menargetkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2026 bisa diputuskan pada November 2025, sehingga meminta Komisi VIII DPR RI untuk segera membentuk Panitia Kerja (Panja) BPIH.

“Kita harapkan mungkin November akan sudah ada putusan tentang BPIH-nya,” ujar Menteri Haji dan Umrah Mochammad Irfan Yusuf di Jakarta, Rabu (1/10).

Irfan mengatakan percepatan penetapan BPIH diperlukan agar jamaah calon haji reguler dapat segera melunasi biaya haji dan mempersiapkan diri lebih awal.

Pemerintah Indonesia mendapatkan kuota haji sebanyak 221 ribu orang, yang terbagi atas 203.320 kuota reguler dan 17.680 kuota haji khusus. Jumlah itu sama seperti tahun sebelumnya dan menjadi kuota tetap yang diberikan Pemerintah Arab Saudi tiap tahunnya.

“Sehingga calon jamaah kita bisa segera melunasinya, kemudian semua persiapan akan segera berjalan,” kata dia.

Irfan mengatakan pemerintah juga terus berupaya menurunkan biaya haji 2026 sesuai arahan Presiden Prabowo. Nantinya Kementerian Haji dan Umrah akan menyisir komponen-komponen yang dinilai bisa menurunkan biaya haji.

Apalagi Kementerian Haji dan Umrah, kata dia, memandang ada 10 komponen pengadaan barang dan jasa, baik dari dalam maupun luar negeri, yang diduga terjadi kebocoran dan membuat biaya haji tinggi.

“Ya pada prinsipnya terkait dengan BPIH karena sesuai dengan perintah Presiden, kami berharap bisa bareng-bareng bahas dengan DPR itu bisa menurunkan BPIH,” ujar Irfan.

Terkait pembagian kuota haji per provinsi, Irfan Yusuf menekankan pentingnya penetapan kuota berdasarkan amanat Undang-Undang. Ia menyebut selama ini pembagian kuota per provinsi menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Penetapan kuota harus merujuk daftar tunggu, agar prinsip keadilan bisa ditegakkan. Ke depan, tidak ada lagi daerah yang antre sampai 48 tahun, semuanya akan setara menunggu 26 tahun,” kata Irfan Yusuf

Ia juga memastikan kuota untuk haji khusus tetap mengacu pada proporsi yang ada, yakni delapan persen dari total kuota nasional.

“Haji khusus tetap tidak bisa langsung berangkat. Tetap harus mengikuti antrean, paling lama sekitar lima tahun,” kata dia.

Pemerintah dan DPR, kata dia, berkomitmen untuk menerapkan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan ibadah haji, baik untuk jalur reguler maupun khusus.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

SOROTAN: PPP dan Luka Lama yang Berulang

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali terguncang oleh prahara internal. Muktamar X yang semestinya menjadi forum konsolidasi justru menyisakan luka perpecahan. Klaim ganda atas kursi ketua umum, antara Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto, memperlihatkan wajah lama PPP: partai yang tak kunjung lepas dari konflik kepemimpinan.

Bagi publik, drama ini bukan lagi tontonan baru. Sejak era Hamzah Haz hingga Romahurmuziy, PPP berkali-kali terjebak dalam pertikaian elite. Ironis, partai yang lahir dari fusi politik Islam ini justru kesulitan menghadirkan teladan musyawarah yang menjadi nilai dasar perjuangannya.

Kementerian Hukum dan HAM mungkin sudah memberi legitimasi formal pada kubu Mardiono. Namun legitimasi politik sejatinya tidak lahir dari segel pemerintah, melainkan dari kepercayaan kader dan simpatisan. Di titik inilah PPP menghadapi ancaman paling serius, yaitu kepercayaan dari basis pemilihnya.

Sebagian DPC di daerah sampai harus meminta maaf kepada konstituen. Itu sinyal kuat bahwa akar rumput merasa dikhianati oleh elit yang sibuk berebut kursi, alih-alih menunaikan amanah perjuangan umat.

PPP harus ingat, di tengah penurunan suara pada Pemilu 2024, kisruh semacam ini hanya akan mempercepat proses marginalisasi mereka dalam peta politik nasional.

Usulan muktamar ulang bisa menjadi jalan keluar, tetapi hanya jika dilandasi tekad tulus untuk islah. Tanpa itu, forum serupa hanya akan menjadi panggung rebutan baru. PPP tidak kekurangan tokoh, tapi krisis kepemimpinan lah yang membuat partai ini kian terpuruk.

Pertanyaan yang mencuat, maukah elite PPP belajar dari sejarah panjang konflik internalnya?

Ataukah mereka rela menjadikan partai berlambang Ka’bah ini sekadar catatan kaki dalam politik Indonesia?

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto

BGN Ungkap Keracunan Program MBG Disebabkan SPPG Tidak Patuhi SOP

Tangkapan layar - Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/10/2025). ANTARA/Tri Meilani Ameliya.
Tangkapan layar - Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/10/2025). ANTARA/Tri Meilani Ameliya.

Jakarta, aktual.com – Badan Gizi Nasional (BGN) mengungkap bahwa secara umum kasus keracunan pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG) disebabkan ketidakpatuhan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) terhadap standar operasional prosedur (SOP) yang telah ditetapkan.

“Kita bisa identifikasi bahwa kejadian itu rata-rata karena SOP yang kita tetapkan tidak dipatuhi dengan saksama,” kata Kepala BGN Dadan Hindayana dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/10).

Ia mencontohkan ketidakpatuhan SPPG pada SOP yang telah ditetapkan oleh BGN, di antaranya terkait dengan waktu pembelian bahan baku makanan pada MBG. Dadan mengatakan BGN menetapkan bahwa pembelian makanan harus dilakukan pada H-2 atau dua hari sebelum makanan dimasak. Akan tetapi, masih terdapat SPPG yang membeli bahan baku pada H-4.

Selain itu, ujar Dadan melanjutkan, ada pula ketidakpatuhan SPPG terhadap SOP yang berkenaan dengan rentang waktu penyiapan makanan hingga pengirimannya kepada penerima manfaat di sekolah-sekolah.

Dadan menyampaikan rentang waktu ideal antara proses memasak hingga pengiriman kepada penerima manfaat adalah 6 jam dan paling optimal selama 4 jam. Sementara pada implementasinya, terdapat SPPG yang memakan waktu hingga 12 jam untuk menyiapkan makanan hingga mengirimnya kepada penerima manfaat.

Dari beragam kasus keracunan yang terjadi pada 6.456 penerima manfaat per 30 September 2025, BGN telah menutup sementara SPPG yang tidak mematuhi SOP itu.

“Jadi dari hal-hal seperti itu, kita memberikan tindakan bagi SPPG yang tidak mematuhi SOP dan menimbulkan kegaduhan kita tutup sementara sampai semua proses perbaikan dilakukan,” ucap Dadan.

Lalu, kata dia melanjutkan, pemerintah pun telah menyiapkan langkah mitigasi agar kasus keracunan MBG tidak kembali terulang. Di antaranya terkait dengan persoalan sanitasi.

Pemerintah kini mewajibkan setiap SPPG memiliki Sertifikat Laik Higienis dan Sanitasi (SLHS). Kemudian, seluruh SPPG juga diwajibkan memiliki alat sterilisasi guna memastikan setiap alat makan yang digunakan oleh penerima manfaat dalam keadaan steril.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

PM Qatar Sebut Perlu Ada Pembahasan Terkait Rencana Trump untuk Gaza

Istanbul, aktual.com – Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, Selasa (30/9), mengatakan bahwa beberapa isu dalam rencana Presiden AS Donald Trump untuk Gaza “memerlukan klarifikasi dan negosiasi.”

“Rencana yang diusulkan Trump mencapai tujuan utama dengan mengakhiri perang, tetapi ada beberapa isu yang memerlukan klarifikasi dan negosiasi,” kata Al Thani kepada televisi Al Jazeera yang berbasis di Doha.

“Kami berharap semua orang akan mempertimbangkan rencana tersebut secara konstruktif dan memanfaatkan kesempatan untuk mengakhiri perang,” ujarnya.

Perdana Menteri Qatar itu mengatakan bahwa Doha belum menerima tanggapan Hamas atas rencana tersebut.

“Kami masih belum mengetahui tanggapan Hamas terhadap rencana tersebut, yang membutuhkan konsensus dengan faksi-faksi Palestina,” katanya lagi.

Al Thani mengatakan bahwa mediator Qatar dan Mesir telah menjelaskan kepada Hamas dalam pertemuan pada Senin bahwa tujuan utama mereka adalah menghentikan perang.

“Fokus utama Qatar saat ini adalah bagaimana mengakhiri penderitaan warga Palestina di Gaza,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa prioritas negaranya adalah “mengakhiri perang, kelaparan, dan pengungsian di Gaza.”

“Apa yang disampaikan kemarin adalah prinsip-prinsip dalam rencana yang memerlukan pembahasan rinci dan cara penyelesaiannya,” ujarnya.

PM Qatar itu mengatakan bahwa negara-negara Arab dan Islam telah melakukan segala upaya “untuk memastikan bahwa warga Palestina tetap berada di tanah mereka dan mencapai solusi dua negara.”

“Fase saat ini penting dan merupakan bagian dari negosiasi yang tidak diharapkan menghasilkan bahasa yang sempurna. Jalan yang ada saat ini harus dibangun dan dibuat efektif serta berhasil,” ujarnya.

Pada Senin (29/9), Trump meluncurkan rencana 20 poin untuk mengakhiri perang Israel di Gaza dalam konferensi pers di Gedung Putih bersama pemimpin Israel Benjamin Netanyahu.

Rencana tersebut menyerukan pembebasan semua tawanan Israel dengan imbalan puluhan tahanan Palestina, pelucutan senjata Hamas sepenuhnya, penarikan pasukan Israel secara bertahap, dan pembentukan komite Palestina yang teknokratis dan apolitis untuk memerintah wilayah tersebut.

Jalan menuju penentuan nasib sendiri dan kenegaraan Palestina diuraikan dalam rencana tersebut sebagai sebuah kemungkinan — tetapi bukan jaminan.

Tentara Israel telah menewaskan lebih dari 66.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, di Gaza sejak Oktober 2023.

Pengeboman yang tak henti-hentinya telah membuat wilayah Gaza tidak layak huni dan menyebabkan kelaparan serta penyebaran penyakit.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Kabar Baik Saja: Budaya ABS dan Bahaya bagi Demokrasi

Oleh Prof. (HC) Dr. Pius Lustrilanang, S.Ip., M.Si.

Jakarta, aktual.com – Beberapa waktu lalu publik dikejutkan oleh pencabutan kartu pers wartawan CNN Indonesia oleh pihak Istana setelah ia mengajukan pertanyaan kritis mengenai program Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Presiden. Peristiwa ini menimbulkan perdebatan luas: apakah ruang kebebasan pers mulai menyempit? Apakah kritik kini dianggap tabu hanya karena mengusik kenyamanan penguasa?

Tak lama berselang, di media sosial beredar gambar satir seorang tokoh dengan ekspresi riang, telinga ditutup rapat, dan lidah menjulur, seolah berkata: “Hanya boleh menerima kabar baik saja! Kabar buruk dilarang masuk telinga!” Satire ini menggambarkan budaya politik yang kian kentara: asal bapak senang (ABS).

Budaya ABS bukan sekadar kelakar. Ia nyata dalam praktik politik: pejabat bawahan segan menyampaikan laporan apa adanya, pers ditekan ketika bertanya kritis, dan masyarakat sipil dipinggirkan. Padahal, dalam demokrasi sehat, kabar buruk justru merupakan vitamin penting untuk memperbaiki tata kelola negara.

Budaya ABS dan Tata Kelola Negara

Robert Klitgaard dalam Controlling Corruption (1988) mengingatkan, korupsi tumbuh subur ketika ada monopoli, diskresi, dan minim akuntabilitas. Budaya ABS memperparah kondisi ini: jalur informasi yang naik ke atas hanya berisi laporan indah nan palsu.

OECD (2016) menegaskan, good governance mustahil terwujud tanpa transparansi. Jika kritik dibungkam—seperti kasus pencabutan kartu pers wartawan—demokrasi kehilangan salah satu instrumen kontrol terpenting. Pers, yang seharusnya menjadi jembatan suara publik, justru dianggap pengganggu.

Psikologi Kekuasaan: Echo Chamber dan Groupthink

Fenomena menutup telinga dari kabar buruk juga dapat dijelaskan dari sisi psikologi. Irving Janis dalam Victims of Groupthink (1972) menyebut, kelompok pengambil keputusan sering gagal karena para anggota lebih sibuk menyenangkan pemimpin ketimbang mengkritisi arah kebijakan.

Di sinilah muncul konsep echo chamber. Secara sederhana, echo chamber adalah ruang gema: hanya suara yang sama dan menyenangkan yang diperdengarkan, sementara suara berbeda dipantulkan keluar. Dalam politik, echo chamber terjadi ketika lingkaran dekat pemimpin hanya menyampaikan kabar baik, sehingga pemimpin terperangkap dalam ilusi keberhasilan. Akibatnya, kebijakan diambil tanpa dasar kenyataan di lapangan.

Daniel Kahneman dalam Thinking, Fast and Slow (2011) menambahkan, manusia cenderung mengalami confirmation bias: hanya menerima informasi yang mengonfirmasi keyakinannya. Dalam konteks ini, kritik wartawan soal MBG mestinya dipandang sebagai masukan berharga. Sayangnya, yang terjadi justru reaksi defensif.

Kebebasan Pers dan Demokrasi

Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999) menegaskan, pers bebas adalah mekanisme vital untuk mencegah bencana. Ia mencontohkan India, yang meski miskin, berhasil menghindari kelaparan besar karena media bebas melaporkan kekurangan pangan. Sebaliknya, kelaparan besar di Cina era Mao terjadi karena kritik dibungkam dan hanya kabar baik yang boleh terdengar.

Dalam konteks Indonesia, laporan Freedom House (2024) menempatkan kebebasan pers kita dalam kategori “sebagian bebas”. Kasus pencabutan kartu pers menjadi ilustrasi nyata: kebebasan ada, tetapi bisa dipangkas seketika jika menyentuh isu sensitif.

Konteks Politik Indonesia: Warisan dan Tantangan

Vedi R. Hadiz (2010) menunjukkan, warisan patrimonialisme membuat pejabat bawahan enggan menyajikan laporan apa adanya. Edward Aspinall dan Marcus Mietzner (2019) menambahkan, meski demokrasi prosedural berjalan, praktik lama masih bertahan: kritik dianggap ancaman stabilitas.

Fenomena ABS masa kini bukan sekadar pewarisan budaya lama, melainkan juga refleksi lemahnya institusi demokrasi. Ketika kritik ditafsir sebagai serangan pribadi, demokrasi hanya tinggal kulitnya.

Mengapa Kritik Itu Perlu

Kabar buruk bukan musuh, melainkan alarm dini. Kritik pers, laporan LSM, atau keluhan masyarakat adalah cermin realitas yang mungkin tidak indah, tetapi krusial untuk perbaikan. Dalam bisnis, laporan kerugian dipakai untuk mengubah strategi. Dalam politik, kritik harus dipakai untuk memperbaiki kebijakan.

Kasus pencabutan kartu pers wartawan CNN menjadi simbol bagaimana mekanisme koreksi dilemahkan. Jika pola ini dibiarkan, rakyat akan menjadi korban utama dari kebijakan yang lahir tanpa uji realitas.

Penutup

Satir visual tentang “kabar baik saja” dan pencabutan kartu pers wartawan CNN sama-sama memberi pesan: ada kecenderungan pemimpin kita makin enggan mendengar kritik. Padahal, demokrasi kehilangan jiwanya bila ruang kritik terus menyempit.

Pemimpin sejati bukanlah yang hanya menerima kabar baik, tetapi yang berani mendengar kabar buruk dan menjadikannya dasar koreksi. Demokrasi membutuhkan pemimpin dengan telinga terbuka, bukan telinga tertutup.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Berita Lain