Jakarta, Aktual.co — Pengekspor kopi Jawa Timur meminta pemerintah menghapus pajak pertambahan nilai 10 persen terhadap komoditas tersebut karena kebijakan itu bisa menekan harga kopi di tingkat petani.
“Selain itu, pemberlakuan PPN 10 persen terhadap kopi berpotensi menurunkan volume ekspor,” kata Ketua Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (Gaeki) Hutama Sugandhi, di Surabaya, Rabu (15/4).
Menurut dia, volume ekspor kopi Jawa Timur tahun ini diprediksi meningkat menjadi 75.000 ton dibandingkan realisasi tahun lalu sebesar 73.000 ton. Volume tersebut sebanyak 80 persen didominasi kopi jenis robusta.
“Pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen untuk komoditas kopi biji bisa merugikan petani. Apalagi, para pedagang besar maupun pengekspor kopi membebankan PPN terhadap pemasok atau petani,” ujarnya.
Di sisi lain, jelas dia, ketika harga jual kopi ditekan maka semangat petani kopi untuk memperbaiki/merawat tanaman tersebut bisa turun. Akibatnya, pengekspor dapat kekurangan barang maka komoditas kopi perlu dikembalikan seperti dulu atau tanpa dikenakan PPN.
“Sementara itu, PPN 10 persen terhadap komoditas kopi diberlakukan mulai tahun lalu berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 24/PJ/2014 atas putusan Mahkamah Agung No. 70/HUM/2013 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas barang hasil pertanian yang dihasilkan dari kegiatan usaha bidang pertanian dan perkebunan,” katanya.
Direktur Utama PT Gemilang Jaya Makmur, perusahaan eksportir kopi di Singosari, Kabupaten Malang, Rudi Sukoyo, menyatakan pengenaan PPN itu bisa berdampak terhadap penurunan volume ekspor kopi Jatim hingga 25 persen. Dampaknya, kalangan eksportir komoditas tersebut menjadi tidak semangat menjalankan bisnisnya mengingat upah pekerjapun tahun ini meningkat lagi.
“Kopi biji mentah seharusnya tidak dikenakan PPN seperti halnya ikan, karena bukan barang jadi/olahan,” katanya.
Ia mencontohkan, di negara penghasil kopi seperti Brazil dan Vietnam tidak memberlakukan PPN terhadap kopi biji. Sementara itu, pengenaan PPN telah menurunkan volume pasokan dari petani sehingga produksi kopi robusta secara nasionalpun turun.
“Padahal, Indonesia dulu merupakan produsen kopi robusta terbesar dunia dan kini telah digeser Vietnam,” katanya.
Pimpinan CV Anugrah Santoso Sejahtera, pedagang besar kopi di Dampit, Kabupaten Malang, Hasan, mengatakan, pengenaan PPN terhadap komoditas kopi terpaksa dikompensasikan terhadap harga kopi di tingkat petani. Apabila, tidak dikenakan PPN, pihaknya bisa beli kopi petani Rp25.000/kilogram jenis robusta.
“Namun, kini kami beli seharga Rp23.500-Rp24.000/kilogram,” katanya.
Sementara, lanjut dia, permintaan kopi robusta maupun arabika di pasar internasional disebutkan masih cukup besar. Akan tetapi tingkat produktivitas lahan kopi rakyat di dalam negeri hanya berkisar 500/kg-750 kg/ha.
“Pemberlakuan PPN atas kopi biji berdampak tertekannya pendapatan petani kopi, di tengah tingginya biaya untuk perawatan dan pemupukan tanaman,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh: