Jakarta, Aktual.co — Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan hidup mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla guna mengubah paradigma kebijakan energi nasional yang masih bergantung kepada batubara.
“Jokowi-JK seharusnya memimpin revolusi energi di Indonesia dengan beralih dari energi kotor batubara ke sumber-sumber energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan, dan itu harus diawali dengan perubahan paradigma kebijakan energi nasional,” kata Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Arif Fiyanto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (15/4).
Menurut Arif Fiyanto, visi Jokowi-JK untuk mencapai kedaulatan energi dinilai tidak mungkin tercapai jika masih menempatkan energi batubara sebagai sumber energi nasional. Ia berpendapat bahwa penggunaan batubara alih-alih mencapai kedaulatan energi, tetapi akan terjadi justru kehancuran lingkungan massif yang disebabkan eksploitasi komoditas tersebut.
Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Hendrik Siregar mengingatkan, batubara merupakan bahan bakar fosil terkotor di dunia dan secara global batubara bertanggung jawab terhadap lebih dari separuh emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim.
Hendrik memaparkan, daya rusak yang disebabkan oleh batubara terjadi sejak dari penambangan, pengangkutan, sampai ke pembakaran batubara di pembangkit listrik.
“Ruang-ruang produktivitas rakyat hanya dihargai pada statistik makro yang tak sebanding dengan penghancuran yang diwariskan,” kata Hendrik Siregar.
Sedangkan Ketua Unit Kajian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, Pius Ginting mengusulkan, momentum jatuhnya harga batubara sebaiknya mendorong pemerintah pusat dan daerah membuat kebijakan membatasi produksi batubara dengan sistem kuota yang jauh lebih kecil dari yang ada selama ini.
Sistem kuota itu, ujar Pius, selayaknya berdasarkan kriteria pemulihan lingkungan dan sosial, bukan kuota berdasarkan keadaan pasar yang fluktuatif dan tak kenal batas.
Sebagaimana diwartakan, kebijakan untuk memberikan subsidi dalam bidang energi seperti untuk listrik dan bahan bakar minyak (BBM) terutama untuk mereka yang membutuhkannya dinilai masih diperlukan untuk mendukung fundamental ekonomi nasional di Tanah Air.
“Subsidi masih diperlukan untuk dukung fundamental ekonomi,” kata Ekonom dari IPMI International Business School Jimmy M Rifai Gani.
Ia mengemukakan, pemerintah mengurangi beban subsidi energi dan menyerahkan mekanisme pasar dalam penentuan harga, seperti naik turunnya tarif listrik mulai 1 Mei 2015 akan mengacu pada kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, harga minyak mentah yang dimiliki Indonesia, serta tingkat inflasi dalam negeri.
Jika pemerintah membuat kebijakan dengan mengacu pada harga pasar yang masih belum stabil, ujar Jimmy, maka rakyat dinilai juga bakal merasakan kenaikan harga berbagai komoditas di saat rupiah semakin melemah atau Indonesia Crude Price (ICP) kembali normal.
Ketika harga minyak dunia anjlok hingga dibawah USD 50 per barel, tambahnya, pemerintah memang memiliki kelonggaran fiskal hingga Rp92 triliun. “Namun, bagaimana jika uang penghematan subsidi itu sudah dialokasikan, sementara harga minyak dunia kembali normal? Jangan main-main, karena kenaikan harga minyak ini berdampak besar, terutama rakyat yang masih di bawah garis kemiskinan,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh: