26 Desember 2025
Beranda blog Halaman 40

Jaksa Kasus Chromebook Sebut Nadiem Diduga Terima Rp809 Miliar

Sidang pembacaan surat dakwaan kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook Kemendikbudristek, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (16/12/2025). (ANTARA/Agatha Olivia Victoria)
Sidang pembacaan surat dakwaan kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook Kemendikbudristek, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (16/12/2025). (ANTARA/Agatha Olivia Victoria)

Jakarta, aktual.com – Jaksa penuntut umum mengungkap dugaan korupsi dalam pengadaan laptop Chromebook dan Chrome Device Management (CDM) pada program digitalisasi pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang disebut menimbulkan kerugian negara mencapai Rp2,1 triliun. Dalam perkara ini, jaksa menyatakan mantan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim diduga menerima aliran dana sebesar Rp809 miliar.

Fakta tersebut terungkap dalam surat dakwaan terhadap terdakwa Sri Wahyuningsih, yang menjabat sebagai Direktur Sekolah Dasar pada Direktorat Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah periode 2020–2021. Pembacaan dakwaan dilakukan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (16/12/2025).

“Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu terdakwa Nadiem Anwar Makarim sebesar Rp 809.596.125.000,” ujar jaksa Roy Riady.

Jaksa menjelaskan, total kerugian negara sebesar Rp2,1 triliun berasal dari dua komponen utama, yakni dugaan kemahalan harga pengadaan Chromebook senilai Rp1.567.888.662.716,74 serta pengadaan CDM yang dinilai tidak diperlukan dan tidak memberikan manfaat dengan nilai Rp621.387.678.730. Selain Nadiem, pengadaan tersebut juga disebut menguntungkan sejumlah pihak dan korporasi lainnya.

Dalam dakwaan, Sri Wahyuningsih disebut melakukan perbuatan tersebut secara bersama-sama dengan Nadiem Anwar Makarim, Mulyatsyah selaku Direktur SMP Kemendikbudristek tahun 2020, Ibrahim Arief alias IBAM sebagai tenaga konsultan, serta mantan staf khusus Nadiem, Jurist Tan, yang kini berstatus buron.

Jaksa menilai proses pengadaan Chromebook dan CDM pada tahun anggaran 2020–2022 tidak dijalankan sesuai dengan perencanaan dan prinsip pengadaan barang dan jasa. Pengadaan dilakukan tanpa evaluasi harga maupun survei kebutuhan yang memadai, sehingga perangkat tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, khususnya di wilayah 3T (terluar, tertinggal, dan terdepan).

“Bahwa terdakwa Sri Wahyuningsih bersama-sama dengan Nadiem Anwar Makarim, Ibrahim Arief alias IBAM, Mulyatsyah, dan Jurist Tan membuat reviu kajian dan analisa kebutuhan peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada program digitalisasi pendidikan yang mengarah pada laptop Chromebook yang menggunakan sistem operasi Chrome (Chrome OS) dan Chrome Device Management tidak berdasarkan identifikasi kebutuhan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia sehingga mengalami kegagalan khususnya daerah 3T,” ujar jaksa.

Nadiem Anwar Makarim juga berstatus sebagai terdakwa dalam perkara ini. Namun, pembacaan dakwaannya dijadwalkan berlangsung pada pekan depan lantaran yang bersangkutan masih menjalani perawatan di rumah sakit.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Tegur Menteri di Depan Publik Pengamat Nilai, Prabowo Kirim Pesan Keras: Jangan Bangun Panggung di Tengah Bencana

Presiden RI Prabowo Subianto saat berdialog dengan warga terdampak bencana di posko pengungsian di kawasan Jembatan Aceh Tamiang, Aceh, Jumat (12/12/2025). ANTARA/HO-Sekretariat Presiden
Presiden RI Prabowo Subianto saat berdialog dengan warga terdampak bencana di posko pengungsian di kawasan Jembatan Aceh Tamiang, Aceh, Jumat (12/12/2025). ANTARA/HO-Sekretariat Presiden

Jakarta, Aktual.com — Kritik Presiden Prabowo Subianto terhadap menteri yang melakukan apa yang disebutnya sebagai “wisata bencana” dinilai bukan sekadar teguran etis. Pernyataan tersebut dibaca sebagai sinyal politik tegas bahwa Presiden tidak menghendaki kabinet bergerak dengan agenda dan panggungnya masing-masing di tengah krisis kemanusiaan.

Dalam penanganan bencana, masyarakat sejatinya adalah “konsumen kebijakan” yang menuntut kehadiran negara secara nyata, bukan simbolik. Ketika pejabat hadir lebih dominan sebagai figur media ketimbang pengambil keputusan, kepercayaan publik tergerus. Kritik Prabowo menjadi koreksi atas praktik politik visual yang berpotensi mereduksi empati menjadi komoditas citra.

Pengamat politik Arifki Chaniago menilai, pernyataan Presiden Prabowo menunjukkan upaya menarik kembali kendali atas narasi dan komunikasi kabinet yang selama ini dinilai berjalan tidak terkonsolidasi. Presiden ingin memastikan kehadiran pejabat di lokasi bencana berada dalam satu komando kebijakan, bukan inisiatif personal yang justru membingungkan publik.

“Tak bisa dipungkiri, dalam situasi bencana sering muncul pejabat yang lebih sibuk membangun citra. Hadir membawa kamera, mengemas kepedulian secara visual, yang pada akhirnya bisa dibaca publik sebagai investasi popularitas,” ujar Arifki, Selasa (16/12/2025).

Namun, menurut Direktur Eksekutif Aljabar Strategic itu, fenomena tersebut juga mencerminkan lemahnya komunikasi negara dalam penanganan krisis. Ketika pemerintah tidak hadir dengan narasi yang solid dan terkoordinasi, ruang itu diisi oleh menteri secara individual untuk menunjukkan kehadiran negara.

Masalah muncul ketika kehadiran tersebut dibarengi produksi konten berlebihan, sehingga niat awal kehilangan legitimasi. “Jika kementerian dan lembaga tidak menjalankan fungsi komunikasinya dengan baik, seluruh sentimen negatif—baik dari oposisi maupun publik—akan bermuara ke presiden,” tegasnya.

Arifki menilai istilah “wisata bencana” dipilih Prabowo secara sadar karena sederhana, kuat secara simbolik, dan mudah dipahami publik. Bahasa itu sekaligus mengunci persepsi dan menjadi peringatan agar menteri berhenti memainkan simbol kemanusiaan.

“Ini pesan internal yang disampaikan secara eksternal. Tegas ke menteri, menenangkan publik, dan menegaskan pusat kendali tetap di Istana,” katanya.

Ia menambahkan, bencana kerap menjadi cermin bagi kabinet. “Terlihat siapa yang benar-benar bekerja untuk negara, siapa yang sekadar berjalan di depan kamera,” tutupnya.

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Penguburan Massal Korban Bencana: Bagaimana Fikih Menyikapi Situasi Darurat?

Ilustrasi: Foto udara pasca banjir bandang di Kabupaten Aceh Tamiang Rabu (3/12/2025). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Ilustrasi: Foto udara pasca banjir bandang di Kabupaten Aceh Tamiang Rabu (3/12/2025). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Jakarta, aktual.com – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kembali memperbarui data korban jiwa akibat rangkaian bencana alam yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hingga laporan terbaru, jumlah korban meninggal dunia tercatat mencapai 1.022 orang. Besarnya jumlah korban ini memunculkan berbagai persoalan kemanusiaan, salah satunya terkait praktik penguburan massal jenazah di wilayah terdampak bencana.

Dalam khazanah fikih Islam, pengurusan dan pemakaman jenazah memiliki aturan yang jelas. Pada kondisi normal (ikhtiyār), setiap jenazah wajib dimakamkan secara terpisah, satu liang kubur untuk satu mayit. Ketentuan ini ditegaskan oleh Imam Syamsuddin ar-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj, yang menyatakan:

(وَلَا يُدْفَنُ اثْنَانِ فِي قَبْرٍ) أَيْ لَحْدٍ وَشَقٍّ وَاحِدٍ ابْتِدَاءً، بَلْ يُفْرَدُ كُلُّ مَيِّتٍ بِقَبْرٍ حَالَةَ الِاخْتِيَارِ لِلِاتِّبَاعِ…الخ

Artinya, “Tidak boleh menguburkan dua jenazah dalam satu kubur, baik dalam satu lahad maupun satu syaqq. Setiap jenazah harus dikuburkan secara terpisah dalam kondisi normal sebagai bentuk mengikuti tuntunan syariat.” (Syamsuddin ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Juz 3, hlm. 11).

Namun demikian, hukum asal ini tidak bersifat kaku. Dalam situasi darurat, seperti bencana alam dengan jumlah korban yang sangat besar serta keterbatasan lahan dan tenaga, ketentuan tersebut dapat mengalami perubahan. Ulama besar Nusantara, Syekh Nawawi al-Bantani, menjelaskan bahwa dalam kondisi semacam ini diperbolehkan menguburkan lebih dari satu jenazah dalam satu liang kubur sesuai tingkat kebutuhan.

نَعَمْ، إِنْ دَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى ذَلِكَ، كَأَنْ كَثُرَتِ الْمَوْتَى وَعَسُرَ إِفْرَادُ كُلِّ مَيِّتٍ بِقَبْرٍ لِضِيقِ الأَرْضِ فَيُجْمَعُ بَيْنَ الِاثْنَيْنِ وَالثَّلَاثَةِ وَالأَكْثَرِ فِي قَبْرٍ وَاحِدٍ بِحَسَبِ الضَّرُورَةِ

Artinya, “Ya, apabila ada keadaan darurat, seperti banyaknya jenazah dan sulit menguburkan masing-masing dalam satu kubur karena keterbatasan lahan, maka boleh menguburkan dua, tiga, atau lebih jenazah dalam satu kuburan sesuai kadar kebutuhan.” (Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, hlm. 163).

Mazhab Syafi’i secara umum menegaskan larangan mengubur dua jenazah atau lebih dalam satu liang kubur dalam kondisi normal. Akan tetapi, larangan tersebut gugur ketika terdapat ḍarūrah, misalnya jumlah korban yang sangat banyak atau ketersediaan lahan pemakaman yang terbatas. Hal ini kembali ditegaskan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam penjelasannya:

وَلَا يَجُوزُ جَمْعُ اثْنَيْنِ فِي قَبْرٍ وَاحِدٍ بَلْ يُفْرَدُ كُلُّ وَاحِدٍ بِقَبْرٍ … نَعَمْ، إِنْ دَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى ذَلِكَ كَأَنْ كَثُرَتِ الْمَوْتَى وَعَسُرَ إِفْرَادُ كُلِّ مَيِّتٍ بِقَبْرٍ لِضَيْقِ الْأَرْضَ…

Artinya, “Tidak boleh mengumpulkan dua jenazah dalam satu liang kubur dan masing-masing harus disendirikan. Namun jika kondisi darurat mengharuskan, seperti jenazah yang sangat banyak dan sulit menyediakan satu liang kubur untuk masing-masing karena keterbatasan area, maka boleh mengumpulkan dua, tiga, atau lebih jenazah sesuai kondisi darurat.” (Nihayatuz Zain, Juz I, hlm. 163).

Menariknya, ulama fikih Syafi’i dari Al-Azhar, Imam Ibnu Qasim al-‘Abadi, memberikan penjelasan yang lebih longgar terkait ukuran “kesulitan” dalam menyediakan liang kubur. Menurutnya, kesulitan tidak harus selalu karena banyaknya jenazah, tetapi juga bisa karena jarak antar kubur yang terlalu berjauhan sehingga menyulitkan untuk diziarahi. Pendapat ini tercantum dalam Hasyiyyah Ibn Qasim al-‘Abadi.

Namun pandangan tersebut dikritik oleh Syekh Abdul Hamid as-Syarwani, ulama Syafi’i yang bermukim di Makkah. Ia lebih memilih pendapat Syekh Ali as-Syabramalisi yang menegaskan bahwa selama masih memungkinkan menyediakan liang kubur terpisah, meskipun di lokasi lain yang lebih jauh, maka penguburan satu jenazah satu kubur tetap wajib dilakukan.

وَفِيهِ نَظَرٌ وَالظَّاهِرُ … فَمَتَى سَهُلَ إفْرَادُ كُلِّ وَاحِدٍ لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ اثْنَيْنِ…

Artinya, “Dalam pendapat Ibn Qasim terdapat kejanggalan. Yang jelas, selama masih mudah menyendirikan setiap jenazah dengan satu liang kubur, maka tidak boleh mengumpulkan dua jenazah dalam satu kubur, meskipun harus menggunakan area lain yang lebih jauh selama masih layak dijadikan pemakaman dan mudah diziarahi.” (Hasyiyyah as-Syarwani, Juz III, hlm. 174).

Adapun terkait praktik menumpuk jenazah satu di atas yang lain dalam penguburan massal, ulama juga memberikan perhatian khusus. Syekh Ali as-Syabramalisi menegaskan bahwa jika jenazah ditumpuk seperti barang, maka pemakaman tersebut boleh bahkan wajib dibongkar untuk ditata ulang sesuai ketentuan syariat, selama memungkinkan.

فَرْعٌ) لَوْ وُضِعَتْ الْأَمْوَاتُ بَعْضُهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ… الْوَجْهُ الْجَوَازُ بَلْ الْوُجُوبُ)

Artinya, “Apabila jenazah diletakkan bertumpuk satu sama lain sebagaimana barang, maka boleh bahkan wajib dilakukan pembongkaran untuk ditata ulang sesuai cara yang dibenarkan syariat, jika tempat memungkinkan.” (Hasyiyyah as-Syarwani, Juz III, hlm. 174).

Dari berbagai pandangan ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa penguburan massal dalam satu liang kubur diperbolehkan dalam kondisi darurat, seperti bencana besar dengan jumlah korban yang sangat banyak atau keterbatasan lahan pemakaman. Namun demikian, syariat tetap menekankan penghormatan terhadap jenazah, termasuk larangan menumpuk mayat layaknya barang. Prinsip darurat memberikan keringanan, tetapi tidak menghilangkan adab dan kehormatan terhadap manusia yang telah wafat.

Wallahu a‘lam.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Inspektorat Setjen MPR RI Gelar Sosialisasi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi Kepada Pejabat Eselon II dan III

Deputi Bidang Pengkajian dan Pemasyarakatan Konstitusi Sekretariat Jenderal MPR RI, Hentoro Cahyono, yang juga menjabat sebagai Pelaksana Harian (Plh) Inspektur, menggelar sosialisasi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi kepada seluruh pejabat eselon II dan III di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR RI di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR RI tersebut, berlangsung di Ruang Rapat Sekretariat Jenderal MPR RI, Senin (15/12/2025). Aktual/DOK MPR RI

Jakarta, aktual.com – Deputi Bidang Pengkajian dan Pemasyarakatan Konstitusi Sekretariat Jenderal MPR RI, Hentoro Cahyono, SH, MH, yang juga menjabat sebagai Pelaksana Harian (Plh) Inspektur, menggelar sosialisasi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi kepada seluruh pejabat eselon II dan III di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR RI.

Kegiatan yang merupakan bagian dari upaya penguatan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR RI tersebut, berlangsung di Ruang Rapat Sekretariat Jenderal MPR RI, Senin (15/12/2025), pukul 13.30 hingga 15.30 WIB.

Dalam pemaparannya, Hentoro menjelaskan bahwa Strategi Nasional Pencegahan Korupsi dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2018. Strategi tersebut menjadi arah kebijakan nasional dalam mencegah praktik korupsi di Indonesia dan menjadi acuan bagi kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah dalam melaksanakan aksi-aksi pencegahan korupsi secara terstruktur dan berkelanjutan.

“Strategi Nasional Pencegahan Korupsi berisi fokus dan sasaran yang harus dijalankan oleh seluruh instansi pemerintah. Ini bukan sekadar dokumen kebijakan, tetapi panduan kerja agar setiap lembaga mampu mencegah korupsi sejak dari hulu,” ujar Hentoro.

Sebagai tindak lanjut dari kebijakan nasional tersebut, Sekretariat Jenderal MPR RI telah membentuk Tim Pengelolaan dan Pemetaan Konflik Kepentingan. Pembentukan tim ini merujuk pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Konflik Kepentingan.

Hentoro menjelaskan bahwa konflik kepentingan merupakan kondisi ketika seorang pejabat publik berada dalam situasi yang dapat memengaruhi objektivitasnya dalam mengambil keputusan atau tindakan. Dalam prinsip dasar pengelolaan konflik kepentingan, pejabat publik dilarang mengambil keputusan atau tindakan apabila berada dalam situasi konflik kepentingan.

Namun demikian, Hentoro menegaskan bahwa keberadaan konflik kepentingan tidak serta-merta berarti pelanggaran hukum. Konflik kepentingan dapat terjadi karena setiap individu memiliki beragam kepentingan yang berpotensi bersinggungan satu sama lain. Oleh karena itu, yang menjadi kunci utama adalah bagaimana konflik kepentingan tersebut dikelola secara transparan dan akuntabel.

“Konflik kepentingan tidak selalu dapat dihindari. Yang terpenting adalah bagaimana pejabat publik atau instansi pemerintah melakukan pengelolaan konflik kepentingan, sehingga keputusan dan tindakan yang diambil tetap bebas dari pengaruh kepentingan pribadi,” kata Hentoro.

Dalam sosialisasi tersebut, Hentoro juga memaparkan jenis-jenis konflik kepentingan, yakni konflik kepentingan aktual atau nyata, serta konflik kepentingan potensial yang berpeluang menimbulkan konflik di kemudian hari. Pemahaman terhadap kedua jenis konflik kepentingan ini dinilai penting agar pejabat publik mampu mengenali sejak dini potensi risiko yang dapat mengganggu integritas pengambilan keputusan.

Lebih lanjut, Hentoro menyampaikan lima rencana aksi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi yang akan dilaksanakan di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR RI. Rencana aksi tersebut meliputi pelaksanaan pemetaan risiko konflik kepentingan di setiap unit kerja, penerbitan peraturan pengelolaan konflik kepentingan di Sekretariat Jenderal MPR RI, serta penerbitan surat keputusan pejabat pengelola konflik kepentingan.

Selain itu, rencana aksi juga mencakup sosialisasi peraturan pengelolaan konflik kepentingan kepada seluruh pegawai, serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap penerapan peraturan tersebut.

Menurut Hentoro, implementasi rencana aksi ini diharapkan mampu memperkuat sistem pencegahan korupsi dan meningkatkan integritas aparatur di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR RI. Dengan demikian, setiap proses pengambilan keputusan dapat dilakukan secara objektif, profesional, dan sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Kegiatan sosialisasi ditutup dengan sesi diskusi dan tanya jawab yang berlangsung interaktif. Para peserta memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memperdalam pemahaman terkait pengelolaan konflik kepentingan serta implementasi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi di unit kerja masing-masing.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano

Prabowo Minta TNI-Polri Bersih-bersih Aparat Terlibat Penyelundupan, Tegaskan Negara Tak Boleh Kalah oleh Korporasi

Presiden Prabowo Subianto memimpin Sidang Kabinet Paripurna bersama para pejabat Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/12/2025). ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Prabowo Subianto memimpin Sidang Kabinet Paripurna bersama para pejabat Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/12/2025). ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden

Jakarta, aktual.com – Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya ketegasan negara dalam mengelola sumber daya nasional dan menolak tunduk pada kepentingan segelintir pihak, termasuk korporasi, terutama setelah bencana yang melanda wilayah Sumatera. Dalam konteks itu, Prabowo menginstruksikan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar mengambil tindakan tegas terhadap aparat yang terlibat praktik penyelundupan.

Arahan tersebut disampaikan Prabowo saat menutup Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Senin (15/12/2025). Ia menilai, peristiwa bencana menjadi pengingat pentingnya disiplin dan ketegasan dalam tata kelola sumber daya nasional.

Prabowo menyoroti maraknya kebocoran akibat aktivitas ilegal, seperti pembalakan liar, pertambangan tanpa izin, dan penyelundupan, yang dinilai telah menimbulkan kerugian besar bagi perekonomian sekaligus merusak lingkungan.

“Pelajaran yang kita simak dari ini semua bahwa kita perlu benar-benar mengelola sumber daya kita. Banyak sekali sumber daya kita yang bocor, sedikit demi sedikit kita tutup,” kata Prabowo.

Ia kemudian menyinggung pengungkapan kasus penyelundupan hasil tambang ilegal di Bangka Belitung yang telah berlangsung cukup lama. Dalam laporan yang diterimanya, disebutkan adanya keterlibatan oknum aparat dari berbagai instansi, termasuk TNI dan Polri.

“Ini mewaspadai kita. Penyelundupan ini menyebabkan kerugian besar bagi ekonomi kita. Contoh dari Bangka, penyelundupan timah yang sudah berjalan cukup lama. Saya juga dapat laporan dari penegak hukum, dari TNI sendiri melaporkan ada pejabat-pejabat, ada petugas TNI yang terlibat, dapat laporan juga petugas Polri terlibat, dan beberapa instansi,” ujarnya.

Karena itu, Prabowo secara khusus meminta Panglima TNI dan Kapolri untuk tidak ragu menindak tegas aparat yang terbukti melindungi praktik penyelundupan maupun kegiatan ilegal lainnya.

“Ini benar-benar saya harap Panglima TNI dan Kapolri benar-benar menindak aparat-aparatnya yang melindungi kegiatan penyelundupan ini. dan juga kegiatan-kegiatan ilegal, pelanggaran hukum, ini harus kita hadapi dengan serius,” lanjut Prabowo.

Lebih lanjut, Prabowo menegaskan bahwa arah pengelolaan ekonomi dan sumber daya alam harus selaras dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Ia mengingatkan bahwa negara tidak boleh dikendalikan oleh kepentingan korporasi.

“Tidak boleh ada korporasi yang mengalahkan negara. Kita butuh korporasi, kita butuh dunia usaha swasta, tetapi dia tidak boleh mengatur negara dan mengalahkan negara,” tegasnya.

Prabowo kembali menekankan prinsip konstitusional bahwa kekayaan alam Indonesia harus dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” ucapnya.

Ia juga mengungkapkan sejumlah langkah konkret yang telah diambil pemerintah, termasuk pencabutan dan penguasaan kembali jutaan hektare lahan konsesi serta penghentian sementara penerbitan dan perpanjangan izin baru di sektor kehutanan dan pertambangan guna dilakukan evaluasi menyeluruh.

“Pemerintah sudah 4 juta hektare sudah kita kuasai kembali, sudah kita cabut, dan tahun ini tidak ada satu pun izin yang dikeluarkan atau diperpanjang,” kata Prabowo.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Kasus Kayu Gelondongan di Tapanuli Naik Penyidikan, Polisi Usut Kejahatan Lingkungan hingga TPPU

Warga mengamati sampah kayu gelondongan pascabanjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). ANTARA FOTO/Yudi Manar/agr/am.
Warga mengamati sampah kayu gelondongan pascabanjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). ANTARA FOTO/Yudi Manar/agr/am.

Jakarta, aktual.com – Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri resmi meningkatkan penanganan temuan kayu gelondongan di wilayah Garoga, Tapanuli Utara, dan Anggoli, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, ke tahap penyidikan. Aparat menelusuri dugaan pelanggaran hukum di bidang lingkungan hidup hingga tindak pidana pencucian uang.

“Kami terapkan, tindak pidana lingkungan hidup, kemudian pencucian uang, sekaligus nanti pertanggungjawaban perorangan ataupun korporasi,” kata Dirtipidter Bareskrim Polri Brigjen Mohammad Irhamni kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (16/12/2025).

Irhamni mengungkapkan, penyidik tengah mendalami keterlibatan satu korporasi terkait kayu gelondongan yang terbawa banjir bandang di kawasan Tapanuli, Sumatera Utara. Kayu tersebut diduga berasal dari aktivitas pembukaan lahan oleh PT TBS.

Menurutnya, perusahaan tersebut diduga tidak mematuhi ketentuan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) dalam proses pembukaan lahan. Aktivitas itu disinyalir telah berlangsung sejak sekitar satu tahun lalu.

“Kurang lebih, kalau sesuai keterangan, setahun yang lalu. Tetapi kami coba dengan bukti-bukti, ada dokumen, perencanaan dan sebagainya, kami coba teliti lagi,” tutur Irhamni.

Meski demikian, ia menegaskan bahwa hingga kini belum ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka. “Masih proses untuk penetapan tersangka,” lanjutnya.

Irhamni juga membuka peluang untuk menyelidiki korporasi lain yang diduga melakukan pembukaan lahan di kawasan hulu Sungai Aek Garoga.

“Terkait korporasi yang masih kami dalami adalah satu korporasi. Kebetulan kan hulu ini sepanjang 120 kilometer. Kami berusaha untuk memaksimalkan untuk mengetahui korporasi apa saja atau kegiatan apa saja sepanjang hulu tersebut,” terangnya.

Sementara itu, Direktur D Jampidum Kejaksaan Agung, Sugeng Riyanta, menyampaikan bahwa pihaknya telah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Bareskrim.

“Kejaksaan selaku penuntut umum sudah mendapatkan surat perintah pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik Ditiipidter atas dugaan tindak pidana di bidang lingkungan hidup yang terjadi di seputaran Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, yang dilakukan oleh sebuah korporasi,” ucap Sugeng.

Ia menilai perkara tersebut tidak hanya menyangkut pelanggaran lingkungan, tetapi juga berdampak langsung pada terjadinya bencana.

“Ini yang kemudian menjadi titik bahwa perbuatan ini tidak sekedar hanya tindak pidana di bidang lingkungan hidup, tapi yang utama adalah mengakibatkan bencana. Patut diduga ada faktor sebab akibat di situ,” lanjutnya.

Sugeng menambahkan, jaksa akan menghimpun dan meneliti fakta-fakta yang diperoleh penyidik agar penanganan perkara dapat berjalan efektif hingga tahap penuntutan.

“Penyidik menggandeng penuntut umum sejak awal. Tujuannya satu, kita ingin menegakkan hukum ini dengan benar, berkualitas, dan jangan sampai ada ego sektoral, apalagi berkas bolak-balik,” tegasnya.

Selain Bareskrim dan Kejaksaan, penyidikan juga melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga terkait, seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Komisi Pemberantasan Korupsi, serta auditor negara.

“Melibatkan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) juga. BPKP untuk menghitung nilai kerugian lingkungan ini, berapa besar, ya kan? Itu harus dihitung oleh ahli auditor,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Berita Lain