Jakarta, Aktual.co — Jakarta, Aktual.co — Keseharian Ari tidak pernah lepas dari makan kecil, bahkan ia mengaku di rumahnya harus selalu tersedia berbagai jenis camilan mulai dari cokelat, keripik, hingga kue-kue kering.
“Mulut tidak bisa berhenti ‘ngemil’, jadi harus tersedia makanan kecil di rumah,” kata ibu tiga anak itu.
Alhasil bobot tubuhnya seberat 70 kg memang terlihat tidak seimbang dengan tinggi badan yang hanya mencapai 158 cm.
Sebenarnya hampir sebagian besar orang juga sama seperti Ari, tidak bisa berhenti makan makanan kecil atau biasa disebut ngemil.
Cemilan yang dijual di pasaran saat ini sudah demikian beragam, tapi rata-rata mengandung pengawet, pemanis buatan, pewarna dan tinggi kadar gula serta garam.
Bukan hanya itu, di zaman yang serba modern saat ini, makanan instan juga menjadi pilihan dengan alasan kepraktisan. Padahal, lagi-lagi makanan instan tentunya ditambah dengan berbagai bahan buatan baik itu pemanis, pewarna, pengawet bahkan tinggi lemak.
Tidak heran saat ini terutama di perkotaan, semakin banyak orang mengalami kelebihan berat badan atau obesitas dan muncul berbagai penyakit degeneratif.
Terutama konsumsi gula dan garam yang tidak bisa lepas dari keseharian karena berbagai makanan yang dikonsumsi tentunya mengandung gula serta garam.
Gula dan garam sebetulnya juga dibutuhkan oleh tubuh manusia, namun kadarnya yang perlu diatur, sehingga tidak berlebihan di konsumsi.
Tapi konsumsi makanan instan dan makanan ringan yang terlalu sering tanpa disadari memicu tingginya jumlah gula serta garam dalam tubuh.
Atur Konsumsi Ahli gizi Emilia Achmadi mengatakan konsumsi garam dan gula harus diatur sesuai kebutuhan yang sudah ditentukan untuk mencegah penyakit degeneratif.
“Sebenarnya garam dan gula bukan musuh, bukan sama sekali tidak dikonsumsi tapi harus sesuai ketentuan,” ungkap Emilia, beberapa waktu lalu pada diskusi edukasi garam dan gula Emilia mengatakan masyarakat awam menilai garam dan gula adalah musuh yang bisa menyebabkan berbagai macam penyakit seperti jantung koroner, hipertensi dan diabetes melitus.
“Itu tidak benar, penyakit-penyakit itu bukan disebabkan garam dan gula, tapi akibat pola makan yang salah,” ucap Emilia.
Penyakit-penyakit tidak menular itu saling berkaitan karena tidak muncul secara tiba-tiba, tapi akumulasi dari perilaku hidup dan pola makan yang tidak terkontrol.
“Jadi jangan heran diabetes melitus, jantung, sampai stroke saat ini menyerang usia muda, karen pola makan yang tidak sehat,” tambah dia.
Untuk itu yang harus diperhatikan selain pola makan adalah berat badan, karena kelebihan berat badan bisa memicu berbagai penyakit tersebut.
Dia menjelaskan konsumsi garam berdasarkan standar yang dibutuhkan tubuh adalah lima gram atau 2.000 miligram hingga 2.400 miligram atau setara dengan satu sendok teh per hari.
Sedangkan konsumsi gula sesuai standar internasional adalah maksimal 50 gram per hari atau setara dengan 3-5 sendok makan.
“Kita kadang tidak sadar dengan makanan yang kita konsumsi, gula dan garam bukan hanya berasal dari gula dan garam itu sendiri, tapi juga dari makanan lain sehingga tanpa sadar kita konsumsi melebihi yang dibutuhkan tubuh,” jelas Emilia.
Namun, gula dan garam juga diperlukan oleh tubuh sehingga sama sekali tidak boleh dihilangkan dari asupan sehari-hari.
Karena 50 persen asupan energi manusia dari karbohidrat yang diproses menjadi gula, sedangkan garam dibutuhkan karena semua fungsi syaraf memerlukan sodium.
Perlu Edukasi Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Ekowati Rahajeng mengatakan masyarakat perlu diedukasi agar tidak berlebihan mengkonsumsi garam dan gula.
“Saat ini penyakit degeneratif penyebab 60 persen kematian dan cenderung dialami usia muda,” tutur Ekowati.
Penyakit degeneratif seperti jantung, hipertensi, dan diabetes melitus saat ini semakin meningkat dan tidak lagi hanya diderita usia lanjut, tapi juga anak-anak karena pola konsumsi yang salah.
Sejak usia dini anak sudah mengkonsumsi gula dan garam secara berlebihan, sehingga memicu penyakit-penyakit tersebut akibat pola hidup dan pola konsumsi yang serba instan.
Di Indonesia, makanan dan minuman berkadar gula dan garam tinggi masih banyak dikonsumsi masyarakat.
Berdasarkan data Susenas 2011 konsumsi gula mencapai 1.416 kg/kap/minggu dan konsumsi garam sebesar 311 kh/kap/minggu.
Selain pola konsumsi yang tinggi gula dan garam, faktor pemicu penyakit degeneratif adalah kurangnya aktivitas fisik dan merokok.
Cermati Label Kemasan Di samping edukasi mengenai konsumsi gula dan garam, ahli gizi Emilia Achmadi juga mengatakan, masyarakat perlu mencermati label informasi nilai gizi makanan maupun minuman dalam kemasan, sehingga sesuai dengan yang dibutuhkan oleh tubuh.
“Kalau belanja makanan kemasan, harus perhatikan labelnya,” kata Emilia.
Emilia mengatakan, yang pertama sekali harus dilihat adalah takaran sajian. Jika makanan dalam kemasan ditentukan untuk beberapa kali saji maka tidak boleh dimakan sekaligus dalam satu waktu karena nilai gizinya akan berlebihan.
“Misalnya, susu satu liter untuk empat kali saji, jika diminum sekaligus maka bisa dihitung kalori, gula dan lemaknya empat kali lipat dan melebihi kebutuhan tubuh dalam sehari,” tukasnya.
Selanjutnya yang harus dilihat adalah jumlah kalori dan harus diperhatikan juga lemak total dari kalori tersebut.
Menurut dia kandungan lemak, kolesterol dan garam harus rendah, yang ideal adalah di bawah 20 persen.
Menurut Emilia, mencermati label makanan kemasan sangat penting karena di zaman serba instan saat ini makanan cepat saji menjadi pilihan banyak orang sementara kandungan gizi, garam dan gulanya sebagian besar tidak sesuai ketentuan.
Hal senada disampaikan Kasubdit Standarisasi Pangan Khusus Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Yusra Egayanti.
Yusra memberikan beberapa tips agar aman mengkonsumsi makanan kemasan pertama melihat produk terdaftar atau tidak di BPOM.
“Kalau terdaftar berarti aman, artinya sudah memenuhi kriteria yang ditentukan,” kata Yusra.
Selain itu, berbelanja sesuai kebutuhan, memerhatikan tanggal kedaluwarsa dan terpenting memperhatikan nilai gizi.
Artikel ini ditulis oleh: