27 Desember 2025
Beranda blog Halaman 40623

Zulkifli Beri Tanda Centang Revisi Kawasan Hutan Riau

Jakarta, Aktual.co — Ketua Majelis Permusyaratan Rakyat Zulkifli Hasan disebut memberikan tanda centang terhadap persetujuan perubahan luas Kawasan Bukan Hutan di Provinsi Riau.
“Pada pertemuan itu Zulkfili Hasan memberikan tanda centang persetujuan terhadap sebagian kawasan yang diajukan dalam surat tersebut,” kata anggota JPU KPK Ikhsan Fernandi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (15/12).
Hal tersebut terungkap dalam sidang pembacaan dakwaan terhadap Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Riau Gulat Medali Emas Manurung yang didakwa memberikan uang sejumlah 166.100 dolar AS (sekitar Rp2 miliar) kepada Gubernur Riau 2014-2019 Annas Mamun agar Annas memasukkan areal kebun sawit milik Gulat dan teman-temannya di kabupaten Kuantan Singingi seluas 1.188 hektar dan Bagan Sinembah di kabupaten Rokan Hilir seluas 1.214 hektar ke dalam surat revisi usulan perubahan luas bukan kawasan hutan di provinsi Riau.
Pertemuan yang dimaksud terjadi antara Wakil Gubernur Riau Arsyad Juliandi Rachman, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Riau Yafiz, Kepala dinas Kehutanan Riau Irwan Effendy dan Kabid Planalogi Dinas Kehutanan Cecep Iskandar yang memberikan Surat Gubernur Riau No 050/Bappeda/58.13 tangal 12 Agustus 2014 perihal Mohon Pertimbangan Perubahan Luas Kawasan Bukan Hutan di provinsi Riau dalam Keputusan Penunjukkan Kawasan Hutan Sesuai hasil Rekomendasi tim terpadu kepada Zulkifli Hasan pada 14 Agustus 2014.
Peruntukkan SK tersebut antara lain untuk jalan tol, jalan provinsi, kawasan Candi Muara Takus dan perkebunan rakyat miskin seluas 1.700 hektar di kabupateng Rokan Hilir.
“Selain itu Zulkifil Hasan secara lisan memberikan tambahan perluasan kawasan hutan menjadi bukan hutan provinsi Riau maksimal 30 ribu hektar,” tambah Ikhsan.
Zulkifli sebelumnya sudah menerbitkan SK Menhut tertanggal 8 Agustus 2014 bernomor SK.673/Menhut-II/2014 berisi Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi BUkan Kawasan Hutan seluas 1.638.249 hektar, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 717.543 hektar dan Penunjukkan Bukan Kawasan Hutan menjadi Kawasan Hutan seluas 11.552 hektar di provinisi Riau.
Zulkifli memberikan surat tersebut pada acara peringan hari ulang tahun provinsi Riau pada 9 Agustus 2014 di Riau.
“Dalam pidatonya pada acara HUT Provinsi Riau, Zulkifli Hasan memberikan kesempatan kepada masyarakat melalui pemerintah daerah provinsi Riau untuk mengajukan permohonan revisi jika terdapat daerah atau kawsan yang belum terakomodir dalam SK tersebut,” kata ketua jaksa penuntut umum KPK Kresno Anto Wibowo.
Revisi dari Annas sebagai respon SK Menhut itulah yang disetujui oleh Zulkifli pada 14 Agustus 2014.
Karena Gulat mengetahui ada revisi terhadap SK Menhut tersebut, maka Gulat menemui Annas untuk meminta bantuan agar areal kebun sawit miliknya dan teman-temannya dimasukkan dalam usulan revisi kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan padahal setelah dilakukan pengukuran ternyata ada beberapa kawasan yang tidak bisa dimasukkan ke dalam usulan revisi karena merupakan kawasan hutan lindung, namun Gulat meminta agar tetap dimasukkan ke dalam usulan.
Namun Annas tetap menandatangani SK Gubernur Riau No 050/Bappeda/8516 yang telah memasukkan areal perkebunan sawit untuk diubah dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan/APL sebagaimana diminta Gulat.
Annas pun memerintahkan Cecep untuk mengantarkan SK tersebut pada 19 September 2014 kepada Direktur Perencanaan Kawasan Hutan Kemenhut Mashud di Jakarta.
Sebagai imbalannya, Annas meminta agar Gulat memberikan uang sebesar Rp2,9 miliar terkait pengurusan usulan revisi tersebut.
“Untuk memenuhi permintaan Annas, terdakwa hanya mampu menyiapkan uang sejumlah 166.100 dolar AS atau setara Rp2 miliar yang diperoleh terdakwa dari Edison Marudut Marsadauli sebesar 125.000 dolar AS atau setara Rp1,5 miliar dan sisanya sebesar sekitar 41.100 dolar AS atau setara Rp500 juta adalah uang milik terdakwa sendiri, terdakwa membawa uang tersebut ke Jakarta untuk diserahkan kepada Annas Maamun,” ungkap anggota JPU Agus Prasetya Raharja.
Edison Marudut Marsadauli adalah Direktur utama PT Citra Hokiana Triutama yang bergerak di bidang konstruksi yang juga wakil bendahara Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat Riau.
Penyerahan uang 166.100 dolar AS yang dimuat dalam tas hitam merek Polo dilakukan pada 24 September 2014 oleh Gulat ditemani temannya, Edi Ahmad di rumah Annas di Perumahan Citra Gran Blok RC 3 No 2 Cibubur Jawa Barat.
Namun Annas meminta Gulat untuk menukarkannya menjadi dolar Singapura sehingga Gulat pun menukarkan uang itu menjadi 156 dolar Singapura ditambah Rp500 juta pada 25 September 2014.
Setelah sampai di rumah Annas, Gulat membawa tas ransel warna hitam merek Bodypack dan tas itu disimpan di dalam kamar Annas.
“Beberapa saat kemudian, Annas keluar dari kamar dan menyerahkan sebagian dari uang yang telah diterimanya tersebut yaitu sejumlah Rp60 juta kepada terdakwa,” ungkap jaksa.
Tidak lama kemudian, datang petugas KPK melakukan penangkapan terhadap terdakwa dan Annas Maamun dengan barang bukti 156.000 dolar AS di rumah Annas dan Rp60 juta dari dalam tas Gulat.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby

Zulkifli Beri Tanda Centang Revisi Kawasan Hutan Riau

Jakarta, Aktual.co — Ketua Majelis Permusyaratan Rakyat Zulkifli Hasan disebut memberikan tanda centang terhadap persetujuan perubahan luas Kawasan Bukan Hutan di Provinsi Riau.
“Pada pertemuan itu Zulkfili Hasan memberikan tanda centang persetujuan terhadap sebagian kawasan yang diajukan dalam surat tersebut,” kata anggota JPU KPK Ikhsan Fernandi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (15/12).
Hal tersebut terungkap dalam sidang pembacaan dakwaan terhadap Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Riau Gulat Medali Emas Manurung yang didakwa memberikan uang sejumlah 166.100 dolar AS (sekitar Rp2 miliar) kepada Gubernur Riau 2014-2019 Annas Mamun agar Annas memasukkan areal kebun sawit milik Gulat dan teman-temannya di kabupaten Kuantan Singingi seluas 1.188 hektar dan Bagan Sinembah di kabupaten Rokan Hilir seluas 1.214 hektar ke dalam surat revisi usulan perubahan luas bukan kawasan hutan di provinsi Riau.
Pertemuan yang dimaksud terjadi antara Wakil Gubernur Riau Arsyad Juliandi Rachman, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Riau Yafiz, Kepala dinas Kehutanan Riau Irwan Effendy dan Kabid Planalogi Dinas Kehutanan Cecep Iskandar yang memberikan Surat Gubernur Riau No 050/Bappeda/58.13 tangal 12 Agustus 2014 perihal Mohon Pertimbangan Perubahan Luas Kawasan Bukan Hutan di provinsi Riau dalam Keputusan Penunjukkan Kawasan Hutan Sesuai hasil Rekomendasi tim terpadu kepada Zulkifli Hasan pada 14 Agustus 2014.
Peruntukkan SK tersebut antara lain untuk jalan tol, jalan provinsi, kawasan Candi Muara Takus dan perkebunan rakyat miskin seluas 1.700 hektar di kabupateng Rokan Hilir.
“Selain itu Zulkifil Hasan secara lisan memberikan tambahan perluasan kawasan hutan menjadi bukan hutan provinsi Riau maksimal 30 ribu hektar,” tambah Ikhsan.
Zulkifli sebelumnya sudah menerbitkan SK Menhut tertanggal 8 Agustus 2014 bernomor SK.673/Menhut-II/2014 berisi Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi BUkan Kawasan Hutan seluas 1.638.249 hektar, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 717.543 hektar dan Penunjukkan Bukan Kawasan Hutan menjadi Kawasan Hutan seluas 11.552 hektar di provinisi Riau.
Zulkifli memberikan surat tersebut pada acara peringan hari ulang tahun provinsi Riau pada 9 Agustus 2014 di Riau.
“Dalam pidatonya pada acara HUT Provinsi Riau, Zulkifli Hasan memberikan kesempatan kepada masyarakat melalui pemerintah daerah provinsi Riau untuk mengajukan permohonan revisi jika terdapat daerah atau kawsan yang belum terakomodir dalam SK tersebut,” kata ketua jaksa penuntut umum KPK Kresno Anto Wibowo.
Revisi dari Annas sebagai respon SK Menhut itulah yang disetujui oleh Zulkifli pada 14 Agustus 2014.
Karena Gulat mengetahui ada revisi terhadap SK Menhut tersebut, maka Gulat menemui Annas untuk meminta bantuan agar areal kebun sawit miliknya dan teman-temannya dimasukkan dalam usulan revisi kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan padahal setelah dilakukan pengukuran ternyata ada beberapa kawasan yang tidak bisa dimasukkan ke dalam usulan revisi karena merupakan kawasan hutan lindung, namun Gulat meminta agar tetap dimasukkan ke dalam usulan.
Namun Annas tetap menandatangani SK Gubernur Riau No 050/Bappeda/8516 yang telah memasukkan areal perkebunan sawit untuk diubah dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan/APL sebagaimana diminta Gulat.
Annas pun memerintahkan Cecep untuk mengantarkan SK tersebut pada 19 September 2014 kepada Direktur Perencanaan Kawasan Hutan Kemenhut Mashud di Jakarta.
Sebagai imbalannya, Annas meminta agar Gulat memberikan uang sebesar Rp2,9 miliar terkait pengurusan usulan revisi tersebut.
“Untuk memenuhi permintaan Annas, terdakwa hanya mampu menyiapkan uang sejumlah 166.100 dolar AS atau setara Rp2 miliar yang diperoleh terdakwa dari Edison Marudut Marsadauli sebesar 125.000 dolar AS atau setara Rp1,5 miliar dan sisanya sebesar sekitar 41.100 dolar AS atau setara Rp500 juta adalah uang milik terdakwa sendiri, terdakwa membawa uang tersebut ke Jakarta untuk diserahkan kepada Annas Maamun,” ungkap anggota JPU Agus Prasetya Raharja.
Edison Marudut Marsadauli adalah Direktur utama PT Citra Hokiana Triutama yang bergerak di bidang konstruksi yang juga wakil bendahara Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat Riau.
Penyerahan uang 166.100 dolar AS yang dimuat dalam tas hitam merek Polo dilakukan pada 24 September 2014 oleh Gulat ditemani temannya, Edi Ahmad di rumah Annas di Perumahan Citra Gran Blok RC 3 No 2 Cibubur Jawa Barat.
Namun Annas meminta Gulat untuk menukarkannya menjadi dolar Singapura sehingga Gulat pun menukarkan uang itu menjadi 156 dolar Singapura ditambah Rp500 juta pada 25 September 2014.
Setelah sampai di rumah Annas, Gulat membawa tas ransel warna hitam merek Bodypack dan tas itu disimpan di dalam kamar Annas.
“Beberapa saat kemudian, Annas keluar dari kamar dan menyerahkan sebagian dari uang yang telah diterimanya tersebut yaitu sejumlah Rp60 juta kepada terdakwa,” ungkap jaksa.
Tidak lama kemudian, datang petugas KPK melakukan penangkapan terhadap terdakwa dan Annas Maamun dengan barang bukti 156.000 dolar AS di rumah Annas dan Rp60 juta dari dalam tas Gulat.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby

Eksekusi Mati, Jaksa Agung Sebut Terganjal Putusan MK

Jakarta, Aktual.co — Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, masih banyak ganjalan soal eksekusi mati yang sampai saat ini belum dilakukan oleh kejaksaan. Penyebabnya adalah dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan upaya Peninjauan Kembali (PK) diajukan berkali-kali.
“Ada putusan MK yang baru dikatakan PK diajukan tidak hanya sekali. Sekali saja masalah bagi kita untuk laksanakan putusan mati, apalagi ini lebih dari sekali. Pengajuan permohonan PK tanpa batasan waktu itu soalnya. Kita tersandera dengan putusan MK itu,” kata di Istana Wapres, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Senin (15/12).
Meski demikian, Politikus asal Partai Nasdem itu mengaku akan berkoordinasi dengan Mahkamah Agung. Hal tersebut, agar proses eksekusi tidak membingungkan dan mendapat kepastian hukum maka harus ada batasan waktu bagi terpidana untuk mengajukan PK.
“Katakanlah dalam pengajuan PK ada batasan waktu. Grasi saja dibatasi 1 bulan, UU No 22 Tahun 2002 ada batasannya. Seperti grasi, itu dibatasi 1 bulan setelah inkrah. ‎Mau 1 bulan atau 2 bulan, yang penting ada kepastian.”
Prasetyo mengatakan, selain tak adanya batasan waktu, PK yang bisa diajukan berulang itu dianggap membuka peluang bagi para napi untuk mengulur waktu eksekusi. Namun demikian, kata dia Kejaksaan tidak bisa melarang kerena hal tersebut merupakan hak narapidana.
“Kalau mereka bilang ada novum (bukti baru) ya kita tunggu. Ada laporan, sudah 2 kali yang bersangkutan ajukan PK. Kami kasih waktu 6 bulan, tapi dibilang nggak cukup. Terkesan mereka mengulur waktu. Itu hak mereka tapi masalah bagi kami.”
Maret 2014 lalu MK mengabulkan permohonan gugatan mantan Ketua KPK Antasari Azhar agar PK bisa diajukan berkali-kali. Hal ini membuat narapidana yang memiliki bukti baru atas kasusnya bisa melakukan upaya hukum. Namun bagi Kejaksaan selaku eksekutor, putusan ini justru membuat kepastian hukum tak jelas. Sebab terpidana bisa terus melakukan upaya hukum tanpa ada batasan waktu.
Terlebih lagi, Kejaksaan akhir tahun ini akan mengeksekusi terpidana mati. Dari puluhan narapidana, hanya sekitar 5 orang yang bisa dieksekusi. Sedangkan puluhan lainnya tak bisa diekesekusi karena masih menunggu hasil putusan PK atau grasi yang mereka ajukan.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu

Eksekusi Mati, Jaksa Agung Sebut Terganjal Putusan MK

Jakarta, Aktual.co — Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, masih banyak ganjalan soal eksekusi mati yang sampai saat ini belum dilakukan oleh kejaksaan. Penyebabnya adalah dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan upaya Peninjauan Kembali (PK) diajukan berkali-kali.
“Ada putusan MK yang baru dikatakan PK diajukan tidak hanya sekali. Sekali saja masalah bagi kita untuk laksanakan putusan mati, apalagi ini lebih dari sekali. Pengajuan permohonan PK tanpa batasan waktu itu soalnya. Kita tersandera dengan putusan MK itu,” kata di Istana Wapres, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Senin (15/12).
Meski demikian, Politikus asal Partai Nasdem itu mengaku akan berkoordinasi dengan Mahkamah Agung. Hal tersebut, agar proses eksekusi tidak membingungkan dan mendapat kepastian hukum maka harus ada batasan waktu bagi terpidana untuk mengajukan PK.
“Katakanlah dalam pengajuan PK ada batasan waktu. Grasi saja dibatasi 1 bulan, UU No 22 Tahun 2002 ada batasannya. Seperti grasi, itu dibatasi 1 bulan setelah inkrah. ‎Mau 1 bulan atau 2 bulan, yang penting ada kepastian.”
Prasetyo mengatakan, selain tak adanya batasan waktu, PK yang bisa diajukan berulang itu dianggap membuka peluang bagi para napi untuk mengulur waktu eksekusi. Namun demikian, kata dia Kejaksaan tidak bisa melarang kerena hal tersebut merupakan hak narapidana.
“Kalau mereka bilang ada novum (bukti baru) ya kita tunggu. Ada laporan, sudah 2 kali yang bersangkutan ajukan PK. Kami kasih waktu 6 bulan, tapi dibilang nggak cukup. Terkesan mereka mengulur waktu. Itu hak mereka tapi masalah bagi kami.”
Maret 2014 lalu MK mengabulkan permohonan gugatan mantan Ketua KPK Antasari Azhar agar PK bisa diajukan berkali-kali. Hal ini membuat narapidana yang memiliki bukti baru atas kasusnya bisa melakukan upaya hukum. Namun bagi Kejaksaan selaku eksekutor, putusan ini justru membuat kepastian hukum tak jelas. Sebab terpidana bisa terus melakukan upaya hukum tanpa ada batasan waktu.
Terlebih lagi, Kejaksaan akhir tahun ini akan mengeksekusi terpidana mati. Dari puluhan narapidana, hanya sekitar 5 orang yang bisa dieksekusi. Sedangkan puluhan lainnya tak bisa diekesekusi karena masih menunggu hasil putusan PK atau grasi yang mereka ajukan.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu

Harry Azhar: Ranah Kerja Beda, BPK-BPKP Tidak Perlu Dilebur

Jakarta, Aktual.co — Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis angkat bicara terkait keinginan Pemerintah untuk melebur BPK dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

“Intinya, kalau BPKP itu wewenang Pemerintah. Kami tidak mengatur BPKP. Tapi Pemerintah tidak bisa mengintervensi kebijakan independen BPK,” kata Ketua BPK Harry Azhar saat ditemui usai rapat kerja (raker) di Gedung BPK, Jakarta, Senin (15/12).

Seperti diketahui, BPK diatur dalam UU No 15/2006 sebagai lembaga tinggi negara yang independen. Sementara, BPKP merupakan lembaga non pemerintah di bawah Presiden yang atur dalam keputusan Presiden No 31/1983.

“Karena itu, peleburan dua badan auditor ini jelas membutuhkan perubahan UU terlebih dahulu,” ujarnya.

Menurutnya, ranah kerja BPK dan BPKP juga berbeda, sehingga tidak perlu dilebur.

“Tidak perlu dilebur. Pola pemeriksaan yang dilakukan BPKP tidak sama dengan BPK. Pola pemeriksaan BPKP itu wewenang pemerintah kepada BPKP namun untuk tindak lanjut harus dilakukan melalui prosedur yang dilakukan penegak hukum,” sebutnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka

Harry Azhar: Ranah Kerja Beda, BPK-BPKP Tidak Perlu Dilebur

Jakarta, Aktual.co — Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis angkat bicara terkait keinginan Pemerintah untuk melebur BPK dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

“Intinya, kalau BPKP itu wewenang Pemerintah. Kami tidak mengatur BPKP. Tapi Pemerintah tidak bisa mengintervensi kebijakan independen BPK,” kata Ketua BPK Harry Azhar saat ditemui usai rapat kerja (raker) di Gedung BPK, Jakarta, Senin (15/12).

Seperti diketahui, BPK diatur dalam UU No 15/2006 sebagai lembaga tinggi negara yang independen. Sementara, BPKP merupakan lembaga non pemerintah di bawah Presiden yang atur dalam keputusan Presiden No 31/1983.

“Karena itu, peleburan dua badan auditor ini jelas membutuhkan perubahan UU terlebih dahulu,” ujarnya.

Menurutnya, ranah kerja BPK dan BPKP juga berbeda, sehingga tidak perlu dilebur.

“Tidak perlu dilebur. Pola pemeriksaan yang dilakukan BPKP tidak sama dengan BPK. Pola pemeriksaan BPKP itu wewenang pemerintah kepada BPKP namun untuk tindak lanjut harus dilakukan melalui prosedur yang dilakukan penegak hukum,” sebutnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka

Berita Lain