30 Desember 2025
Beranda blog Halaman 40961

Baiknya Buang Saja Pasal 33 ke Tempat Sampah

Jakarta, Aktual.co — Kenaikan harga BBM sebesar Rp2.000/liter bulan lalu oleh Pemerintahan telah menimbulkan penolakan yang masif dari kalangan mahasiswa dan rakyat Indonesia. Ke daerah mana pun Sang Presiden berkunjung di Indonesia, pasti selalu ada demontrasi yang “menyambut”. Aksi massa terus terjadi hampir dari semua sektor rakyat. Lusa (10/12) ratusan ribu buruh di seluruh Indonesia akan melakukan aksi mogok yang salah satu isunya juga menolak naiknya harga BBM.
Dari Indonesia Timur malah beberapa waktu lalu telah timbul korban jiwa dari kalangan rakyat yang tengah melakukan perlawanan terhadap kebijakan neoliberal di sektor energi ini. Seorang “pak ogah” di Kota Makassar yang bernama Arief, dari kalangan berpenghasilan minim yang terdampak paling keras oleh pencabutan subsidi BBM, menjadi martir perjuangan rakyat. Sementara Sang Presiden hanya dapat berkata, “Bukan urusan saya!”. Sungguh sadis.
Lalu kira-kira apa yang menjadi urusan dari Presiden? Bukankah melaksanakan Konstitusi adalah hal tersumpah yang melekat pada dirinya sebagai Negarawan? Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan kepada Presiden untuk menyelenggarakan kebijakan energi nasional yang bertujuan “sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Rakyat yang mana? Tentu untuk rakyat kecil seperti almarhum Arief, yang kepada mereka Sila Kelima Pancasila diadakan oleh Proklamator. 
Sang Presiden saat ini harus tahu, bahwa dengan kenaikan harga BBM sebesar 30%, pendapatan puluhan juta jiwa kelas buruh tergerus sebesar 40% (maka wajar bila elemen termaju dari kelas ini terus melawan). Apalagi kelas masyarakat yang penghasilannya tidak tetap, dapat mencapai lebih dari 50%. Untuk kalangan kelas menengah mungkin kurang dari 10% dampaknya (maka wajar bila mereka yang paling permisif). 
Namun untuk kalangan pejabat, seperti presiden, menteri, dan gubernur, dan kalangan kelas pengusaha lainnya, tentu dampaknya terhadap pendapatan mereka hampir tidak terasa (maka wajar dapat keluar istilah-istilah yang melecehkan rakyat, seperti “tidak produktif”, “malas”, dsb dari mulut mereka).
Berdasarkan Pasal 33, mensubsidi rakyat untuk kebutuhan energi mereka sehari-hari adalah mutlak sifatnya bagi penyelenggara Republik. Jika berani menyerahkan harga energi ke pasar, dengan mencabut subsidi, artinya Pemerintah tidak mengerti esensi Pasal 33. 
Dengan terus turunnya harga minyak mentah dunia, terdapat kemungkinan harga BBM saat ini yang sebesar Rp8.500 sudah merupakan harga tanpa subsidi. Hal ini, polemik seputar harga produksi BBM, akan terungkap jika interpelasi parlemen terhadap Pemerintah terealisasi tahun depan. Bila akhirnya ternyata masih terdapat subsidi pada harga BBM, maka Pemerintah dapat selamat dari pemakzulan. Semoga yang terjadi bukan hal yang sebaliknya, dimana akhirnya Pemerintah divonis telah melanggar Pasal 33.
Bagaimanapun, pencabutan subsidi BBM akan menguntungkan pom-pom bensin asing yang sudah bertahun berusaha untuk hidup di Indonesia. Akhirnya, kehendak dari UU Migas 2001 (yang didraft oleh Asing) telah terwujud. Bisnis para korporasi asing terwujud dapat kembali bergairah, karena disparitas harga produk mereka dengan BBM pom Pertamina semakin kecil- sehingga banyak konsumen dari kalangan kelas menengah yang beralih ke pom bensin asing. Inilah semangat dari liberalisasi sektor hilir migas, yang akhirnya dituntaskan di era Pemerintahan sekarang. 
Tapi tidak perlu ditanyakan ke Sang Presiden, mengenai apakah kebijakannya ini bertujuan untuk liberalisasi? Untuk menguntungkan pom-pom bensin asing? Karena pasti jawaban Beliau akan tetap: “Bukan urusan saya!”
Ya, mungkin bukan urusan Beliau, tapi sektor migas Indonesia akan tetap menjadi urusan bagi kekuatan asing. Belum selesai masalah yang ditimbulkan oleh kebijakan pencabutan subsidi BBM, Pemerintah malah berencana melakukan privatisasi terhadap satu-satunya perusahaan migas negara terbesar yang diharapkan dapat menjalankan mandat Pasal 33. Privatisasi, bersama pencabutan subsidi, adalah rumus neoliberal yang sangat ampuh untuk menghancurkan kedaulatan energi nasional. 
Ini mungkin yang kira-kira diharapkan Menteri BUMN dengan penunjukan agen McKinsey (konsultan tertua asal Amerika) menjadi salah satu direktur Pertamina: untuk secepatnya menjual saham-sahamnya pada “publik”. Publik yang tak lain adalah para pemain pasar bebas, dari kapitalis terkaya di Dunia hingga lembaga-lembaga investasi asing yang terus disubsidi oleh kebijakan quantitative easing Bank Sentral Amerika.
Kalau sudah begini niat Pemerintah terhadap kedaulatan energi nasional- liberalisasi dan privatisasi, baiknya buang saja Pasal 33 ke tempat sampah. Bukan urusan Dia, kan?
Penulis: Gde Sandra Aktivis LSP. 

Artikel ini ditulis oleh:

Baiknya Buang Saja Pasal 33 ke Tempat Sampah

Jakarta, Aktual.co — Kenaikan harga BBM sebesar Rp2.000/liter bulan lalu oleh Pemerintahan telah menimbulkan penolakan yang masif dari kalangan mahasiswa dan rakyat Indonesia. Ke daerah mana pun Sang Presiden berkunjung di Indonesia, pasti selalu ada demontrasi yang “menyambut”. Aksi massa terus terjadi hampir dari semua sektor rakyat. Lusa (10/12) ratusan ribu buruh di seluruh Indonesia akan melakukan aksi mogok yang salah satu isunya juga menolak naiknya harga BBM.
Dari Indonesia Timur malah beberapa waktu lalu telah timbul korban jiwa dari kalangan rakyat yang tengah melakukan perlawanan terhadap kebijakan neoliberal di sektor energi ini. Seorang “pak ogah” di Kota Makassar yang bernama Arief, dari kalangan berpenghasilan minim yang terdampak paling keras oleh pencabutan subsidi BBM, menjadi martir perjuangan rakyat. Sementara Sang Presiden hanya dapat berkata, “Bukan urusan saya!”. Sungguh sadis.
Lalu kira-kira apa yang menjadi urusan dari Presiden? Bukankah melaksanakan Konstitusi adalah hal tersumpah yang melekat pada dirinya sebagai Negarawan? Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan kepada Presiden untuk menyelenggarakan kebijakan energi nasional yang bertujuan “sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Rakyat yang mana? Tentu untuk rakyat kecil seperti almarhum Arief, yang kepada mereka Sila Kelima Pancasila diadakan oleh Proklamator. 
Sang Presiden saat ini harus tahu, bahwa dengan kenaikan harga BBM sebesar 30%, pendapatan puluhan juta jiwa kelas buruh tergerus sebesar 40% (maka wajar bila elemen termaju dari kelas ini terus melawan). Apalagi kelas masyarakat yang penghasilannya tidak tetap, dapat mencapai lebih dari 50%. Untuk kalangan kelas menengah mungkin kurang dari 10% dampaknya (maka wajar bila mereka yang paling permisif). 
Namun untuk kalangan pejabat, seperti presiden, menteri, dan gubernur, dan kalangan kelas pengusaha lainnya, tentu dampaknya terhadap pendapatan mereka hampir tidak terasa (maka wajar dapat keluar istilah-istilah yang melecehkan rakyat, seperti “tidak produktif”, “malas”, dsb dari mulut mereka).
Berdasarkan Pasal 33, mensubsidi rakyat untuk kebutuhan energi mereka sehari-hari adalah mutlak sifatnya bagi penyelenggara Republik. Jika berani menyerahkan harga energi ke pasar, dengan mencabut subsidi, artinya Pemerintah tidak mengerti esensi Pasal 33. 
Dengan terus turunnya harga minyak mentah dunia, terdapat kemungkinan harga BBM saat ini yang sebesar Rp8.500 sudah merupakan harga tanpa subsidi. Hal ini, polemik seputar harga produksi BBM, akan terungkap jika interpelasi parlemen terhadap Pemerintah terealisasi tahun depan. Bila akhirnya ternyata masih terdapat subsidi pada harga BBM, maka Pemerintah dapat selamat dari pemakzulan. Semoga yang terjadi bukan hal yang sebaliknya, dimana akhirnya Pemerintah divonis telah melanggar Pasal 33.
Bagaimanapun, pencabutan subsidi BBM akan menguntungkan pom-pom bensin asing yang sudah bertahun berusaha untuk hidup di Indonesia. Akhirnya, kehendak dari UU Migas 2001 (yang didraft oleh Asing) telah terwujud. Bisnis para korporasi asing terwujud dapat kembali bergairah, karena disparitas harga produk mereka dengan BBM pom Pertamina semakin kecil- sehingga banyak konsumen dari kalangan kelas menengah yang beralih ke pom bensin asing. Inilah semangat dari liberalisasi sektor hilir migas, yang akhirnya dituntaskan di era Pemerintahan sekarang. 
Tapi tidak perlu ditanyakan ke Sang Presiden, mengenai apakah kebijakannya ini bertujuan untuk liberalisasi? Untuk menguntungkan pom-pom bensin asing? Karena pasti jawaban Beliau akan tetap: “Bukan urusan saya!”
Ya, mungkin bukan urusan Beliau, tapi sektor migas Indonesia akan tetap menjadi urusan bagi kekuatan asing. Belum selesai masalah yang ditimbulkan oleh kebijakan pencabutan subsidi BBM, Pemerintah malah berencana melakukan privatisasi terhadap satu-satunya perusahaan migas negara terbesar yang diharapkan dapat menjalankan mandat Pasal 33. Privatisasi, bersama pencabutan subsidi, adalah rumus neoliberal yang sangat ampuh untuk menghancurkan kedaulatan energi nasional. 
Ini mungkin yang kira-kira diharapkan Menteri BUMN dengan penunjukan agen McKinsey (konsultan tertua asal Amerika) menjadi salah satu direktur Pertamina: untuk secepatnya menjual saham-sahamnya pada “publik”. Publik yang tak lain adalah para pemain pasar bebas, dari kapitalis terkaya di Dunia hingga lembaga-lembaga investasi asing yang terus disubsidi oleh kebijakan quantitative easing Bank Sentral Amerika.
Kalau sudah begini niat Pemerintah terhadap kedaulatan energi nasional- liberalisasi dan privatisasi, baiknya buang saja Pasal 33 ke tempat sampah. Bukan urusan Dia, kan?
Penulis: Gde Sandra Aktivis LSP. 

Artikel ini ditulis oleh:

BPKD DKI Catat Sepuluh SPKD Dengan Penyerapan Anggaran Rendah

Jakarta, Aktual.co —Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta mencatat sepuluh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI dengan tingkat penyerapan anggaran yang masih tergolong rendah.

“Dari 13 SKPD, ada 10 yang penyerapannya masih rendah atau dibawah 40 persen. Kepada 13 SKPD itu dialokasikan anggaran sebanyak Rp32,8 triliun, tapi yang terserap baru Rp9 triliun atau 27,7 persen,” kata Kepala BPKD DKI Heru Budi Hartono di Jakarta, Selasa (9/12).

Menurut dia, SKPD dengan penyerapan anggaran terendah, yaitu Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI dengan rincian dari total anggaran sebesar Rp2,44 triliun, baru terserap Rp196,6 miliar atau 8 persen.

Kedua, Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI, yakni dari total anggaran Rp6,12 triliun, terserap Rp625,7 miliar atau 10,21 persen. Ketiga, Dinas Perhubungan DKI, yaitu dari total anggaran Rp962,7 miliar, baru terserap Rp149,7 miliar atau 15,55 persen.

Keempat, Dinas Perumahan dan Gedung Pemda DKI yang baru terserap Rp488,2 miliar atau 17,8 persen dari total anggaran Rp2,74 triliun. Kelima, Dinas Olahraga dan Pemuda DKI yang baru terserap Rp146,5 miliar atau 18,33 persen dari total anggaran Rp799,7 miliar.

Keenam, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI yang baru menyerap Rp241,9 miliar atau 26,87 persen dari total anggaran keseluruhan sebanyak Rp900,5 miliar.

“Selanjutnya, Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana yang penyerapannya dibawah 40 persen, yaitu Rp241,9 miliar atau 27,08 persen dari total anggaran Rp1,54 triliun,” ujar Heru.

Lalu, Dinas Kesehatan, yaitu dari total anggaran Rp1,9 triliun, baru terserap Rp521,4 miliar atau 27,34 persen. Kemudian, Dinas Kebersihan, yakni dari total anggaran Rp2,3 triliun, baru terserap Rp658,7 miliar atau 28,48 persen.

Terakhir, Dinas Kelautan dan Pertanian yang tercatat baru menyerap sebesar Rp161 miliar atau 32,24 persen dari total keseluruhan anggaran mencapai Rp499,4 miliar.

“Selain SKPD dengan penyerapan anggaran terendah, kita juga mencatat ada tiga SKPD dengan penyerapan tertinggi atau di atas 40 persen, yaitu Dinas Pelayanan Pajak, Dinas Perindustrian dan Energi serta Dinas Pendidikan,” ungkap Heru.

Ia menuturkan realisasi penyerapan Dinas Pelayanan Pajak mencapai Rp433,2 miliar atau 49,03 persen dari total anggaran Rp883,5 miliar. Selanjutnya, Dinas Perindustrian dan Energi sudah menyerap Rp399,2 miliar atau 48,34 persen dari total anggaran Rp825,7 miliar.

Kemudian, untuk Dinas Pendidikan, anggaran yang berhasil diserap sejauh ini mencapai Rp4,5 triliun atau 42 persen dari total keseluruhan anggaran sebesar Rp10,8 triliun.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid

BPKD DKI Catat Sepuluh SPKD Dengan Penyerapan Anggaran Rendah

Jakarta, Aktual.co —Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta mencatat sepuluh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI dengan tingkat penyerapan anggaran yang masih tergolong rendah.

“Dari 13 SKPD, ada 10 yang penyerapannya masih rendah atau dibawah 40 persen. Kepada 13 SKPD itu dialokasikan anggaran sebanyak Rp32,8 triliun, tapi yang terserap baru Rp9 triliun atau 27,7 persen,” kata Kepala BPKD DKI Heru Budi Hartono di Jakarta, Selasa (9/12).

Menurut dia, SKPD dengan penyerapan anggaran terendah, yaitu Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI dengan rincian dari total anggaran sebesar Rp2,44 triliun, baru terserap Rp196,6 miliar atau 8 persen.

Kedua, Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI, yakni dari total anggaran Rp6,12 triliun, terserap Rp625,7 miliar atau 10,21 persen. Ketiga, Dinas Perhubungan DKI, yaitu dari total anggaran Rp962,7 miliar, baru terserap Rp149,7 miliar atau 15,55 persen.

Keempat, Dinas Perumahan dan Gedung Pemda DKI yang baru terserap Rp488,2 miliar atau 17,8 persen dari total anggaran Rp2,74 triliun. Kelima, Dinas Olahraga dan Pemuda DKI yang baru terserap Rp146,5 miliar atau 18,33 persen dari total anggaran Rp799,7 miliar.

Keenam, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI yang baru menyerap Rp241,9 miliar atau 26,87 persen dari total anggaran keseluruhan sebanyak Rp900,5 miliar.

“Selanjutnya, Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana yang penyerapannya dibawah 40 persen, yaitu Rp241,9 miliar atau 27,08 persen dari total anggaran Rp1,54 triliun,” ujar Heru.

Lalu, Dinas Kesehatan, yaitu dari total anggaran Rp1,9 triliun, baru terserap Rp521,4 miliar atau 27,34 persen. Kemudian, Dinas Kebersihan, yakni dari total anggaran Rp2,3 triliun, baru terserap Rp658,7 miliar atau 28,48 persen.

Terakhir, Dinas Kelautan dan Pertanian yang tercatat baru menyerap sebesar Rp161 miliar atau 32,24 persen dari total keseluruhan anggaran mencapai Rp499,4 miliar.

“Selain SKPD dengan penyerapan anggaran terendah, kita juga mencatat ada tiga SKPD dengan penyerapan tertinggi atau di atas 40 persen, yaitu Dinas Pelayanan Pajak, Dinas Perindustrian dan Energi serta Dinas Pendidikan,” ungkap Heru.

Ia menuturkan realisasi penyerapan Dinas Pelayanan Pajak mencapai Rp433,2 miliar atau 49,03 persen dari total anggaran Rp883,5 miliar. Selanjutnya, Dinas Perindustrian dan Energi sudah menyerap Rp399,2 miliar atau 48,34 persen dari total anggaran Rp825,7 miliar.

Kemudian, untuk Dinas Pendidikan, anggaran yang berhasil diserap sejauh ini mencapai Rp4,5 triliun atau 42 persen dari total keseluruhan anggaran sebesar Rp10,8 triliun.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid

Inilah Sejarah Banjir Jakarta (1)

Jakarta, Aktual.co —Banjir merupakan bencana yang akrab bagi warga Jakarta, terutama warga yang tinggal disepanjang bantaran Kali. Baik Kali Ciliwung, Kali Pesanggrahan, Kali Krukut, Kali Sunter yang kerap mengalami dan menjadi korban banjir. Bahkan bencana banjir dengan Jakarta sepertinya merupakan kedua hal yang dulit dipisahkan. 
Selain karena wilayahnya yang lebih rendah dari permukaan laut, curah hujan yang tinggi, dan sistem drainase yang kurang baik, banjir di Jakarta juga disebabkan oleh sampah. Sebenarnya, banjir sudah melanda Jakarta sejak masa kolonial Belanda, ketika masih bernama Batavia.
Menurut Restu Gunawan dalam bukunya yang berjudul Gagalnya Sistem Kanal : Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, banjir di Batavia pertama kali melanda pada tahun 1621. Untuk itu, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoen Coen mengupayakan penanggulangan banjir dengan membangun kanal-kanal untuk membagi aliran sungai Ciliwung. 
Namun, upaya tersebut gagal dan banjir besar pun masih tetap melanda pada tahun 1654, 1873 dan 1918. Tahun 1920, insinyur hidrologi Herman van Breen mengusulkan rencana penanggulangan banjir dengan memecah aliran sungai yang masuk ke Batavia melalui sebelah kiri dan kanan Batavia sehingga bagian tengah kota terhindar dari aliran air. Untuk itu, maka tahun 1922, pembangunan Banjir Kanal Barat (Manggarai-Karet) dimulai.
Pembangunan BKB dibangun dalam dua tahap. Pertama, pembangunan dimulai dari Pintu Air Manggarai menuju arah barat dan melewati Pasar Rumput, Dukuh Atas, lalu membelok ke arah Karet. Tahap kedua, pembangunannya dibangun dari Karet ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan dan berakhir di Pluit.
Selain membangun BKB, pemerintah kolonial juga melakukan pemeliharaan sungai dengan mengeruk beberapa sungai besar di Batavia seperti Sungai Ciliwung, Kali Angke, Sungai Krukut, Kali Baru, Saluran Sentiong dan lainnya. Namun, sayangnya, upaya tersebut tidak cukup mengatasi banjir di Batavia. Banjir terus melanda Batavia bahkan hingga saat ini dengan nama kota yang telah berubah menjadi Jakarta.
Menurut Dosen Ilmu Sejarah Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso, pembangunan kanal di Batavia justru menimbulkan masalah baru, yaitu rusaknya ekologi kota bukan mengurangi banjir. Meskipun kanal dibangun, tetapi air tidak lantas mengalir dengan lancar bahkan acapkali tidak dapat menampung air. Saat musim hujan, air di kanal-kanal itu meluap. Sebaliknya, musim kemarau, kanal-kanal itu kering sehingga menimbulkan bau busuk dan penyakit.
Kondisi ini diperparah dengan maraknya pabrik gula pada abad ke-18. Untuk membuat pabrik gula, pohon harus ditebang, kayunya dibuang ke Kali Ciliwung. Saat pabrik gula itu berdiri, ampas penggilingan tebu juga dibuang ke Kali Ciliwung. Air tersumbat sehingga menyebabkan banjir di Batavia. Untuk itu,untuk permasalahan banjir di Jakarta tidak boleh jika hanya terpaku pada drainase horizontal berupa kanal dan saluran air alami daja, tetapi juga dengan konservasi air dengan mengurangi air di permukaan.
(Bersambung…)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid

Inilah Sejarah Banjir Jakarta (1)

Jakarta, Aktual.co —Banjir merupakan bencana yang akrab bagi warga Jakarta, terutama warga yang tinggal disepanjang bantaran Kali. Baik Kali Ciliwung, Kali Pesanggrahan, Kali Krukut, Kali Sunter yang kerap mengalami dan menjadi korban banjir. Bahkan bencana banjir dengan Jakarta sepertinya merupakan kedua hal yang dulit dipisahkan. 
Selain karena wilayahnya yang lebih rendah dari permukaan laut, curah hujan yang tinggi, dan sistem drainase yang kurang baik, banjir di Jakarta juga disebabkan oleh sampah. Sebenarnya, banjir sudah melanda Jakarta sejak masa kolonial Belanda, ketika masih bernama Batavia.
Menurut Restu Gunawan dalam bukunya yang berjudul Gagalnya Sistem Kanal : Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, banjir di Batavia pertama kali melanda pada tahun 1621. Untuk itu, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoen Coen mengupayakan penanggulangan banjir dengan membangun kanal-kanal untuk membagi aliran sungai Ciliwung. 
Namun, upaya tersebut gagal dan banjir besar pun masih tetap melanda pada tahun 1654, 1873 dan 1918. Tahun 1920, insinyur hidrologi Herman van Breen mengusulkan rencana penanggulangan banjir dengan memecah aliran sungai yang masuk ke Batavia melalui sebelah kiri dan kanan Batavia sehingga bagian tengah kota terhindar dari aliran air. Untuk itu, maka tahun 1922, pembangunan Banjir Kanal Barat (Manggarai-Karet) dimulai.
Pembangunan BKB dibangun dalam dua tahap. Pertama, pembangunan dimulai dari Pintu Air Manggarai menuju arah barat dan melewati Pasar Rumput, Dukuh Atas, lalu membelok ke arah Karet. Tahap kedua, pembangunannya dibangun dari Karet ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan dan berakhir di Pluit.
Selain membangun BKB, pemerintah kolonial juga melakukan pemeliharaan sungai dengan mengeruk beberapa sungai besar di Batavia seperti Sungai Ciliwung, Kali Angke, Sungai Krukut, Kali Baru, Saluran Sentiong dan lainnya. Namun, sayangnya, upaya tersebut tidak cukup mengatasi banjir di Batavia. Banjir terus melanda Batavia bahkan hingga saat ini dengan nama kota yang telah berubah menjadi Jakarta.
Menurut Dosen Ilmu Sejarah Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso, pembangunan kanal di Batavia justru menimbulkan masalah baru, yaitu rusaknya ekologi kota bukan mengurangi banjir. Meskipun kanal dibangun, tetapi air tidak lantas mengalir dengan lancar bahkan acapkali tidak dapat menampung air. Saat musim hujan, air di kanal-kanal itu meluap. Sebaliknya, musim kemarau, kanal-kanal itu kering sehingga menimbulkan bau busuk dan penyakit.
Kondisi ini diperparah dengan maraknya pabrik gula pada abad ke-18. Untuk membuat pabrik gula, pohon harus ditebang, kayunya dibuang ke Kali Ciliwung. Saat pabrik gula itu berdiri, ampas penggilingan tebu juga dibuang ke Kali Ciliwung. Air tersumbat sehingga menyebabkan banjir di Batavia. Untuk itu,untuk permasalahan banjir di Jakarta tidak boleh jika hanya terpaku pada drainase horizontal berupa kanal dan saluran air alami daja, tetapi juga dengan konservasi air dengan mengurangi air di permukaan.
(Bersambung…)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid

Berita Lain