24 Desember 2025
Beranda blog Halaman 47

Rakyat Disikat, Alam Dilumat

Rinto Setiyawan, Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)

Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)

Jakarta, aktual.com – Di banyak sudut negeri ini, pola yang sama terus berulang. Di hulu, hutan dikuliti, bukit digergaji, sungai ditambang, laut dicongkel. Di hilir, rakyat kebanjiran, tanah mereka longsor, udara mereka sesak, penghidupan mereka ambruk pelan-pelan.

Alam dilumat, rakyat disikat.

Ironisnya, semua itu sering terjadi atas nama “pembangunan” dan “kepentingan nasional”. Padahal kalau kita jujur, yang paling pertama menikmati “pembangunan” model begini bukan rakyat banyak, melainkan segelintir pemegang izin dan pengatur kebijakan yang duduk di tempat paling nyaman di lingkar kekuasaan.

Dalam banyak kesempatan, Cak Nun berulang kali mengingatkan bahwa alam semesta ini adalah titipan Tuhan. Kita bukan pemilik, kita hanya pengelola yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban—bukan hanya di hadapan Tuhan, tapi juga di hadapan anak cucu kita.

Kalimat itu seharusnya cukup untuk membuat siapa pun berhenti sejenak sebelum menandatangani satu izin tambang, satu perubahan tata ruang, atau satu proyek raksasa yang memuncratkan keuntungan jangka pendek sambil menyiapkan bencana jangka panjang.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Ketika “Negara” Menghilang, yang Tersisa Hanya Mesin Pemerintah

Dalam pelajaran kewarganegaraan, kita diajarkan bahwa negara terdiri dari rakyat, wilayah, dan pemerintah. Negara, idealnya, adalah rumah bersama: ruang di mana kekuasaan diikat oleh hukum, dan hukum diikat oleh nilai keadilan.

Tetapi dalam praktik sehari-hari, yang sering tampak di depan mata bukan “negara” sebagai rumah bersama, melainkan pemerintah sebagai mesin kekuasaan.

Di titik ini terasa sekali paradoks yang menyakitkan:

• Ketika rakyat kecil salah sedikit dalam urusan administrasi, negara hadir dengan aturan yang keras dan tegas.

• Tapi ketika ada perusahaan merambah kawasan lindung, merusak sungai, atau memicu bencana ekologis, negara tiba-tiba jadi makhluk yang kabur bentuknya: semua saling lempar kewenangan, saling sembunyi di balik pasal-pasal.

Kita seolah hidup dalam situasi di mana “negara” sebagai penjaga kepentingan umum menghilang, yang tersisa hanyalah pemerintah sebagai operator kekuasaan.

Di ruang kosong itulah, penguasa dan pengusaha bertemu dan bersekongkol, mengubah alam menjadi angka keuntungan.

Tanpa negara yang benar-benar berdiri sebagai penjaga titipan Tuhan dan amanah rakyat, pemerintah bisa mengeruk keuntungan dari alam ini sebanyak-banyaknya. Atas nama proyek strategis, hilanglah hutan adat. Atas nama investasi, lenyaplah pantai dan pesisir. Atas nama pertumbuhan ekonomi, meledaklah lubang-lubang tambang di mana-mana.

Alam yang Rusak adalah Surat Dakwaan Terbuka

Kerusakan alam sebenarnya adalah bentuk surat dakwaan terbuka terhadap cara kita bernegara.

Setiap banjir yang menggenangi kampung, setiap longsor yang memotong jalan, setiap kebakaran hutan yang mengirim asap hingga lintas negara, adalah bukti bahwa ada yang salah dalam keputusan-keputusan yang diambil atas nama “negara”.

Dalam kacamata Cak Nun, alam bukan sekadar objek ekonomi; ia adalah ayat Tuhan yang terhampar. Gunung, laut, hutan, dan sungai bukan hanya sumber daya, tapi juga sumber makna, sumber kehidupan, dan sumber kesadaran kita sebagai makhluk.

Jika alam diperkosa, yang rusak bukan hanya ekologinya, tapi juga jiwa kita sebagai bangsa.

Sayangnya, cara pandang resmi negara terhadap alam masih lebih banyak berhenti pada istilah “sumber daya”. Kata “daya” itu yang dikejar: berapa bisa diekstrak, berapa bisa dijual, berapa bisa masuk ke kas negara dan kas kelompok.

Sementara daya rusak—terhadap ekosistem, terhadap kehidupan rakyat di hilir—disebut sebagai “dampak” yang bisa “dikelola” dengan dokumen AMDAL dan program CSR seadanya.

Padahal, ketika satu generasi menghabiskan hutan, air tanah, dan udara bersih demi mengejar pertumbuhan hari ini, generasi yang akan membayar harganya adalah anak dan cucu kita sendiri.

Inilah yang dimaksud Cak Nun ketika beliau mengingatkan bahwa apa pun yang kita lakukan terhadap alam hari ini akan kita pertanggungjawabkan, tidak hanya di akhirat, tapi juga di depan wajah anak cucu yang akan mewarisi bumi yang kita tinggalkan.

Rakyat di Hilir Menjadi “Buffer” dari Keserakahan di Hulu

Coba kita perhatikan siapa yang paling sering menjadi korban ketika alam dilumat:

• Petani yang sawahnya tenggelam banjir bandang.

• Nelayan yang kehilangan ikan karena laut rusak dan pantai dikeruk.

• Warga kampung yang tanahnya ambles karena tambang bawah tanah.

• Komunitas adat yang kehilangan hutan, padahal di sanalah mereka menggantungkan hidup, budaya, dan jati diri.

Merekalah yang menanggung konsekuensi dari keputusan-keputusan besar yang tidak pernah secara sungguh-sungguh melibatkan mereka.

Mereka menjadi “buffer” – bantalan – dari benturan antara keserakahan ekonomi dan kelemahan hukum.

Di sisi lain, narasi yang sering dipakai justru membalikkan logika.

Rakyat dihilir kadang dituduh “tidak tertib”, “mendiami bantaran sungai”, “membuka lahan sembarangan”, tanpa mau melihat bahwa pilihan-pilihan hidup itu sering lahir dari keterdesakan ekonomi dan ketiadaan alternatif.

Sementara di hulu, orang-orang yang menandatangani izin pembalakan, yang mengubah kawasan lindung jadi kawasan konsesi, jarang sekali disebut sebagai pelaku utama.

Nama mereka tidak ada di berita banjir, padahal pena merekalah yang memulai rangkaian peristiwa itu.

Dari Kesadaran Spiritual ke Agenda Politik

Pernyataan Cak Nun tentang kewajiban menjaga alam sebagai titipan Tuhan sering dianggap sekadar nasihat moral. Padahal, jika kita konsisten, nasihat moral itu punya konsekuensi politik.

Kalau alam adalah titipan yang harus dijaga, maka:

1. Setiap kebijakan yang merusak alam adalah pelanggaran amanah.

Pejabat yang menandatangani izin merusak itu bukan hanya sedang “mengatur ekonomi”, tetapi sedang mengkhianati titipan Tuhan dan masa depan anak cucu bangsa.

2. Konstitusi dan undang-undang harus membaca alam sebagai subjek yang dilindungi, bukan objek yang dihabisi.

Artinya, cara kita merancang negara, membagi kewenangan, mengatur investasi, dan mendefinisikan pembangunan harus berangkat dari kesadaran bahwa ada batas moral dan ekologis yang tidak boleh ditembus.

3. Rakyat harus diberi posisi sebagai pemilik sah alam, bukan sekadar penonton kebijakan.

Kalau kedaulatan rakyat hanya berhenti di bilik suara lima tahun sekali, sementara keputusan-keputusan yang menentukan nasib sungai, hutan, dan gunung diambil di ruang-ruang tertutup, maka itu artinya kita belum bernegara secara benar.

Saatnya Mengembalikan Negara ke Pundak Rakyat dan Alam

Judul tulisan ini—Rakyat Disikat, Alam Dilumat—bukan untuk memantik pesimisme, tetapi untuk memotret kenyataan pahit yang harus kita hadapi bersama.

Kita tidak bisa terus-menerus hidup dalam ilusi bahwa semua baik-baik saja selama ada pertumbuhan ekonomi dan proyek besar. Tanpa koreksi mendasar, kita sedang mewariskan negeri yang habis di atas kertas tetapi lapuk di akar.

Yang perlu kita perjuangkan bukan sekadar pergantian pejabat atau pembaharuan aturan teknis, tetapi pengembalian makna negara:

• Negara yang berdiri tegak di depan kekuatan modal ketika alam dan rakyat terancam.

• Negara yang menganggap banjir bukan sekadar “bencana alam”, tetapi alarm atas kebijakan yang salah.

• Negara yang menjadikan suara komunitas lokal, petani, nelayan, dan masyarakat adat sebagai rujukan utama, bukan sekadar lampiran formal.

Dan di atas semua itu, negara yang menjadikan alam bukan sebagai objek yang boleh dihabisi demi angka-angka, tetapi sebagai amanah yang harus dipelihara dengan rasa takut dan cinta.

Cak Nun benar ketika mengingatkan bahwa kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita lakukan terhadap alam.

Pertanggungjawaban itu bukan hanya di ruang metafisik, tapi juga di ruang sejarah: bagaimana anak cucu menyebut nama kita—sebagai generasi yang menyelamatkan, atau generasi yang menghabiskan.

Selama negara terus absen sebagai penjaga, sementara pemerintah sibuk mengeruk keuntungan dari alam, siklus rakyat disikat dan alam dilumat akan berulang tanpa henti.

Dan ketika itu terjadi, kita tidak hanya sedang mengkhianati konstitusi, tetapi juga sedang mengkhianati Tuhan, alam, dan anak cucu kita sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Purbaya Tolak Keras Balpres Ilegal Jadi Bantuan: “Lebih Baik Barang Baru!”

Jakarta, Aktual.com – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa dirinya tidak menyetujui penggunaan barang sitaan berupa balpres (bale press) untuk diberikan kepada korban bencana di Sumatera. Menurutnya, bantuan bagi warga terdampak harus berupa barang baru yang legal, bukan barang ilegal hasil penindakan.

“Belum, kalau saya suruh sumbang, saya beli barang baru. Saya kirim sekarang,” tegas Purbaya saat ditemui di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (12/12/2025).

Ia menjelaskan bahwa penggunaan balpres ilegal sebagai bantuan justru berpotensi menciptakan celah bagi masuknya lebih banyak barang selundupan ke Indonesia dengan dalih kemanusiaan. “Jangan sampai nanti gara-gara itu, banyak lagi balpres masuk dengan alasan kan bagus buat itu bencana,” ujarnya menambahkan.

Purbaya menekankan bahwa bantuan seharusnya mendorong penggunaan barang dalam negeri yang layak dan berkualitas, khususnya dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Selain itu, menggunakan barang ilegal dikhawatirkan dapat merusak tata kelola dan prinsip integritas dalam manajemen barang milik negara.

“Saya lebih baik mengeluarkan uang ke situ kalau terpaksa. Dibanding pakai barang-barang balpres itu,” kata Menkeu tersebut dengan tegas.

Pernyataan ini muncul setelah Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, sebelumnya menyebut bahwa pihaknya tengah mempertimbangkan kemungkinan menyalurkan barang sitaan balpres sebagai bantuan bencana. Namun, Purbaya memastikan bahwa pemerintah akan tetap mengutamakan bantuan yang sah, terkontrol, dan sesuai ketentuan.

Ia juga meminta agar tidak ada pihak yang memanfaatkan situasi bencana untuk meloloskan barang selundupan. Menurutnya, disiplin dan akuntabilitas dalam pengelolaan barang akan memastikan bahwa bantuan yang diterima korban benar-benar bermanfaat dan tidak menimbulkan masalah baru.

(Nur Aida Nasution)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Industri Keramik–Kaca RI Hampir Tumbang Digempur Impor, Menperin Siapkan Langkah

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita (ANTARA/HO-Kemenperin)

Jakarta, Aktual.com — Industri keramik dan kaca nasional kembali memasuki fase kritis. Utilisasi pabrik yang hanya berada di kisaran 50 persen membuat sektor tableware dan glassware kian tertekan di tengah gempuran produk impor murah yang terus membanjiri pasar domestik.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam menghadapi kondisi yang mengancam keberlangsungan industri berbasis sumber daya lokal ini.

“Kedua subsektor industri ini sebenarnya sangat kuat dan punya potensi besar. Tapi banjir impor membuat utilisasinya tidak bisa optimal,” tegas Menperin Agus saat membuka Twinfest 2025: Pameran Industri Ceramic Tableware dan Glassware di Jakarta, Kamis (11/12).

Menurut data Kemenperin, kapasitas terpasang industri tableware keramik mencapai 250 ribu ton per tahun, namun utilisasi baru menyentuh 52 persen. Kondisi serupa terjadi pada subsektor glassware, yang memiliki kapasitas produksi 740 ribu ton namun utilisasinya hanya 51 persen.

Melihat Ketua ASAKI yang mengangguk saat persoalan impor disebutkan, Menperin menyimpulkan penyebab utamanya cukup jelas. “Saya dapat menyimpulkan bahwa rendahnya utilisasi ini karena memang gempuran produk impor masih sangat mengganggu industri dalam negeri kita,” ujarnya.

Meski pangsa pasar domestik produk keramik sudah mencapai 78 persen, Menperin menilai konsumsi per kapita di Indonesia masih rendah sehingga ruang pertumbuhan tetap harus dijaga. Sementara untuk subsektor glassware, pangsa pasar di dalam negeri hanya 65 persen, dengan nilai ekspor 2024 mencapai USD 97 juta.

Menperin memperingatkan ancaman peningkatan impor dalam beberapa tahun ke depan. “Kita harus waspada terhadap penetrasi bahkan lonjakan impor produk sejenis,” katanya.

Untuk meredam tekanan impor dan mengangkat utilisasi pabrik, Kemenperin menyiapkan langkah strategis: SNI wajib, kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) USD 7 per MMBTU, percepatan sertifikasi halal, dan penguatan program P3DN.

Agus juga menegaskan bahwa masalah impor ilegal sudah mulai merusak pasar. “Kami mendapat laporan masuknya produk kabel impor tidak ber-SNI, bahkan sampai ke meja pemerintah. Ini sangat serius,” tegasnya. Ia meminta industri melaporkan semua dugaan pelanggaran agar Kemenperin dapat melakukan penindakan cepat.

Menutup sambutannya, Menperin mendorong pelaku industri keramik dan kaca mempercepat transformasi melalui teknologi, digitalisasi, inovasi desain, dan produksi berkelanjutan sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0.

“Tetap perkuat inovasi dan soliditas. Industri ini bisa tumbuh jika kita bergerak bersama,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Komisi Percepatan Reformasi Polri Tampung Aspirasi dari Masyarakat Sumut

Komisi Percepatan Reformasi Polri menggelar pertemuan dengan berbagai tokoh dan perwakilan sejumlah lembaga di Sumatera Utara sebagai upaya menampung aspirasi dari masyarakat terkait transformasi kepolisian. ANTARA/Juraidi
Komisi Percepatan Reformasi Polri menggelar pertemuan dengan berbagai tokoh dan perwakilan sejumlah lembaga di Sumatera Utara sebagai upaya menampung aspirasi dari masyarakat terkait transformasi kepolisian. ANTARA/Juraidi

Medan, aktual.com – Komisi Percepatan Reformasi Polri menggelar pertemuan dengan berbagai tokoh dan perwakilan sejumlah lembaga di Sumatera Utara sebagai upaya menampung aspirasi dari masyarakat terkait transformasi kepolisian.

Pertemuan tersebut berlangsung di ruang Dewan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan, Jumat (12/12).

Dua anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri yang hadir adalah Mahfud MD yang merupakan (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Periode 2019- 2024,) dan Ahmad Dofiri yang juga Penasihat Khusus Presiden bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Kepolisian.

Mahfud MD menyebutkan dari pertemuan dengan berbagai elemen masyarakat, baik dari kampus, ulama, mantan pejabat dan perwakilan dari organisasi kemasyarakatan tersebut banyak masukan yang mereka terima terkait kepolisian.

“Kami menyerap aspirasi langsung dari masyarakat tentang terkait percepatan reformasi Polri. Dari diskusi-diskusi yang dilakukan kami mendapat banyak hal-hal baru dan penguatan tentang masalah- masalah yang disampaikan masyarakat,” katanya.

Yang utamanya, kata dia, dari masukan masukan itu, menginginkan polisi itu baik dan semuanya menyadari bahwa personel polisi sebanyak 467 ribu orang, jumlah yang bermasalah hanyalah sedikit.

Berbagai masukan dari masyarakat terkait permasalahan di oknum-oknum kepolisian, kata dia memang harus diselesaikan.

Sejumlah masukan tersebut, diantaranya menginginkan Polri harus betul-betul independen dari masalah politik.

Bukan hanya melepaskan diri dari politik, tapi harus benar-benar lepas dari intervensi politik. Sehingga nanti penataannya bukan hanya Polri, tapi juga kepartaian, kejaksaan dan juga pemerintah.

“Yang bermasalah itu mungkin tak sampai seribu kalau di hitung oknumnya. Masih banyak yang baik-baik saja yang memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat. Kasus yang muncul memang banyak, nah itu yang harus diselesaikan. Jadi kita akan kembalikan ke jati diri Polri sebagaimana mestinya,” katanya.

“Semua masukan-masukan itu dicatat dan akan menjadi pembahasan kami nantinya,” tambahnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

James Riady: Fragmentasi Global Menguat, Daya Tarik Ekonomi Indonesia Meningkat

Wakil Ketua Umum Koordinator (WKUK) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Luar Negeri James Riady pada "Kadin Indonesia Friday Breakfast, Pertemuan Penutup Tahun" yang diadakan di Hotel Aryadutta, Jakarta, Jumat (12/12/20225). Aktual/DOK KADIN

Jakarta, aktual.com – Kamar dagang dan Industri (Kadin) menyebut Indonesia justru semakin menarik dan akan terus tumbuh di tengah kondisi fragmentasi dunia dengan ditandai tajam persaingan negara besar, pergeseran aliansi global hingga potensi konflik yang kian meluas.

Indonesia memasuki tahun 2026 disebut memiliki modal cukup, inflasi terkendali, disiplin fiskal terjaga, konsumsi domestik kuat, komposisi demografi didominasi usia produktif hingga nilai tukar relatif tangguh dibanding banyak emerging market lain.

“Indonesia memasuki tahun 2026 tidak dengan tangan kosong,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Luar Negeri, James Riady pada Kadin Friday Breakfast, pertemuan penutup tahun di Hotel Aryadutta Jakarta, Jumat.

James menjelaskan pertemuan rutin bulanan pimpinan dan anggota Kadin ini merupakan ruang diskusi jujur, penuh wawasan dan kehangatan, tempat para pemimpin bisnis memikirkan bersama tantangan yang dihadapi maupun peluang yang harus diraih bersama. “Dan yang lebih penting, Kadin memberi kita alasan kuat untuk optimistis,” ujar James.

Meskipun dunia penuh ketidakpastian, Indonesia memiliki pengusaha yang tetap membangun, perusahaan yang terus berinvestasi, inovator yang terus mencipta dan para pemimpin yang tidak mudah patah oleh berita-berita buruk.

Jika 2025 adalah tahun penyesuaian dan transisi, kata James, tahun 2026 bisa menjadi tahun antisipasi dan keberanian. “Jangan sampai kita menjadi kelompok yang terdiam oleh risiko. Kita harus menjadi komunitas yang bergerak karena peluang,” imbau Chairman Lippo Group itu.

Karena kenyataannya, setiap masa disrupsi global, Indonesia secara historis selalu muncul lebih kuat asalkan para pemimpin tetap tenang, bekerja sama dan melihat jauh ke depan. “Di tengah dunia yang tidak menentu, Indonesia justru tampil berbeda,” ucapnya.

Tantangan Global

Dunia menjelang akhir 2025 menampilkan wajah yang sulit dan tidak menentu. Menjelang tutup tahun, dunia berada dalam kondisi yang sangat rapuh. Secara geopolitik, kata James, dunia  memasuki era yang paling tidak terduga dalam beberapa dekade.

“Ada tiga indikasi yakni kompetisi negara besar semakin tajam. Aliansi global yang bergeser dan konflik yang sebelumnya regional kini berpotensi meluas,” ujarnya.

Lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank, ECB, OECD menggambarkan ekonomi global sedang melambat, terfragmentasi dan mengalami transformasi besar.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano

Ruang Digital Kian Brutal: Echo Chamber dan Hoaks Bikin Etika Publik Ambruk

Jakarta, Aktual.com — Ruang digital Indonesia makin panas, penuh polarisasi, dan dipenuhi arus informasi yang saling bertabrakan. Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Nurwati, menegaskan bahwa perkembangan teknologi justru melahirkan distorsi etika publik, terutama akibat menguatnya echo chamber, filter bubble, dan banjir hoaks politik.

Menurutnya, dua fenomena itu menjadi akar pecahnya rasionalitas publik. Echo chamber membuat seseorang hanya terpapar opini kelompoknya, sementara filter bubble bekerja melalui algoritma platform yang menyodorkan konten sesuai preferensi pengguna.

“Contoh saya searching tentang diabet, misalnya. Yang keluar semua tentang naik,” kata Nurwati saat webinar, Jumat (12/12/2025).

Ia menilai kondisi tersebut makin berbahaya saat dikaitkan dengan politik elektoral. Polarisasi ekstrem pada Pemilu 2019 dan 2024 menciptakan kelompok yang menutup diri dari fakta berbeda. “Cebong versus kampret” menjadi contoh nyata bagaimana ruang digital membentuk “ruang gema” yang memperkuat klaim kebenaran sepihak.

Di tengah situasi itu, hoaks politik menyebar cepat dan masif, memperkeruh perdebatan publik. Banyak hoaks menyasar isu sensitif seperti kinerja pemerintah, kesehatan, hingga isu identitas.

“Itu bisa memicu turunnya kepercayaan pada pemerintah dan institusi,” tegas Nurwati.

Masalah lain yang ia soroti adalah buruknya perlindungan data pribadi. Kasus kebocoran data BPJS Kesehatan yang diperjualbelikan secara ilegal menjadi alarm serius bahwa pengawasan di ruang digital masih rapuh. Publik akhirnya tidak hanya terpapar manipulasi informasi, tetapi juga rentan menjadi korban penyalahgunaan data.

Nurwati turut menyoroti maraknya bot dan akun anonim dalam percakapan politik. Bot mampu memproduksi konten politik secara masif, sementara akun anonim kerap digerakkan sebagai mesin propaganda.

“Itu mengacaukan diskusi publik dengan komentar yang tidak otentik,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa ruang digital kini bukan sekadar arena interaksi, tetapi juga arena perang opini. Tanpa etika, literasi, dan regulasi yang kuat, ruang digital berpotensi menjadi instrumen manipulasi politik yang merugikan publik.

(Achmad)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Berita Lain