26 Desember 2025
Beranda blog Halaman 66

YLBHI Desak Pemerintah Tetapkan Bencana Nasional: Setiap Jam Keterlambatan adalah Kelalaian Negara

Jakarta, aktual.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyampaikan keprihatinan mendalam atas bencana ekologis berupa banjir dan longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ketua Umum YLBHI menegaskan bahwa peristiwa tersebut telah menimbulkan dampak luas terhadap kemanusiaan, infrastruktur, sosial-ekonomi, serta lingkungan.

“Kami menyampaikan keprihatinan mendalam atas bencana ekologis, banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Peristiwa tersebut berdampak hebat pada kemanusiaan, kerusakan infrastruktur, kerugian sosial-ekonomi dan juga kerusakan lingkungan berskala luas,” ujar Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur Rabu (10/12).

Ia menekankan bahwa perkembangan kondisi di lapangan menunjukkan urgensi bagi pemerintah pusat untuk segera turun tangan. Karena itu, pihaknya meminta Presiden Republik Indonesia menetapkan status bencana nasional.

“Berdasarkan perkembangan situasi di lapangan, kami mendesak agar Presiden Republik Indonesia segera menetapkan status bencana nasional. Selain itu kami juga meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk menangani bencana ini dengan cepat dan terukur, agar para korban segera mendapatkan haknya,” katanya.

Data BNPB hingga 8 Desember 2025 menunjukkan jumlah korban terus meningkat. Tercatat sekitar 974 orang meninggal, 298 orang hilang, dan jumlah tersebut belum mencakup korban yang masih belum ditemukan. Puluhan ribu warga juga harus mengungsi, dengan kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, serta lansia berada dalam situasi paling kritis.

Keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan, air bersih, sanitasi, dan perlindungan di lokasi pengungsian memperburuk kerentanan kelompok perempuan, terutama terkait kebutuhan kesehatan reproduksi.

“Kami memperkirakan jumlah korban akan terus bertambah seiring terbatasnya akses evakuasi dan lambatnya mobilisasi bantuan,” ucapnya.

Kerusakan infrastruktur yang meluas—mulai dari jalan yang terputus hingga jaringan komunikasi yang lumpuh—menghambat proses penyelamatan, penyaluran bantuan, serta layanan medis. Banyak wilayah terisolasi dan masyarakat bertahan dengan pasokan terbatas, menegaskan perlunya intervensi cepat dan efektif dari pemerintah pusat tanpa hambatan birokrasi.

“Setiap jam keterlambatan adalah bentuk kelalaian negara terhadap keselamatan warganya,” tegasnya.

Kerugian sosial-ekonomi turut membebani masyarakat, mulai dari ribuan rumah yang hancur, lahan pertanian dan usaha yang musnah, hingga terhentinya kegiatan ekonomi. Kondisi ini membuat warga kehilangan pendapatan dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Pemulihan dalam skala sebesar ini tidak dapat ditangani pemerintah daerah saja dan membutuhkan dukungan penuh pemerintah pusat, termasuk dari sisi anggaran, rekonstruksi, dan bantuan teknis.

Menurut YLBHI, warga terdampak bukan hanya berhak menuntut negara atas kerugian jiwa, harta benda, serta akses kesehatan, tetapi juga pihak swasta. Mereka menilai kerusakan lingkungan ini tidak lepas dari praktik eksploitasi perusahaan yang berlebihan, tidak sesuai aturan administrasi, bahkan ada yang beroperasi secara ilegal.

“Warga sebagai korban terdampak memiliki hak konstitusional. Bukan hanya menuntut pada ganti kerugian kehilangan nyawa, kehilangan harta benda, gangguan akses kesehatan dan yang lainnya terhadap negara, tetapi terhadap pihak perusahaan swasta,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa akar masalah ini tidak cukup diselesaikan melalui proses administratif biasa. Karena faktor utama yang memicu kerusakan lingkungan adalah aktivitas perusahaan, maka perlu ada pemeriksaan menyeluruh terhadap pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari kegiatan tersebut.

“Sehingga bukan negara saja yang bertanggung jawab, swasta juga bertanggung jawab dan dapat dituntut pemenuhan hak,” katanya.

YLBHI menyatakan bahwa dalam kasus ini aspek hukumnya bukan hanya perdata, tetapi juga pidana, karena sudah termasuk kategori Kejahatan Ekosida. Oleh karena itu, penegakan hukum harus berjalan bersamaan dengan upaya penyelamatan korban.

Penetapan status bencana nasional disebut akan membuka ruang bagi investigasi lintas daerah untuk menelusuri penyebab struktural bencana, sekaligus memastikan pihak-pihak yang melakukan kerusakan lingkungan diproses secara hukum.

“Penetapan bencana nasional bukan hanya status administratif, tetapi langkah mendesak untuk menyelamatkan nyawa, mempercepat penanganan yang sensitif gender, dan memastikan negara hadir sepenuhnya melindungi rakyat. Tindak lanjut penetapan bencana nasional juga harus memastikan penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta pelibatan dan pengawasan oleh berbagai pihak,” ujarnya.

YLBHI menegaskan bahwa seluruh indikator penetapan bencana nasional telah terpenuhi di Aceh, Sumut, dan Sumbar.

“Kami mendesak Presiden segera mengambil keputusan demi kemanusiaan, keselamatan, dan masa depan masyarakat terdampak,” tegasnya.

Ia juga menyoroti perlunya pemeriksaan terhadap perusahaan-perusahaan terkait, termasuk siapa pemilik dan penerima manfaatnya.

“Sehingga, dapat diketahui apakah mereka memberikan kontribusi pada saat pemilu/pemilihan presiden, serta apakah mereka merupakan pihak yang berada di belakang para Menteri yang bertanggung jawab,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Bea Cukai Kolaborasi dengan Peruri, Cetak 25 Juta Lembar Pita Cukai Desain Baru Antipembajakan untuk Industri Rokok dan Miras

Jakarta, Aktual.com – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) bekerja sama dengan Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) resmi melepas pengiriman perdana 25 juta lembar pita cukai desain baru untuk kebutuhan tahun 2026. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Djaka Budi Utama memastikan seluruh pita cukai pesanan tahun 2026 akan segera didistribusikan ke industri.

“Saat ini di belakang sudah ada dua kendaraan yang membawa pita cukai, baik untuk hasil tembakau maupun minuman mengandung etil alkohol (MMEA),” ujarnya dalam konferensi pers di Karawang, Rabu (10/12/2025).

Purnawirawan jenderal TNI itu menjelaskan, mayoritas dari total 25 juta pita cukai tersebut dialokasikan untuk cukai hasil tembakau yang mencapai sekitar 70 persen. Sisanya digunakan untuk produk MMEA seperti minuman beralkohol.

Djaka juga menegaskan bahwa keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudi Sadewa untuk tidak menaikkan tarif cukai pada 2026 memberi ruang lebih bagi Peruri dalam proses pencetakan.

“Dengan tidak adanya kenaikan tarif cukai, Peruri dapat mencetak pita cukai desain baru tepat waktu tanpa kendala,” ucapnya.

Di sisi lain, Direktur Utama Peruri Dwina Septiani Wijaya menyampaikan apresiasi kepada Bea Cukai yang kembali mempercayakan pencetakan desain baru pita cukai kepada lembaganya. Ia menegaskan bahwa pita cukai edisi 2026 mengusung fitur keamanan tinggi untuk mengantisipasi pembajakan dan pemalsuan.

“Peruri mendapatkan amanat melalui PP Nomor 6 Tahun 2019 untuk membuat dokumen negara yang memiliki fitur sekuriti, salah satunya pita cukai,” kata Dwina.

Untuk proyek desain baru ini, Peruri membentuk sebuah konsorsium khusus. Langkah tersebut diambil karena pita cukai memiliki peran strategis bagi penerimaan negara dan membutuhkan pengawasan ketat dalam seluruh proses produksinya.

“Konsorsium ini merupakan implementasi komitmen antara DJBC dan Peruri. Kami memastikan setiap unsur pita cukai diproduksi melalui standar keamanan tertinggi,” tuturnya.

(Nur Aida Nasution)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Gubernur Pramono Kritik Keras Gedung Terra Drone: Ini Pasti Dibangun Tanpa Aturan

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung saat dijumpai di Balai Kota, Senin (10/11/2025). ANTARA/Lifia Mawaddah Putri.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung saat dijumpai di Balai Kota, Senin (10/11/2025). ANTARA/Lifia Mawaddah Putri.

Jakarta, aktual.com – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menanggapi banyaknya korban jiwa dalam kebakaran gedung Terra Drone di Jakarta Pusat. Ia menilai insiden tersebut terjadi karena bangunan tersebut tidak memenuhi ketentuan dasar keselamatan.

“Problem utamanya adalah kalau semuanya menaati aturan, pasti tidak terjadi. Ini pasti dibangun tanpa aturan,” ujar Pramono di Hotel Mulia, Jakarta Pusat, Rabu (10/12/2025).

Pramono menjelaskan bahwa kondisi fisik gedung secara visual sudah menunjukkan ketidaksesuaian dengan standar keselamatan yang semestinya, mulai dari kelengkapan fasilitas hingga jalur evakuasi yang terbatas.

“Kalau dilihat, tangganya kecil banget. Itu yang menyebabkan beberapa orang nggak bisa turun ke bawah,” katanya.

Ia menuturkan bahwa ketika api mulai membesar, para karyawan justru bergerak naik ke lantai atas untuk menyelamatkan diri. Sementara itu, asap tebal datang dari bawah dan membuat banyak orang terperangkap tanpa akses keluar.

“Ketika kebakar, karyawannya naik ke atas semua, kemudian asap dari bawah. Itulah yang menyebabkan kenapa kemudian yang meninggal cukup banyak,” jelasnya.

Menurut Pramono, bangunan tersebut merupakan contoh “gedung tumbuh,” yakni gedung yang berdiri di antara bangunan-bangunan lama dan sering kali tidak memenuhi syarat administratif maupun standar keselamatan.

“Gedung kemarin itu gedung yang tumbuh. Kiri-kanannya gedung lama, tumbuh satu-satunya gedung itu, sehingga pasti secara kelengkapan persyaratannya tidak terpenuhi,” tegasnya.

Ia memastikan bahwa Pemprov DKI akan melakukan pemeriksaan ulang terhadap seluruh gedung di Jakarta, khususnya bangunan yang berpotensi mengabaikan aturan keselamatan.

“Dalam minggu-minggu ini kita akan segera mengecek kembali semua gedung yang ada,” ujarnya.

Sebagai informasi, kebakaran gedung Terra Drone pertama kali dilaporkan warga pada pukul 12.43 WIB, Selasa (9/12). Peristiwa ini mengakibatkan 22 orang meninggal dunia, terdiri atas 15 perempuan dan 7 laki-laki.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Kepemimpinan yang Tidak Efektif: Kritik Peran Zulkifli Hasan dalam Krisis Pangan Banjir Bandang Sumatera 2025

Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan memimpin rapat koordinasi terbatas bidang pangan di Jakarta, Kamis (12/6/2025). Aktual/ANTARA

Ditulis oleh: Najwa Deswita Dea Putri dan Yuliana Kartika Dewi

Jakarta, aktual.com – Menteri Koordinator Bidang Pangan pada Kabinet Merah Putih yakni Zulkifli Hasan, saat ini tengah menuai sorotan publik akibat responnya yang dinilai tidak memadai dalam menangani krisis pangan yang terjadi akibat banjir bandang di Pulau Sumatera pada akhir tahun 2025 ini. Salah satu respon yang menjadi sorotan adalah aksinya memanggul karung beras sendiri saat melakukan peninjauan lokasi banjir di Sumatera Barat yang terekam jelas dalam unggahan resmi. Liputan6 2025 mencatat bagaimana “Zulhas memanggul sendiri bantuan beras untuk korban bencana” yang menimbulkan perdebatan publik antara empati dengan pencitraan.

Banjir dengan intensitas tinggi yang menerjang beberapa titik di pulau Sumatera, seperti Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, tidak hanya merusak infrastruktur dan melumpuhkan stabilitas perekonomian saja, tetapi juga menyebabkan masyarakat terisolasi akibat putusnya akses transportasi dan menghambat distribusi bahan pangan untuk jutaan warga yang menjadi korban dari bencana alam ini.

Merujuk pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tanggal 9 Desember 2025, korban dari longsor dan banjir bandang ini telah mencapai sekitar 964 korban jiwa, 262 jiwa hilang, dan 5.000 jiwa terluka. Dalam kondisi darurat seperti ini, Kementerian Koordinator Bidang Pangan mempunyai peran yang begitu krusial untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar masyarakat tetap terpenuhi dan persediaan logistik dapat berjalan tanpa adanya hambatan.

Sebagai menteri yang bertanggung jawab atas koordinasi pangan nasional, Zulkifli Hasan sudah semestinya mampu untuk mengatur langkah penanganan krisis secara efektif dengan berkoordinasi oleh pemerintah daerah dan lembaga penanggulangan bencana. Namun, tindakan yang ia lakukan justru malah menimbulkan tanda tanya publik mengenai kapasitas kepemimpinannya dalam menangani krisis yang berskala nasional ini.

Ketika Aksi Simbolik Menguji Kepercayaan Publik

Salah satu momen yang menjadi perhatian publik adalah ketika Zulkifli Hasan turun langsung ke lokasi banjir yang terjadi di Sumatera Barat. Pada satu sisi, tindakan yang dilakukan mencerminkan gestur empati seorang pemimpin: hadir di lokasi dan menyapa para korban, serta ikut menanggung beban. Liputan 6 (2025) menulis bahwa “Zulhas mengungkapkan, aktivitas berbagi bukan hal baru baginya. Ia mengaku sudah terbiasa melakukan hal itu sejak masih berusia enam tahun, jauh sebelum terjun ke dunia politik dan pemerintahan”.

Namun di sisi lain, pengambilan gambar yang berfokus pada momen dirinya memikul karung dan kemudian dipublikasikan pada akun resmi membuat masyarakat menafsirkan hal lain. Apakah ini bentuk serving the people atau serving the image? Apalagi pada kejadiannya, terdapat banyak relawan dan petugas berada di lokasi yang sebenarnya bisa saja melakukan tugas fisik itu tanpa perlu sorotan kamera.

Ketegangan tafsir ini membuka ruang untuk membaca aksi tersebut melalui kacamata kepemimpinan yang tidak etis. Kepemimpinan yang tidak etis tidak selalu hadir dalam bentuk skandal besar, tetapi bisa juga muncul dalam ekspresi simbolik dan pengelolaan emosi yang tampak tulus namun sesungguhnya manipulatif. Merujuk pada buku Leadership in Organizations, salah satu bentuk kepemimpinan tidak etis adalah pseudo-transformationalleadership (Yukl, 2013).

Dalam bentuk ini, pemimpin menampilkan diri seolah-olah heroik dan inspiratif pada momen-momen tertentu saja, padahal yang terutama diambil adalah kesempatan untuk membangun citra, bukan memperkuat kepentingan publik secara mendalam. Gestur Zulkifli Hasan dengan aksinya yang memanggul beras menunjukkan bahwa dirinya seolah-olah heroik sebagai Menteri Koordinasi Bahan Pangan. Zulkifli Hasan tampaknya lebih mengutamakan upaya membangun citra dirinya daripada menyelesaikan persoalan pangan secara nyata dan merata karena terbukti masih banyak daerah yang membutuhkan bantuan kebutuhan dan pasar dan lebih bergantung pada bantuan dan donasi masyarakat sipil.

Selain itu, koordinasi pangan nasional yang menjadi tanggung jawab Zulkifli Hasan malah berjalan lambat dan tidak terarah, serta kondisi di lapangan yang justru memperlihatkan bahwa adanya kesenjangan antara citra pemerintah dan realitas bantuan yang diterima oleh masyarakat. Masyarakat sendiri lebih merasakan bantuan yang diberikan oleh relawan, komunitas lokal, hingga para influencer di media sosial yang menggerakan donasi untuk korban secara cepat dan tepat.

Terdapat video dan laporan dari warga yang memperlihatkan bahwa bantuan yang sampai lebih dulu pada daerah terisolasi bukan berasal dari pemerintah pusat, melainkan bersumber dari masyarakat sipil yang mampu untuk bergerak secara spontan. Solidaritas warga merupakan sebuah kekuatan sosial yang sangat luar biasa. Namun, hal ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak mampu memenuhi tanggung jawab utamanya untuk melindungi keselamatan dan kesejahteraan masyarakatnya.

Dalam kerangka kepemimpinan efektif Yukl (2013), seorang pemimpin seharusnya mampu menggerakan organisasinya untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien, hal ini tentu sangat berkaitan dengan tanggung jawab Zulkifli Hasan untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun warganya yang kelaparan. Akan tetapi, pada kenyataanya implementasi kepemimpinan Zulkifli Hasan tidak mampu untuk memperlihatkan kemampuannya dalam mendorong sistem respons yang sigap dan terpadu, sebab negara justru absen dalam penanggulangan bencana yang semestinya dilakukan secara menyeluruh.

Pemerintah sendiri mengklaim bahwa telah menggelontorkan bantuan dalam jumlah milyaran yang justru kenyataannya berbanding terbalik karena banyak laporan di lapangan yang menunjukkan masih banyak daerah yang belum tersentuh distribusi bantuan secara memadai dan bergantung pada dukungan relawan maupun inisiatif masyarakat sipil. Fenomena masyarakat yang lebih merasakan bantuan dari relawan dibandingkan dari Kementerian Koordinator Bidang Pangan menjelaskan bahwa terdapat kriteria kepemimpinan efektif menurut Yukl (2013) yang tidak dapat dipenuhi oleh Zulkifli Hasan.

Tujuan organisasi yang tidak tercapai dengan efektif karena distribusi pangan terlambat dan kapasitas pengikut yang tidak dibangun sehingga membuat pemerintah daerah serta petugas lapangan bekerja tanpa adanya koordinasi yang jelas. Alhasil, masyarakat sipil justru mengambil alih peran yang seharusnya dilaksanakan oleh negara. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kondisi krisis dan darurat, efektivitas Zulkifli Hasan bukan dinilai dari gestur simbolik, melainkan dari kemampuannya dalam menggerakan sistem dan memastikan bahwa masyarakatnya terlindungi.

Respon Zulkifli Hasan sebagai Menko Pangan pada krisis banjir Sumatra sejauh ini hanya berfokus pada penanganan jangka pendek, yakni melalui penambahan stok beras dan logistik lewat Bulog, serta janji pemulihan rumah dan infrastruktur. Langkah ini menjadipenting, tetapi penguatan mekanisme pangan yang ia pimpin juga diperlukan, mulai dari Bulog, pemerintah daerah, jaringan distribusi, sampai akhirnya berada pada komunitas lokal menjadi langkah perbaikan yang berdampak jangka panjang. Ini selaras dengan konsep kepemimpinan yang efektif menurut Hughes dkk. (2018) dan kepemimpinan kolaboratif dalam tata kelola publik.

Tugas utama Kemenko Pangan menurut Perpres No. 147 Tahun 2024 menyebutkan bahwa Kementerian Koordinator Bidang Pangan bertugas menyelenggarakan sinkronisasi, koordinasi, dan pengendalian pelaksanaan urusan kementerian di bidang pangan. Artinya, evaluasi kepemimpinan Zulkifli Hasan seharusnya tidak berhenti pada apakah ia hadir di lokasi dan memanggul beras, tetapi juga sejauh mana ia membangun mekanisme jangka panjang agar negara tidak terus menerus kalah cepat dengan sinergi masyarakatnya sendiri. Disini Zulkifli Hasan ditantang untuk bergeser dari logika kepemimpinan yang mengandalkan heroisme individual menuju logika kepemimpinan yang menjadikan dirinya sebagai enabler bagi kekuatan yang bersifat kolektif.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Wamentan Luruskan Informasi Perihal Bantuan Beras Rp60 Ribu/Kg

Wakil Menteri Pertanian Sudaryono menjawab pertanyaan awak media di Jakarta, Rabu (10/12/2025). ANTARA/Harianto Wakil Menteri Pertanian Sudaryono menjawab pertanyaan awak media di Jakarta, Rabu (10/12/2025). ANTARA/Harianto
Wakil Menteri Pertanian Sudaryono menjawab pertanyaan awak media di Jakarta, Rabu (10/12/2025). ANTARA/Harianto

Jakarta, aktual.com – Wakil Menteri Pertanian Sudaryono meluruskan informasi yang viral di media sosial soal bantuan pangan beras untuk membantu korban bencana banjir dan tanah longsor di Sumatera senilai Rp60 ribu per kilogram (kg).

Dalam kegiatan memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia lingkup Kementerian Pertanian di Jakarta, Rabu (10/12), Sudaryono mengatakan bahwa bantuan seharga Rp60 ribu setiap penerima manfaat tersebut bukan 1 kilogram tetapi per 5 kilogram.

“Saya mau jelaskan itu kan sempat ramai di sosmed, katanya hitungan Kementan satu kilo beras Rp60 ribu gitu ya? Itu mungkin perlu saya kasih tahu, itu salah, typo tapi perhitungannya tidak keliru. Bukan satu kilo Rp60 ribu, tapi satu pack. Satu pack itu kan 5 kilo,” kata Sudaryono.

Ia menegaskan bantuan tidak mungkin diberikan 1 kilogram, karena standar penyaluran beras kemasan adalah satu pack 5 kilogram bagi setiap penerima manfaat yang terdampak bencana alam banjir dan tanah longsor di wilayah tersebut.

“Kan nggak mungkin kita kasih bantuan 1 kilogram kan, pasti ngasihnya kan satu pack 5 kilogram (harga) Rp60 ribu. Jadi satu kilonya adalah Rp12.500 gitu,” jelasnya.

Dengan demikian, harga Rp60 ribu tersebut setara Rp12.500 per kilogram, sehingga perhitungannya benar tanpa merugikan masyarakat penerima bantuan pangan beras pemerintah pusat nasional.

Kesalahan yang terjadi, menurut Sudaryono, hanya pada penulisan satuan di informasi awal, sementara substansi anggaran bantuan pangan tetap sesuai ketentuan berlaku dan mekanisme penyaluran resmi pemerintah kepada masyarakat terdampak bencana.

Sudaryono juga menjelaskan beras kemasan terkecil di pasaran umumnya berbentuk pack lima kilogram, sedangkan ukuran di bawahnya biasanya dijual curah sesuai kebutuhan konsumen melalui penimbangan mandiri di pengecer ritel lokal.

Melalui klarifikasi ini, Kementerian Pertanian berharap masyarakat memahami skema bantuan secara utuh, memperkuat kepercayaan publik, serta mendukung upaya penanganan bencana berkelanjutan di Sumatera dengan komunikasi terbuka, akurat, konsisten, berimbang bertanggung.

Sebelumnya Kementerian Pertanian (Kementan) mengajak masyarakat untuk aktif ikut mengawasi dan mengawal ketat penyaluran bantuan beras 1.200 ton bagi korban bencana di Sumatera, agar distribusi berjalan transparan dan benar-benar tepat sasaran.

“Hingga saat ini, pemerintah telah menyalurkan 1.200 ton bantuan beras senilai Rp16 miliar untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan masyarakat terdampak,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementan Moch. Arief Cahyono dalam keterangan di Jakarta, Senin (8/12).

Dia menyampaikan secara total, pemerintah rencananya menyalurkan 10.000 ton bantuan beras. Untuk itu, Kementan menegaskan perlunya keterlibatan publik sehingga mencegah potensi penyimpangan di lapangan.

Kementerian Pertanian menanggapi ramainya perhatian publik terkait data bantuan yang beredar untuk masyarakat terdampak bencana di Sumatera.

“Pemerintah menyampaikan apresiasi kepada warganet yang turut mengawasi dan memberikan masukan terkait transparansi data,” ujar Arief.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Tafsir Al-Baqarah 11–12: Menjaga Bumi dengan Menjaga Aturan Allah Swt

Ilustrasi Penghafal al-Qur'an

 

Jakarta, aktual.com – Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 11-12:

﴿وَإِذَا قِیلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُوا۟ فِی ٱلۡأَرۡضِ قَالُوۤا۟ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ ۝١١ أَلَاۤ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡمُفۡسِدُونَ وَلَـٰكِن لَّا یَشۡعُرُونَ ۝١٢﴾ [البقرة ١١-١٢]

Ayat 11–12 Surah Al-Baqarah menyingkap satu kenyataan yang terus berulang dalam sejarah manusia: ada kelompok yang merasa diri paling benar, paling reformis, dan paling peduli kebaikan publik, padahal tindakan mereka justru merusak tatanan kehidupan. Ketika dinasihati agar tidak membuat kerusakan di bumi, mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah para pembuat kebaikan.” Namun Allah menegaskan bahwa merekalah para perusak itu, hanya saja mereka tidak menyadarinya.

Para mufasir seperti Ibn ‘Abbas, Al-Hasan, Qatadah, dan As-Suddi memaknai “kerusakan di bumi” sebagai munculnya kemaksiatan kepada Allah. Tafsir ini menekankan sebuah hubungan mendasar: bumi menjadi rusak ketika manusia menjauh dari aturan Allah, bukan hanya dalam arti ekologis, tapi juga moral, sosial, dan peradaban. Imam al-Qaffal menjelaskan bahwa syariat ibarat standar hidup bersama, ketika manusia berpegang teguh padanya, rasa aman tumbuh, konflik mereda, hak-hak ditunaikan, dan ketertiban sosial terjaga. Sebaliknya, ketika hawa nafsu menjadi standar, kekacauan tidak dapat dihindari. Dari ketidakadilan, pertumpahan darah, hingga runtuhnya kepercayaan sosial, semuanya adalah bentuk “kerusakan di bumi”.

Ayat ini memberi pesan bahwa menjaga bumi bukan sekadar isu lingkungan hidup; ia adalah isu spiritual dan moral. Kerusakan alam sering kali berawal dari kerusakan jiwa: keserakahan, eksploitasi tanpa batas, ketidakpedulian pada aturan Allah, dan pemutusan hubungan antara manusia dengan nilai-nilai Ilahi. Ketika syariat ditinggalkan, hubungan manusia dengan sesama dan dengan alam menjadi timpang. Sikap merusak lingkungan, merampas hak orang lain, hingga memanipulasi kebenaran demi kepentingan pribadi, semuanya merupakan wajah-wajah modern dari “ifsad fi al-ardh”.

Sebaliknya, menjalankan syariat adalah bentuk paling fundamental dari “islah”, membuat kebaikan. Syariat hadir untuk menata hidup, bukan membelenggu; ia memberi rambu agar manusia tidak saling menzalimi dan tidak merusak bumi yang dititipkan Allah. Mulai dari ajaran keadilan, larangan berbuat zalim, perintah menjaga amanah, hingga prinsip tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan sumber daya—semuanya menciptakan tatanan yang selaras dengan fitrah bumi.

Dengan membaca ayat ini, kita diajak untuk menilai ulang klaim-klaim “perbaikan” yang justru menjauhi nilai Ilahi. Tidak semua yang tampak modern adalah kemajuan; tidak semua yang dibungkus jargon kebaikan benar-benar memperbaiki. Ukurannya jelas: apakah ia mendekatkan manusia kepada syariat Allah, atau justru menyingkirkannya? Karena yang menjaga syariat akan menjaga bumi, dan yang merusak syariat pasti merusak bumi, meskipun mereka menganggap diri mereka pembawa perbaikan.

Ayat 11–12 ini, dengan sangat tajam, mengikat spiritualitas, moralitas, dan ekologi dalam satu pesan: bumi hanya akan baik jika manusia baik; manusia hanya akan baik jika mereka kembali pada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Berita Lain