24 Desember 2025
Beranda blog Halaman 75

Lestari Moerdijat Tegaskan Kekerasan Tidak Sesuai Pancasila

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat seminar Perempuan sebagai Ujung Tombak Pemberdayaan dalam Mengatasi Kemiskinan dengan Hidup Sehat di Jakarta, Sabtu (3/5/2025). Aktual/DOK MPR RI

Jakarta, aktual.com – Tindak kekerasan terhadap perempuan bukan semata masalah rumah tangga, lebih dari itu dia adalah pelanggaran nilai-nilai kehidupan dan Pancasila, serta ancaman bagi masa depan bangsa.

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menegaskan hal itu dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (6/12).

Pernyataan itu disampaikan Lestari saat menjadi pembicara pembicara secara daring pada Kelas Ketigabelas Feminisme Pancasila Akademi Perempuan NasDem dengan tema Kekerasan Seksual dan Kampanye Nasional 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Jumat (5/12).

Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat perlu kerja keras yang luar biasa agar kita dapat mengurangi, bahkan meniadakan kekerasan terhadap perempuan di tanah air.

Menurut Rerie, bangsa Indonesia tidak boleh lagi menoleransi tindak kekerasan dan berkompromi dengan patriarki.

Karena, ujar Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI, bangsa Indonesia memiliki Empat Konsensus Kebangsaan yang merupakan basis moral dalam mewujudkan gerakan antikekerasan.

Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu berpendapat, hadirnya UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan tonggak reformasi sosial yang mempertegas sikap moral bangsa dalam melawan tindak kekerasan dan ketidakadilan.

Diakui Rerie, Indonesia tidak kekurangan regulasi untuk melindungi warganya.

Yang harus ada saat ini, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, adalah kehadiran negara yang konsisten untuk mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara.

Rerie mengajak seluruh elemen masyarakat dan negara mengambil peran dengan kapasitas yang dimiliki, untuk bersama-sama menghapuskan kekerasan di negeri ini.

Karena, tegas Rerie, tanpa tindak kekerasan akan terwujud lingkungan yang aman bagi setiap warga, termasuk perempuan.

“Bila perempuan aman dan terlindungi akan menghadirkan perempuan kuat yang aktif membangun dan mampu melahirkan generasi penerus bangsa yang tangguh di masa datang,” pungkas Rerie. *

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano

KAKI: Penyimpangan Konsesi Tol CMNP Berpotensi Rugikan Negara Puluhan Triliun

Jakarta, aktual.com – Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) menilai dugaan penyimpangan dalam perpanjangan konsesi Tol Cawang–Pluit telah menimbulkan risiko kerugian negara dalam skala besar.

Perpanjangan konsesi yang diberikan kepada PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) hingga 2060 tanpa proses lelang dinilai tidak hanya melanggar aturan hukum, tetapi juga merugikan keuangan negara, karena hak pengoperasian jalan tol tidak kembali ke pemerintah melalui BUMN sebagaimana mestinya.

Ketua Umum KAKI Arifin Nurcahyono menegaskan bahwa skema konsesi tersebut seharusnya dikembalikan kepada negara pada 2025 sesuai kontrak awal. Namun, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) memperpanjangnya lebih awal pada 2020 tanpa pelelangan, sehingga negara kehilangan peluang mendapatkan skema investasi terbaik.

“Potensi kerugian negara mencapai puluhan triliun rupiah, karena negara tidak bisa mengoperasikan kembali tol ini melalui BUMN,” ujarnya.

Selain itu, Arifin mengingatkan bahwa masyarakat ikut menanggung dampaknya. Dengan perpanjangan konsesi, publik kehilangan kesempatan menikmati layanan Tol Cawang–Priuk–Ancol–Pluit secara gratis setelah masa konsesi berakhir.

“Ini bukan hanya kerugian negara, tetapi kerugian langsung bagi masyarakat yang seharusnya bisa menikmati jalan tol ini tanpa bayar setelah kontrak berakhir,” katanya.

Temuan lain yang memperkuat dugaan penyimpangan berasal dari pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) Semester I Tahun 2024, BPK menyoroti pengembangan tol layang Ancol Timur–Pluit yang diduga tidak melalui mekanisme pelelangan. Ketidaksesuaian prosedur tersebut dinilai merugikan pemerintah, karena tidak mendapatkan skema investasi terbaik dari badan usaha jalan tol.

Arifin menilai rangkaian temuan tersebut cukup kuat untuk menaikkan status kasus ke tahap penyidikan. Ia mendesak Kejaksaan Agung segera memeriksa pemilik CMNP Jusuf Hamka, serta mantan pejabat BPJT yang diduga terlibat dalam proses perpanjangan konsesi.

“Kami mendesak Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan ulang terhadap Jusuf Hamka dan mantan pejabat BPJT. Penggeledahan kantor CMNP dan rumah Jusuf Hamka penting dilakukan untuk mengamankan bukti sebelum hilang,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa KAKI khawatir semakin lamanya proses penyelidikan akan memunculkan risiko hilangnya bukti penting yang dapat memperkuat pembuktian tindak pidana korupsi.

“Kejagung tidak boleh menunda. Penanganan lambat justru membuka peluang penghilangan bukti,” katanya.

KAKI menegaskan percepatan proses hukum menjadi bagian dari upaya mengembalikan hak negara atas aset strategis yang selama ini dikuasai pihak swasta melalui konsesi yang diduga tidak sah.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Batara Harahap Klarifikasi Tuduhan Perusakan, Sebut Ada Perintah Demo dan Aktor di Baliknya

Jakarta, aktual.com – Batara Harahap memberikan klarifikasi atas tuduhan keterlibatannya dalam perusakan fasilitas PT Timah saat aksi massa. Ia menegaskan perannya hanya sebagai penggerak massa, bukan pelaku perusakan.

Ia mengungkap menerima arahan langsung dari gubernur saat itu sebelum aksi 6 Oktober berlangsung. Batara menyebut pemicu gerakan karena sikap PT Timah kepada masyarakat.

“PT Timah tidak lagi menghargai masyarakat dan putra daerah,” Ujar Batara, dikutip Minggu, (7/12/2025).

Menurut Batara, ia diminta menyusun kekuatan massa dan menggelar aksi besar-besaran di kantor perusahaan. Ia juga menerima pesan bahwa massa tidak boleh membubarkan diri sebelum pejabat terkait datang ke lokasi.

Ia mengklaim telah diminta menunda aksi karena agenda kedatangan presiden, namun menolak karena persiapan telah matang.

“Undangan sudah tersebar dan massa sudah siap, jadi tidak bisa ditunda,” katanya.

Situasi di lapangan akhirnya berubah ricuh di luar kendalinya saat jumlah massa membesar. Ia mengakui terjadi pembakaran, perusakan kaca, dan pagar saat kerumunan tak terkendali.

Batara menyatakan pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab atas kerusuhan dan kerusakan tersebut.

“Yang menyuruh menggelar aksi dan memberi dana adalah Hidayat Arsani,” katanya.

(Muhammad Hamidan Multazam)

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Akademisi Mendesak Pemerintah Tegas Atur Kental Manis

Jakarta, aktual.com – Sejumlah akademisi dari berbagai perguruan tinggi mendesak pemerintah untuk lebih tegas mengatur konsumsi kental manis. Desakan ini muncul sebagai  tindak lanjut dari penelitian yang dilakukan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Universitas Negeri Semarang (Unnes), dan Universitas Aisyiyah Yogyakarta (Unisa) tentang dampak konsumsi kental manis sebagai minuman susu untuk balita di Pamijahan Bogor, Semarang, dan Kulon Progo. 

Guru besar ahli gizi UMJ, Dr. Tria Astika Endah Permatasari mengatakan hasil penelitian menemukan persoalan kental manis bukan hanya perihal ekonomi, tetapi juga regulasi yang terlalu longgar. Maka dari itu perlu peran pemerintah yang lebih besar.

“Harapannya tentu pemerintah berani dan tegas terkait dengan edukasi dan kebijakan ini, karena generasi manis hari ini akan berujung masa depan pahit,” kata Prof Tria.

Dalam temuan, pola konsumsi kental manis ditemukan melekat pada budaya keluarga. Banyak orang tua masih menyamakan kental manis dengan susu, sebagian karena dibesarkan dengan persepsi yang sama. Para akademisi menilai kondisi ini tak akan berubah tanpa dorongan kebijakan yang konsisten.

“Perubahan perilaku mulai dari level pemerintah hingga akar rumput adalah perjalanan panjang. Tidak cukup tiga sampai enam bulan; perlu bertahun-tahun,” tutur Prof Tria dalam paparannya.

Oleh karena itu, Tria mengusulkan pemerintah bisa mencontoh negara yang memberikan label seberapa besar kandungan gula dalam satu produk. Hal itu dapat mengedukasi masyarakat dalam memilih produk yang lebih sehat.

“Lami juga memberikan alternatif. Negara lain sudah memakai color guidance. Misalnya merah untuk tinggi gula. Kita perlu visual yang memberi warning jelas agar masyarakat tahu resikonya,” ujarnya.

Senada, Koordinator Prodi Gizi UNNES Dr. Mardiana lemahnya regulasi dan edukasi menjadi akar yang membuat konsumsi kental manis terus berulang, terutama di kelompok ekonomi menengah ke bawah. Menurutnya, pemerintah perlu menindaklanjuti temuan riset dengan kebijakan yang lebih konkret.

“Kalau pemerintah sudah kuat seperti ke rokok, hal-hal seperti ini akan mengikuti. Advokasi dan edukasi harus jalan bersama agar visual periklanan tidak lagi menyesatkan,” ujar Mardiana.

Sementara itu, pengajar Universitas Aisyiyah Yogyakarta  Luluk Rosida, S.ST., MKM menjelaskan bahwa banyak anak yang mengalami gangguan kesehatan dari penelitian di Kulon Progo. Salah satu gangguan kesehatan yang paling banyak adalah gangguan karies.

“Jadi ada 16 anak yang giginya karies dan itu juga kemarin kami lakukan observasi karena diminta membawa balitanya gitu ya,” ungkap Luluk.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Kesesatan Logika Advokat di Tengah Krisis Peradilan

Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan. FOTO: Ist

Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP*

SULIT menampik kenyataan bahwa banyak advokat di Indonesia hari ini berjuang di medan yang nyaris selalu buntu. Di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, sampai Mahkamah Agung dalam rumpun peradilan umum; di Pengadilan Tata Usaha Negara; di Pengadilan Agama; di Pengadilan Militer; dan bahkan di Pengadilan Pajak yang secara struktur masih dalam transisi dari “dua atap” (Mahkamah Agung–Kementerian Keuangan) menuju “satu atap” di Mahkamah Agung paling lambat 31 Desember 2026.

Di atas kertas, semua lembaga ini adalah penjaga keadilan. Di lapangan, terlalu sering advokat berhadapan dengan putusan yang tercium lebih sebagai kompromi kekuasaan daripada penegakan hukum. Skandal korupsi di Mahkamah Agung dengan figur seperti Zarof Ricar, mantan pejabat MA yang akhirnya dihukum 18 tahun penjara dan dirampas uang sekitar Rp915 miliar serta 51 kg emas, hanya puncak gunung es yang kebetulan terbongkar ke publik.

Di tengah realitas itu, teknologi informasi yang digembar-gemborkan di lingkungan MA, seperti e-court, e-litigation, aneka dashboard dan sistem informasi, sering terasa hanya sebagai “make up digital” di atas wajah lama peradilan yang masih keropos. Sistemnya tampak modern, tapi kultur hukumnya tetap sama: hakim yang sibuk menjadi corong undang-undang, bukan penegak hukum dan keadilan. Keadilan dikorbankan atas nama kepatuhan formal pada bunyi pasal, seolah-olah teks undang-undang selalu suci dan kebal terhadap penyalahgunaan kekuasaan.

Di titik buntu seperti inilah banyak advokat mulai menemukan pola: putusan-putusan yang seragam, alur logika yang berulang, dan argumentasi hakim yang berhenti pada “karena bunyi undang-undang seperti ini”. Ketika ruang tafsir di peradilan biasa tertutup oleh cara pandang “corong undang-undang”, advokat terpaksa mencari pintu lain: Mahkamah Konstitusi.

Advokat yang kelelahan dihantam putusan formalistik di semua jenjang peradilan mulai melirik Mahkamah Konstitusi sebagai medan perjuangan baru. Di sana, mereka tidak lagi sekadar memperjuangkan “si A melawan si B”, melainkan menggugat makna norma: frasa, pasal, atau ayat yang menjadi sumber lahirnya ketidakadilan di peradilan biasa.

Di Mahkamah Konstitusi, advokat mengajukan uji materiil:
mereka bertanya, “Apakah pasal ini, dalam bunyi dan penerapannya, masih selaras dengan UUD 1945?”
Di forum ini, pola berulang dari putusan peradilan biasa, hakim yang menyembunyikan diri di balik teks undang-undang, ditarik ke tingkat yang lebih tinggi: konstitusinya sendiri diuji.

Tidak sedikit advokat atau pemohon yang kemudian menang. Sejumlah norma dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, sebagian lain dinyatakan inkonstitusional bersyarat, dimaknai ulang, atau dipersempit penerapannya. Putusan-putusan ini mengubah lanskap hukum, kadang secara sangat nyata: dari hukum pajak, pidana, tata usaha negara, sampai hak-hak konstitusional warga.

Namun di sinilah ironi sekaligus problem barunya muncul:
sebagian advokat mulai menganggap putusan MK itu milik pribadinya.

Mereka bicara di media, di forum, bahkan di kalangan profesi seolah-olah: “Ini kemenangan saya.” “Ini putusan saya.”

Lupa satu hal mendasar: putusan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi bukan putusan privat, ia bersifat erga omnes, mengikat seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya pemohon.

Secara logika hukum, advokat yang mengajukan uji materiil di MK sedang memainkan peran yang berbeda dari advokat yang membela klien di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Pajak. Di pengadilan biasa, konstruksinya jelas: ada penggugat–tergugat, ada terdakwa–penuntut umum, ada sengketa yang hasil akhirnya memang langsung menyentuh klien tertentu. Di sini, wajar jika advokat berkata, “Saya memenangkan perkara untuk klien saya.” Karena memang orbitnya privat.

Tetapi di Mahkamah Konstitusi, panggungnya lain. Permohonan uji materiil terhadap undang-undang, meski lahir dari kasus konkret yang dialami pemohon, pada hakikatnya menyentuh nasib semua orang yang berada di bawah jangkauan norma itu. Putusan MK yang mengubah, menafsirkan ulang, atau membatalkan suatu norma berlaku untuk seluruh warga, bukan hanya untuk pemohon yang datang lebih dulu. Undang-undang tidak lagi boleh dibaca dengan cara lama, bukan hanya terhadap satu klien, tetapi terhadap seluruh bangsa.

Di titik ini, ketika advokat mengklaim: “Ini putusan saya, hasil jerih payah saya, jangan seenaknya dipakai orang lain,” maka di situlah kesesatan logika itu berdiri tegak.

Ia lupa bahwa ketika melangkah ke MK, ia sebenarnya telah naik kelas: dari sekadar pembela klien menjadi aktor konstitusional. Ia tidak lagi hanya bermain di arena kepentingan privat, tetapi sudah menyentuh ruang kepentingan publik, bahkan kepentingan negara dalam arti yang lebih luas.

Jika ingin menikmati putusan sebagai “hak milik pribadi”, seharusnya tetap bermain di pengadilan umum, TUN, agama, militer, atau pajak. Di sana, struktur sengketanya memang dirancang untuk hasil yang berorientasi pada pihak-pihak tertentu. Tapi begitu melangkah ke Mahkamah Konstitusi, medan itu bergeser: yang dipertaruhkan adalah makna norma bagi seluruh rakyat.

Di tengah mentalitas sebagian advokat yang terjebak merasa “memiliki” putusan MK, muncul contoh yang menarik dari dunia perpajakan. Seorang kuasa hukum pajak bernama Fungsiawan mengajukan permohonan uji materiil Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU KUP sebagaimana diubah UU Cipta Kerja, terkait larangan perekaman audio visual dalam setiap pertemuan antara wajib pajak dan fiskus.

Inti persoalannya sederhana tapi sangat penting: DJP selama ini menafsirkan Pasal 34 UU KUP sebagai dasar melarang wajib pajak atau kuasanya merekam pertemuan dengan petugas pajak. Padahal, secara tekstual, norma itu justru melarang pejabat pajak membocorkan rahasia wajib pajak, bukan melarang wajib pajak mendokumentasikan sendiri pertemuan resmi yang menyangkut hak dan kewajibannya. Fungsiawan menggambarkan bagaimana rekaman yang seharusnya wajib dilakukan secara internal oleh fiskus justru sering tidak ada, sementara larangan merekam justru diberlakukan kepada wajib pajak.

Dengan uji materiil ini, ia tidak sekadar membela satu klien dalam satu sengketa pajak. Ia sedang membuka jalan agar setiap wajib pajak kelak bisa merekam proses pertemuan dengan fiskus sebagai bagian dari hak atas transparansi dan alat bukti yang fair. Kalau permohonannya dikabulkan, dampaknya tidak berhenti di dirinya: semua warga negara yang berhadapan dengan pejabat pajak akan ikut merasakan perubahan itu.

Dan yang menarik, cara dia memposisikan diri bukan sebagai pemohon yang berkata, “Kalau saya menang, ini hak saya,” melainkan sebagai perjuangan untuk seluruh wajib pajak yang sering berada di posisi lemah, berhadapan dengan tafsir sepihak pejabat pajak yang berlindung di balik bunyi pasal.

Inilah yang seharusnya menjadi standar moral advokat di Mahkamah Konstitusi: ketika menguji undang-undang, mereka sedang bertindak sebagai warga yang berjiwa negarawan, bukan hanya sebagai pedagang jasa hukum.

Karena itu, di tengah krisis kepercayaan terhadap peradilan, korupsi di Mahkamah Agung, putusan-putusan yang terindikasi dipengaruhi oknum, dan digitalisasi yang lebih mirip kamuflase daripada reformasi, Mahkamah Konstitusi sering dipandang sebagai salah satu sisa ruang harapan. Tetapi ruang ini hanya akan benar-benar menjadi berkah bagi rakyat jika para advokat yang memasukinya siap melepaskan ego profesi dan logika “milik pribadi”.

Putusan MK adalah milik konstitusi, dan melalui konstitusi, ia menjadi milik seluruh rakyat. Advokat boleh tercatat sebagai pemohon, boleh berbangga sebagai penggagas argumen, boleh menuliskan namanya dalam sejarah perkara; tetapi hak menikmati putusan itu tidak boleh dimonopoli. Justru ukuran keberhasilan moral seorang advokat di Mahkamah Konstitusi bukan hanya saat permohonannya dikabulkan, melainkan ketika ia rela melihat:

  • putusan itu dipakai orang yang tidak ia kenal,
  • dimanfaatkan oleh wajib pajak kecil di kabupaten yang jauh,
  • dipegang oleh warga yang selama ini tidak punya akses pengacara sekalipun,

dan ia tetap bisa berkata dalam hati: “Memang sejak awal, ini bukan untuk saya sendiri. Ini untuk kita semua.”

Di tengah krisis peradilan, kita butuh lebih banyak advokat yang mengerti perbedaan itu, yang paham bahwa menang di MK berarti mengikat bangsa, bukan mengunci hak atas putusan untuk dirinya sendiri. Kalau Mahkamah Agung sedang diuji oleh skandal dan rapuhnya integritas, maka Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadi tempat di mana jiwa kenegarawanan para advokat diuji.

Dan ujian pertama mereka sederhana, beranikah mereka berhenti menganggap putusan MK sebagai milik pribadi?

*Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia,
Anggota Majelis Tinggi Partai X,
Wakil Direktur Sekolah Negarawan

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi

SOROTAN: Sumatera Banjir Bandang, Jakarta Banjir Alasan

Warga mengamati sampah kayu gelondongan pascabanjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). ANTARA FOTO/Yudi Manar/agr/am.
Warga mengamati sampah kayu gelondongan pascabanjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). ANTARA FOTO/Yudi Manar/agr/am.

Pada November 1988, di lereng pegunungan Thailand Selatan, hujan monsun datang tanpa kompromi. Menimbulkan longsoran lumpur, batu, dan kayu dari lereng yang dulu rimbun, kini rata gergaji. Hasilnya, ratusan rumah tersapu, lebih dari 350 jiwa melayang.

Itu bukan sekadar amukan cuaca, melainkan eksekusi izin dan gergaji (De Graff, 1990; LA Times Archives, 1989). Alih-alih menyalahkan hujan, pemerintah setempat menjawab tragedi dengan langkah radikal. Januari 1989, seluruh konsesi penebangan di hutan alam dibekukan, total logging ban. Hutan dulu ditebang, kini dijaga sebagai pagar kehidupan (Durst dkk., 2001).

Empat dekade berselang, gelombang bencana serupa tergulung di tanah kita di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, pada akhir November 2025. Terbaru, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 7 Desember 2025 mencatat korban tewas 916, dengan ratusan lainnya hilang. Selain rumah dan infrastruktur rusak, jutaan manusia terpaksa mengungsi. (Reuters, 2025; data BNPB update Desember 2025).

Tapi, berbeda dengan Thailand, pemerintah kita tampaknya memilih satu jalan penyangkalan halus. Hujan deras, siklon tropis, perubahan iklim menjadi ‘tempat aman’ berlindung ketimbang mengevaluasi kesalahan sistem dan kebijakan.

Alasan-alasan itu terus berulang. Padahal, jauh sebelum air datang, ada tangan manusia yang merobohkan perisai alami hutan di hulu DAS ditebang, izin ekstraktif terus dibuka, konsesi tambang dan logging tetap berjalan.

Laporan terbaru menyatakan bahwa sebagian perusahaan tambang dan perkebunan di Sumatra, yang izin pengelolaannya kini disorot, mungkin ikut memperburuk lubang ekologis di hulu DAS (Reuters, 2025; KLH/BPLH, 2025).

Pemerintah pun hanya bereaksi dengan janji. Akan mengevaluasi izin, menengarai pelanggaran, bahkan menyebut bakal mencabut izin perusahaan-perusahaan yang terbukti melanggar (Reuters, 2025).

Tapi sampai saat ini belum ada permintaan maaf publik dari pemerintah kepada warga. Tak ada pengakuan bahwa ini ulah manusia. Tak ada beban moral yang diakui resmi, hanya deretan angka korban dan janji evaluasi.

Sementara itu, air terus mengalir membawa lumpur dan kayu. Dan setiap tetesnya adalah saksi bisu bahwa bencana bukan sekadar hukuman dari langit, melainkan konsekuensi dari dokumen izin, gergaji, dan keputusan politik yang lebih memilih izin daripada keadilan ekologis.

Hutan dulu dijual sebagai konsesi. Sekarang kekuasaan menjual nyawa sebagai statistik. Hingga kapan kita percaya bahwa ini semata ‘bencana alam’?

Pada titik ini, bukan lagi soal mencari kambing hitam di antara awan dan pepohonan. Bencana ini memaksa kita bertanya, apa gunanya negara jika ia hanya datang setelah rumah hanyut?

Thailand menjawab tragedi dengan keberanian politik. Menghentikan gergaji, bukan sekadar menghentikan air. Indonesia masih sibuk merumuskan kalimat yang aman; cuaca ekstrem, anomali iklim, fenomena global, seolah tanah yang retak di hulu bukan fakta lokal.

Negara seharusnya meminta maaf kepada rakyatnya, karena izin yang diteken di ruang dingin melahirkan kuburan basah di ruang hidup warga. Permintaan maaf itu harus diikuti tindakan pembekuan izin ekstraktif di hulu DAS, audit total konsesi tambang dan HPH/HTI, pemulihan kawasan lindung, serta mekanisme ganti rugi dan pemulihan psikologis bagi korban.

Jika negara tidak berani meminta maaf kepada alam dan manusia sekarang, banjir berikutnya akan menjadi surat panggilan ulang, bukan dari langit, tetapi dari hutang moral yang tak pernah dibayar.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto

Berita Lain