24 Desember 2025
Beranda blog Halaman 77

Gubernur Aceh Cemas Warga Meninggal Bertambah Akibat Kelaparan

Gubernur Aceh Muzakkir Manaf. (ANTARA/Hayaturrahmah)
Gubernur Aceh Muzakkir Manaf. (ANTARA/Hayaturrahmah)

Jakarta, aktual.com – Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menyampaikan kekhawatirannya bahwa banyak warga di wilayah terdampak bencana berisiko meninggal akibat kelaparan. Sejumlah kecamatan hingga kini belum dapat ditembus melalui jalur darat karena jembatan yang menghubungkan desa-desa terputus.

“Kondisi pengungsi sangat membimbangkan (mengkhawatirkan), mereka mati bukan karena banjir tapi mati karena kelaparan, itu saja,” kata Mualem kepada wartawan, Sabtu (5/12/2025).

Ia menjelaskan bahwa Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, dan sebagian wilayah Bireuen merupakan zona yang mengalami dampak paling berat dari banjir tersebut. Saat ini kebutuhan paling mendesak adalah pasokan bahan makanan pokok serta air bersih.

“Masyarakat sangat membutuhkan sembako terutama di pedalaman belum terjamah,” jelasnya.

Ketua Umum Partai Aceh itu menambahkan bahwa pendistribusian bantuan menuju wilayah pedalaman menghadapi tantangan besar karena akses darat terputus total. Untuk menjangkau para pengungsi, logistik harus diangkut menggunakan perahu karet.

Ia mengimbau berbagai pihak, termasuk para kepala desa, untuk bergerak lebih aktif agar bantuan dapat segera tersampaikan. Selain itu, banyak fasilitas umum dilaporkan mengalami kerusakan berat.

Mualem mengatakan dirinya telah meninjau sejumlah lokasi terdampak banjir di wilayah timur dan tengah Aceh. Dari hasil pantauannya, ia menilai bencana yang terjadi pekan lalu memiliki dampak yang mengingatkan pada tragedi tsunami 21 tahun silam.

“Saya pribadi melihat banjir dan longsor ini adalah tsunami kedua,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Pilkada Lewat DPRD? Bahlil Ajukan Usulan, Prabowo Pertimbangkan

Jakarta, Aktual.com – Wacana perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah kembali mengemuka setelah Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengusulkan agar Pilkada dikembalikan ke sistem pemilihan melalui DPRD. Usulan tersebut ia sampaikan langsung di hadapan Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan HUT Ke-61 Partai Golkar di Jakarta, Jumat malam (5/12/2025).

“Khusus Pilkada, setahun lalu kami sudah menyampaikan, kalau bisa kepala daerah dipilih lewat DPRD saja. Setelah kami kaji, lebih baik kembali ke DPR kabupaten/kota, biar tidak pusing-pusing,” ujar Bahlil.

Usulan tersebut kembali membuka perdebatan klasik: apakah demokrasi lokal lebih efektif melalui pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui representasi legislatif daerah?

Golkar, melalui kajian internal, menilai pemilihan melalui DPRD dapat menekan biaya politik yang selama ini menjadi sumber persoalan demokrasi elektoral di tingkat lokal—mulai dari politik uang, jual beli suara, hingga meningkatnya beban fiskal daerah.

Bahlil menjelaskan bahwa pembahasan rancangan undang-undang terkait mekanisme Pilkada akan dimulai tahun depan. Ia menekankan, proses legislasi harus dilakukan secara hati-hati dan inklusif.

“Pembahasannya harus komprehensif, hati-hati, cermat, dan melibatkan masukan luas. RUU ini harus melalui kajian mendalam,” tegasnya.

Dalam konteks hukum, Bahlil mengingatkan bahwa harmonisasi antar-regulasi menjadi kunci, termasuk potensi sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Jangan sampai undang-undang yang sudah disusun dengan baik tetap digugat dan diputus berbeda oleh MK, bahkan sampai menciptakan norma baru,” ujarnya.

Menanggapi wacana tersebut, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan sinyal keterbukaan. Menurutnya, setiap gagasan yang bertujuan menekan biaya politik dan memperkuat kualitas demokrasi layak dipertimbangkan.

“Pemikiran Golkar ini harus kita pertimbangkan dengan baik. Marilah kita berani,” kata Prabowo.

Prabowo menilai masalah terbesar demokrasi elektoral saat ini adalah ketergantungan terhadap pemodal, yang membuat kontestasi politik rawan dikuasai mereka yang berkantong tebal. Usulan pemilihan melalui DPRD dinilai dapat menjadi salah satu jalan keluar.

“Saya sendiri condong. Saya akan mengajak kekuatan politik untuk berani memberi solusi kepada rakyat. Demokratis, tetapi jangan buang-buang uang,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Reformasi Polri Tanpa Kesadaran bahwa Rakyat adalah Majikan, Hanya Kosmetik

Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan. FOTO: Ist

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan)

Jakarta, aktual.com – Gelombang ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian di Indonesia sedang berada di salah satu titik tertingginya. Bukan hanya dalam obrolan warung kopi atau thread media sosial, tetapi meledak dalam bentuk aksi jalanan dan bahkan musik protes. Lagu “Bayar Bayar Bayar” dari duo punk Sukatani, misalnya, sempat viral karena liriknya yang secara terang menyinggung praktik pungli dan “uang pelicin” kepada oknum polisi dalam urusan sehari-hari. Lagu itu sampai akhirnya ditarik dan disertai permintaan maaf kepada institusi Polri—namun justru makin menguatkan kesan bahwa kritik warga cenderung dihadapi dengan tekanan, bukan dengan introspeksi.

Tujuh bulan kemudian, pemerintah membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dipimpin Prof. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Komisi ini diberi mandat merumuskan rekomendasi perbaikan struktural dan kultural di tubuh Polri. Di atas kertas, ini terdengar menjanjikan. Namun tanpa satu kesadaran fundamental—bahwa rakyat adalah majikan, dan Polri hanyalah pegawai publik yang digaji dari uang rakyat—maka seluruh agenda reformasi itu berisiko berhenti sebagai riasan kosmetik di atas luka yang dalam.

Rakyat adalah Pemegang Kedaulatan, Bukan Objek Pengamanan

Konstitusi kita jelas: Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, seluruh lembaga negara—eksekutif, legislatif, yudikatif, termasuk Polri—secara prinsip adalah alat milik rakyat, bukan penguasa di atas rakyat. Gaji mereka dibayar dari pajak, dan pajak itu bersumber dari kerja jutaan orang yang bangun pagi, macet, banting tulang, serta dari pengelolaan kekayaan alam yang menurut UUD 1945 juga milik rakyat.

Dalam logika ini, rakyat adalah “bos besar”, dan polisi adalah salah satu pegawai yang tugasnya melindungi, mengayomi, dan melayani kepentingan sang bos. Bukan sebaliknya. Di level filosofis, hubungan ini harusnya sederhana: rakyat bekerja, membayar pajak, dan memercayakan sebagian kewenangan pada pemerintah; negara membentuk institusi seperti Polri untuk menjamin rasa aman dan keadilan bagi rakyat.

Masalahnya, dalam praktik sehari-hari, relasi itu terasa terbalik. Warga sering diperlakukan seolah-olah “orang kecil yang harus tunduk apapun yang terjadi”, sementara aparat tampil sebagai figur berkuasa yang sulit digugat, bahkan ketika jelas-jelas diduga menyalahgunakan wewenang.

Dari Pungli sampai Panggilan yang Mengintimidasi

Keresahan itu bukan abstrak. Pengalaman banyak warga menunjukkan pola yang mengkhawatirkan:

  • Datang ke kantor polisi untuk membuat laporan, tapi dipersulit, dipingpong, atau “disarankan” menyelesaikan di bawah tangan.
  • Urusan yang seharusnya administratif—minta surat, tilang, atau layanan lainnya—sering kali diiringi permintaan uang yang tidak resmi, praktik yang secara populer disebut pungli dan terang-terangan disindir dalam lirik “mau bikin SIM… bayar polisi”.
  • Warga menerima undangan klarifikasi atau panggilan dengan format yang tidak jelas: tidak gamblang siapa terlapornya, apa persisnya perkara, dan dalam kapasitas apa ia dipanggil. Dari sisi psikologis, ini bukan terasa sebagai layanan hukum, tapi sebagai bentuk tekanan yang mudah sekali berubah menjadi alat kriminalisasi.

Fenomena-fenomena ini bukan lagi cerita individu. Aksi protes berskala nasional pada 2025 yang diwarnai tagar #IndonesiaGelap menempatkan tuntutan “Polisi diberesin” sebagai salah satu agenda utama, bahkan menjadikan lagu “Bayar, Bayar, Bayar” sebagai semacam theme song untuk mengkritik kinerja Polri yang dianggap sarat pungli, gratifikasi, dan kekerasan.

Jika warga yang bekerja, membayar pajak, dan dengan itu ikut membiayai gaji aparat penegak hukum justru hidup dalam rasa takut ketika berurusan dengan mereka, ini bukan lagi sekadar masalah oknum. Ini adalah indikator bahwa orientasi institusi telah bergerak menjauh dari prinsip “rakyat sebagai pemegang kedaulatan”.

Komite Percepatan Reformasi Polri: Harapan Serius atau Sekadar Panggung?

Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri—dengan figur-figur seperti Prof. Jimly dan beberapa purnawirawan maupun pejabat—di satu sisi bisa dilihat sebagai pengakuan pemerintah bahwa ada masalah serius di tubuh Polri. Komisi ini menggelar serangkaian pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, membahas mulai dari struktur organisasi, kultur kekerasan, sampai wacana pembentukan Kementerian Keamanan untuk mengatur posisi Polri secara lebih jelas.

Namun, sejak awal koalisi masyarakat sipil sudah mengingatkan beberapa bahaya:

  1. Komposisi komisi yang terlalu berat pada kalangan elit pemerintah dan purnawirawan, dengan keterwakilan masyarakat sipil yang minim.
  2. Mandat yang tidak jelas apakah rekomendasinya akan benar-benar mengikat dan dilaksanakan, atau hanya menjadi dokumen manis yang mengendap di laci.
  3. Risiko bahwa reformasi hanya berfokus pada struktur formal—perubahan bagan organisasi, nama unit, penambahan kementerian—tanpa menyentuh akar persoalan: hubungan kekuasaan antara polisi dan rakyat, budaya impunitas, dan praktik ekonomi-politik di balik “bayar-bayar” yang dikritik publik.

Selama tidak ada perubahan cara pandang yang fundamental—bahwa rakyat adalah majikan dan polisi adalah pelayan publik—maka reformasi berisiko sebatas seremonial: konferensi pers, logo baru, jargon-jargon, dan sedikit perbaikan prosedur, tanpa menyentuh pengalaman nyata warga di lapangan.

Tanpa Perubahan Cara Pandang, Reformasi Hanya Kosmetik

Mengapa kesadaran bahwa rakyat adalah majikan begitu penting?

  1. Karena ia menentukan cara polisi memandang dirinya sendiri.
    Jika polisi merasa dirinya “alat kekuasaan” yang terutama bertanggung jawab ke atasan politik, maka ia akan lebih mudah tunduk pada kepentingan pejabat, pengusaha besar, atau relasi kuasa lain, daripada pada keadilan bagi warga biasa. Sebaliknya, jika ia sadar bahwa gajinya dibayar dari pajak rakyat dan mandatnya berasal dari kedaulatan rakyat, maka setiap tindakan akan diuji: “Ini menguntungkan bos (rakyat) atau justru merugikan?”
  2. Karena ia menentukan desain pendidikan dan kultur di tubuh Polri.
    Kritik dari berbagai pihak, termasuk Komisi Percepatan Reformasi Polri sendiri, menyoroti bahwa pendidikan kepolisian di Indonesia masih sangat militeristik dan kurang menanamkan nilai-nilai sipil dan kognitif. Polisi sering lupa bahwa ia adalah penegak hukum sipil, bukan alat penakluk warga. Tanpa revisi radikal dalam kurikulum dan kultur, jargon “presisi” atau “humanis” hanya akan jadi poster di dinding.
  3. Karena ia menentukan bentuk mekanisme akuntabilitas.
    Jika rakyat adalah majikan, maka mekanisme pengawasan eksternal—seperti Kompolnas, Ombudsman, hingga kanal pengaduan masyarakat—harus diposisikan sebagai “pintu utama” rakyat mengoreksi polisi, bukan sekadar formalitas. Tanpa pengawasan yang kuat dan independen, setiap komitmen reformasi mudah runtuh di hadapan godaan politik dan bisnis.
  4. Karena ia mengubah cara polisi menyikapi kritik.
    Lagu protes seperti “Bayar, Bayar, Bayar”, demonstrasi mahasiswa, ataupun laporan media seharusnya dibaca sebagai alarm dari majikan yang marah, bukan ancaman yang harus dibungkam dengan intimidasi. Fakta bahwa sebuah lagu kritik sampai ditarik dan disusul permintaan maaf terbuka kepada Polri justru memperkuat kesan bahwa institusi ini lebih sensitif terhadap rasa “dilecehkan” ketimbang terhadap substansi keluhan rakyat.

Reformasi yang Substantif: Beberapa Titik Tekan

Agar reformasi Polri tidak berhenti sebagai kosmetik, ada beberapa titik tekan yang seharusnya menjadi agenda minimal:

  1. Reorientasi total pendidikan kepolisian
    Pendidikan Polri harus diletakkan pada fondasi bahwa polisi adalah penegak hukum sipil, pelayan publik, dan penjaga hak asasi. Kurikulum yang menormalisasi kekerasan, hierarki kaku, dan ketaatan buta harus diganti dengan penekanan pada etika, kognisi hukum, resolusi konflik, dan komunikasi publik.
  2. Memperkuat pengawasan eksternal yang bertaring
    Kompolnas, Komisi Percepatan Reformasi Polri, dan kanal pengaduan lain harus dilengkapi kewenangan yang jelas, transparan, dan mudah diakses warga. Setiap laporan pungli, intimidasi, atau penyalahgunaan wewenang harus diproses dengan standar waktu dan transparansi yang terukur, bukan hilang di meja birokrasi.
  3. Standar pelayanan yang tegas: nol pungli, nol intimidasi
    Pembuatan Laporan Polisi, pemanggilan saksi, penggeledahan, dan penyitaan harus diatur dengan SOP yang jelas dan komunikatif ke publik, termasuk informasi bahwa seluruh layanan tersebut gratis dan setiap permintaan uang di luar ketentuan adalah pelanggaran berat.
  4. Perlindungan nyata bagi warga yang mengkritik
    Kritik melalui seni, media sosial, ataupun aksi damai seharusnya dipandang sebagai bagian dari demokrasi yang sehat. Alih-alih dibungkam, Polri semestinya menggunakan kritik itu sebagai bahan evaluasi internal. Kasus-kasus di mana kritikus justru mengalami tekanan menjadi contoh paling telanjang bahwa reformasi belum menyentuh cara pandang dasar terhadap rakyat.
  5. Keterlibatan publik dalam merumuskan reformasi
    Komisi Percepatan Reformasi Polri harus benar-benar membuka diri terhadap partisipasi masyarakat sipil, akademisi, komunitas korban, jurnalis, dan kelompok rentan. Tanpa suara mereka, reformasi akan disusun dari ruang rapat ber-AC, bukan dari realitas yang dihadapi warga di jalanan dan kantor polisi.

Mengembalikan Hirarki yang Benar

Reformasi Polri tidak bisa hanya diukur dari seberapa sering pejabat bicara “presisi” di podium, seberapa banyak rapat yang digelar, atau seberapa cepat struktur organisasi dirombak. Ukuran yang paling jujur justru ada pada pengalaman harian warga: lebih mudahkah mereka mendapat keadilan? Lebih aman kah mereka ketika berhadapan dengan polisi? Lebih kecilkah risiko diperas, diintimidasi, atau dikriminalisasi ketika bersuara?

Selama polisi masih memandang rakyat sebagai objek yang harus diatur, bukan majikan yang harus dilayani, maka setiap upaya reformasi hanya akan menyentuh kulit. Ia mungkin memperindah wajah institusi di media, tetapi tidak menjawab rasa sesak di dada warga yang setiap hari bergumul dengan praktik “bayar-bayar”, panggilan yang mengintimidasi, dan perlakuan sewenang-wenang.

Reformasi Polri yang sejati hanya mungkin lahir ketika kesadaran ini ditanamkan:
kedaulatan ada di tangan rakyat, dan di hadapan rakyat, polisi bukan penguasa—melainkan pelayan yang wajib bertindak adil, transparan, dan bertanggung jawab. Tanpa itu, semua ini hanya kosmetik.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Presiden Prabowo Akan Borong 200 Helikopter Mulai 2026 untuk Perkuat Alutsista dan Respons Bencana

Jakarta, Aktual.com – Presiden RI Prabowo Subianto menyatakan pemerintah akan mendatangkan 200 unit helikopter ke Indonesia mulai awal 2026. Langkah ini dilakukan untuk memperkuat kemampuan alat utama sistem persenjataan (alutsista) sekaligus meningkatkan kapasitas operasi kemanusiaan dalam menghadapi bencana yang kerap melanda Tanah Air, termasuk banjir dan longsor besar yang saat ini terjadi di Sumatera.

“Minggu ini helikopter baru datang lima unit, dan akan terus berdatangan. Saya sudah perintahkan mulai Januari tahun depan dan seterusnya kita akan datangkan 200 helikopter,” kata Prabowo dalam pidatonya pada Puncak HUT Ke-61 Partai Golkar di Jakarta, Jumat malam (5/12/2025).

Prabowo menegaskan bahwa penguatan alutsista—termasuk penambahan 200 helikopter—merupakan kebutuhan mendesak untuk mendukung misi kemanusiaan.

“Indonesia berada di Ring of Fire, kita harus siap menghadapi yang paling buruk,” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.

Helikopter menjadi moda transportasi yang sangat efektif untuk menjangkau wilayah terisolasi akibat akses darat yang terputus oleh banjir dan longsor. Dalam bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera, pemerintah telah mengerahkan 50 helikopter untuk membawa bantuan logistik dan mengevakuasi warga.

“Mungkin beberapa bulan atau beberapa tahun lalu, tidak ada yang bisa membayangkan negara kita mampu mengerahkan 50 helikopter. Sekarang 50 helikopter bergerak di daerah musibah,” ujarnya.

Prabowo juga membeberkan sejumlah pengadaan alutsista terbaru. Sebanyak lima unit pesawat angkut berat C-130J Super Hercules telah tiba beberapa bulan lalu, sementara pesawat Airbus A400 juga sudah datang beberapa pekan terakhir. Kedua pesawat tersebut dikenal sebagai pesawat angkut terbaik di kelasnya, digunakan untuk misi militer maupun bantuan kemanusiaan berskala besar.

Menurut Prabowo, Indonesia sebagai bangsa besar memiliki kemampuan untuk bangkit dan menghadapi berbagai cobaan yang datang. Ia menilai masyarakat kini dapat melihat kehadiran negara secara nyata dalam penanganan bencana.

“Kita buktikan. Rakyat melihat reaksi pemerintah cepat, pemerintah hadir mengatasi masalah. Sekarang rakyat melihat ada musibah di wilayah tanah air kita, dan alat-alat negara segera hadir,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Harga Emas Antam Turun Jadi Rp2.040 Juta/Gram

Pramuniaga menunjukkan emas untuk investasi atau batangan Antam di sebuah gerai emas di Malang, Jawa Timur, Kamis (10/3/2022). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/foc.

Jakarta, aktual.com – Harga emas Antam yang dipantau dari laman Logam Mulia, Sabtu (6/12), mengalami sedikit penurunan Rp3.000 dari awalnya Rp2.407.000 menjadi Rp2.404.000 per gram.

Harga jual kembali (buyback) turut turun ke angka Rp2.265.000 per gram, serta dijual mulai dari gramasi 0,5 gram hingga 1 kilogram (1.000 gram).

Transaksi harga jual dikenakan potongan pajak, sesuai dengan PMK No. 34/PMK.10/2017.

Penjualan kembali emas batangan ke PT Antam Tbk dengan nominal lebih dari Rp10 juta, dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 1,5 persen untuk pemegang Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan 3 persen untuk non-NPWP.

‎PPh 22 atas transaksi buyback dipotong langsung dari total nilai buyback. Berikut harga pecahan emas batangan yang tercatat di laman Logam Mulia Antam pada Sabtu:

‎- Harga emas 0,5 gram: Rp1.252.000.

‎- ⁠Harga emas 1 gram: Rp2.404.000.

‎- ⁠Harga emas 2 gram: Rp4.748.000.

‎- ⁠Harga emas 3 gram: Rp7.097.000.

‎- ⁠Harga emas 5 gram: Rp11.795.000.

‎- ⁠Harga emas 10 gram: Rp23.535.000.

‎- Harga emas 25 gram: Rp58.712.000.

‎- ⁠Harga emas 50 gram: Rp117.345.000.

‎- ⁠Harga emas 100 gram: Rp234.612.000.

‎- ⁠Harga emas 250 gram: Rp586.265.000.

‎- ⁠Harga emas 500 gram: Rp1.172.320.000.

‎- ⁠Harga emas 1.000 gram: Rp2.344.600.000.

Potongan pajak harga beli emas sesuai dengan PMK Nomor 34/PMK.10/2017, pembelian emas batangan dikenakan PPh 22 sebesar 0,45 persen untuk pemegang NPWP dan 0,9 persen untuk non-NPWP.

Setiap pembelian emas batangan disertai dengan bukti potong PPh 22.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

PPI Dunia Apresiasi Perjuangan HNW Perluas Kuota Mahasiswa jadi Petugas Haji

Wakil Ketua MPR RI Dr. KH. M. Hidayat Nur Wahid MA., menerima kunjungan delegasi pimpinan Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia (PPI Dunia), di ruang kerja, Gedung Nusantara 3 Kompleks Parlemen Jakarta, Jumat (5/12/2025). Aktual/DOK MPR RI

Jakarta, aktual.com – Wakil Ketua MPR RI Dr. KH. M. Hidayat Nur Wahid MA., menerima kunjungan delegasi pimpinan Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia (PPI Dunia), di ruang kerja, Gedung Nusantara 3 Kompleks Parlemen Jakarta, Jumat (5/12/2025). Delegasi PPI Dunia dipimpin koordinatornya Andika Ibrahim Nasution, mahasiswa asal University of Jordan. Hadir bersamanya perwakilan Mahasiswa dari Mesir, Yaman, Belanda, Perancis dllnya.

Pada kesempatan itu, Andika menyampaikan dukungan dan apresiasi PPI Dunia terhadap perjuangan Hidayat Nur Wahid di Komisi 8 DPR RI yang telah mengupayakan penambahan kuota petugas haji dari kalangan mahasiswa Timur Tengah. Kabar tersebut, kata Andika menjadi berita gembira dikalangan anggota PPI Dunia.

“Kami sangat bersemangat mendengar usulan tersebut, bahkan PPI Dunia sempat melakukan rapat secara online terkait rencana penambahan kuota pendamping haji dari mahasiswa, hingga 5 jam lamanya. Semoga usulan tersebut menjadi kenyataan, karena menjadi bagian petugas jamaah haji banyak manfaatnya juga merupakan pengalaman yang sangat menarik,” ungkap Andika.

Petugas haji dari kalangan mahasiswa, khusunya yang belajar di Timur Tengah menurut Andika memiliki kelebihan tersendiri. Selain menguasai Bahasa, mereka yang belajar di Timur Tengah rata-rata sudah memahami kondisi di Mekkah dan Madinah, baik kondisi alam maupun kebiasaannya. Karena itu, meski namanya petugas, acapkali para mahasiswa, itu menjadi tulang punggung untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi jamaah haji melebihi pendamping kloter.

Pendapat tersebut dibenarkan oleh Jibril Mahawisesa Perbowo, mahasiswa Yarmouk University Jordan. Menurut Jibril, ketika menjadi petugas haji pada 2024, kebetulan saat itu ada seorang jamaah yang meninggal di hotel. Tetapi, tidak ada satupun dalam rombongan yang mengerti Bahasa Arab, sehingga mereka kesulitan mengurus jenazahnya.

“Saya mestinya bertugas di bagian konsumsi, tetapi melihat kondisi kurang baik, itu akhirnya saya turun tangan. Alkhamdulillah, saya bisa berkomunikasi dengan pihak hotel, sehingga jenazahnya bisa segera diurus untuk dimakamkan,” kenang Jibril.

Menanggapi harapan PPI Dunia, Hidayat Nur Wahid mengakui keberadaan petugas haji dari kalangan mahasiswa memang sangat penting. Mereka menguasai kondisi alam, mengerti Bahasa setempat, bahkan mengerti aturan/fiqih haji. Sehingga diharapkan, mereka bukan hanya membatu kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam hal yang terkait pelaksanaan ibadah haji.

“Saya sudah perjuangkan, dan alhamdulillah Komisi VIII bersama Kementerian Haji dan Umroh sudah sepakat menjadikannya sbg keputusan yang mengikat dan karenanya penting dilaksanakan, karena maslahatnya sangat besar dan nyata untuk kesuksesan pelaksanaan haji. Kini tinggal Kementerian haji Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi, karena merekalah yang berhak menentukan jumlah petugas haji tahun 2026”. HNW mengajak para Mahasiswa untuk ikut menkawal diiringi doa.

Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Menteri Haji dan Umrah (5/11/2026), Hidayat Nur Wahid memperjuangkan peningkatan layanan pelaksanaan haji tahun 2026 serta penambahan kuota untuk petugas haji dari unsur mahasiswa Indonesia di Timur Tengah.

Hidayat beralasan bahwa para mahasiswa dari berbagai kampus di Timur Tengah memiliki keahlian bahasa Arab, pemahaman terhadap tata cara berhaji, serta budaya yang berlaku di Arab Saudi. Apalagi dg fisik mereka yang prima, mereka dinilai dapat memberikan pelayanan dan bantuan optimal bagi jemaah haji Indonesia.

“Saya minta Menteri Haji mempertimbangkan serius aspirasi mahasiswa Indonesia di Timur Tengah dengan melakukan rekrutmen lebih banyak lagi mahasiswa Indonesia di Timur Tengah sebagai tenaga musim yang mendampingi dan membantu jemaah haji Indonesia. Selain karena profesionalitas mereka, pelibatan ini juga sangat bermanfaat untuk mendukung keberlangsungan pendidikan mereka sebagai kader ulama penerus bangsa,” tutup HNW.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano

Berita Lain