Jakarta, Aktual.com – Dalam rangka menyambut hari pahlawan 10 November 2015 ini, ada baiknya memahami apa makna dari kata pahlawan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.
Kamus yang disusun pegawai Pusat Bahasa itu juga memberi makna kedua pahlawan, yakni pejuang yang gagah berani.
Pemaknaan pahlawan di atas tentu sangat umum dan bisa diperdebatkan lebih jauh. Pada pengertian pertama, misalnya, apakah hanya dua variabel, yakni keberanian dan pengorbanan, itu saja yang membuat seseorang pantas disebut sebagai pahlawan.
Perdebatan bisa dipertajam, apakah dua variabel itu harus dijalani oleh seseorang dalam sepanjang perjalanan hidupnya? Bukankah dalam hidup manusia selalu ada pasang surut, ada saat-saat dia bertindak penuh keberanian dan pengorbanan dalam tahun-tahun tertentu, juga ada saat seseorang bertindak tanpa nyali besar dan kurang berani berkorban? Bahkan keberanian itu sendiri punya dimensi yang jamak. Berani tidak selalu dalam arti melawan musuh jasmaniah seperti menghadapi penjajah yang bersenjata lebih canggih. Keberanian yang ditunjukkan para spiritualis, yang berani hidup dalam kondisi sulit untuk mengorbankan dirinya demi pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan agaknya tak kalah bermaknanya dibandingkan dengan keberanian dalam makna mengalahkan musuh dalam situasi perang.
Seorang sarjana yang baru lulus dan memilih mengabdikan dirinya sebagai pengajar di suku pedalaman hutan di mana untuk mencapai suku pedalaman itu dia harus berjalan kaki lewat jalan setapak dengan risiko dimangsa hewan buas, dan dalam perjalanan itu bisa memakan waktu dua hari dua malam jelas memenuhi kriteria sebagai pahlawan.
Seorang pegiat lingkungan hidup yang meregang nyawa karena keberaniannya membela kepentingan rakyat dan harus berhadapan dengan para preman yang disewa kaum pemodal untuk menghabisi sang aktivis tentu masuk dalam kriteria pahlawan.
Sedangkan makna kedua pahlawan seperti diuraikan kamus yang merekam berbagai kosa kata standar maupun nonstandar itu lebih menyempit ke pengertian pahlawan dalam perspektif militer.
Dalam konteks pahlawan nasional sebagai gelar yang diberikan oleh pemerintah terhadap putra-putri pertiwi yang dianggap berjasa, sejarawan Asvi Warman Adam menilai bahwa pemberian gelar itu selama ini sarat kepentingan. Dia mengusulkan untuk menata kembali proses pengangkatan pahlawan nasional untuk masa mendatang.
Tampaknya dalam urusan apa pun yang melibatkan proses politik di dalamnya, unsur sarat kepentingan tak bisa dielakkan, begitu juga dengan pengangkatan seorang pahlawan nasional.
Itu sebabnya, seorang yang punya riwayat sebagai separatis pun, dalam perjalanan politik bangsa di kemudian hari, tatkala pendukung-pendukungnya menjadi kelompok yang kuat secara politik, bisa dinobatkan sebagai pahlawan nasional.
Pengangkatan pahlawan nasional yang diwarnai unsur politik tentu bisa mengurangi kadar kepahlawanan seseorang. Namun yang lebih merendahkan martabat bangsa adalah pengangkatan pahlawan nasional yang diwarnai unsur ekonomis. Jadi, bukan cuma perbedaan visi politis yang menentukan tapi lebih dari itu, karena pengusul dan penentu pemberi gelar itu terkooptasi oleh keuntungan finansial.
Untunglah faktor yang merendahkan harga diri itu belum terjadi dan harus diupayakan untuk tidak terjadi. Itu sebabnya, usulan sejarawan yang juga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu perlu dipegang teguh oleh mereka yang sedang maupun akan menduduki posisi Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat yang berada di lingkungan Kementerian Sosial.
Sesungguhnya pahlawan otentik sejati tak selalu harus diakui lewat keputusan resmi pemerintah. Di setiap daerah di Nusantara selalu punya pahlawan yang selalu bersemayam di kalbu masyarakat. Para pahlawan ini sebagian dijadikan nama-nama jalan raya di daerah bersangkutan.
Orang-orang yang merintis membuka wilayah dan menghibahkan wilayah itu untuk orang banyak akan dikenang oleh masyarakat bersangkutan sebagai orang yang baik dan terkemuka, dengan kata lain dialah pahlawan bagi masyarakat itu.
Di mata banyak orang, Cak Munir yang meninggal misterius dalam perjalanan pesawat menuju Belanda adalah seorang pahlawan. Abdul Muhaimin, sarjana yang memilih jadi guru, yang memberikan sebagian dari waktu hidupnya untuk suku pedalaman di Papua adalah pahlawan bagi komunitas yang menikmati jerih payah dan komitmennya.
Tapi orang-orang yang memberi manfaat bagi orang banyak ini secara esensial juga memberi makna bagi perjalanan bangsa. Oleh kerja orang-orang inilah negara berdiri tegak penuh kehormatan. Mereka yang menanyakan dirinya untuk memberikan apa yang mereka miliki buat bangsa dan negara, dan tidak meminta dari negara adalah pahlawan.
Bagaimana dengan seorang pesohor, penulis, seniman, olahragawan yang karya-karya mereka mengharumkan nama bangsa? Apakah mereka ini, yang juga mendapat imbalan materi karena karya-karya mereka, yang sebagian menjadi kaya raya, juga bisa disebut pahlawan? Jika mengacu pada definisi kamus resmi, mereka jelas bukan pahlawan. Mereka bukan pemberani yang mengorbankan diri. Tapi masyarakat tentu punya kamusnya sendiri, di dalam kalbunya.
Mereka bukan pahlawan dalam arti sebagaimana dirumuskan oleh kamus. Tapi mereka adalah sosok-sosok yang menginspirasi, yang tak jarang bahkan punya makna lebih bagi khalayak dalam berjuang meraih kesintasan dalam hidup yang multiproblem dan pencobaan ini.
Artikel ini ditulis oleh: