Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis saat dialog kisruh Freeport dengan tema: Pembegal UUD dan UU Minerba Vs Papa Minta Saham di Warung E Komando, Jakarta, Minggu (6/12). Kisruh Freeport adalah perang yang diciptakan CIA (badan intelijen Amerika). Akibatnya semua anak bangsa yang menjadi korban karena saling berhadap-hadapan. Freeport ingin mempertahankan operasinya di Papua. Perusahaan asal Amerika ini memang berharap operasinya di Papua bisa diperpanjang setelah kontrak berakhir 2021. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dikabulkannya uji materi UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Dia menilai, majelis hakim MK telah menjawab tanda tanya besar publik terkait dasar penyelidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus dugaan pemufakatan hajat antara mantan Ketua DPR RI Setya Novanto, pengusaha Riza Chalid dan bekas Presdir Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin.

“Sudah benar putusan MK mengabulkan gugatan itu. Saya sudah bilang kasus ini tidak ada apa-apanya, kasus ini kosong tidak ada bukti pidananya,” tegas Margarito kepada Aktual.com, Rabu (7/9).

Yang jelas, kata dia, Kejaksaan Agung dalam hal ini terkesan memaksakan penanganan tanpa adanya bukti yang konkrit. Sehingga wajar jika MK mengabulkan gugatan yang diajukan Setya Novanto.

“Dari dulu saya sering katakan, Kejaksaan mengada-ada. Hanya Memanfaatkan kekuasaan,” tegasnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan Setya Novanto menyangkut Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 44 huruf b UU ITE.

Kedua pasal itu mengatur ketentuan informasi dan atau dokumen elektronik berikut hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang sah dan ketentuannya yang bisa dijadikan alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan penegak hukum.

Adapun UU Tipikor, pemohon mengajukan uji materi Pasal 26A yang mengatur ketentuan alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membaca amar putusan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (7/6).

Laporan: Fadlan Syiam Butho

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby