Ratusan massa yang tergabung dalam Gerakan Selamatkan Jakarta (GSJ) menggelar aksi demontrasi didepan gedung KPK, Jakarta, Selasa (12/4/2016). Dalam aksinya massa Gerakan Selamatkan Jakarta (GSJ) mendesak KPK untuk menahan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena diduga terlibat kasus korupsi pembelian Rumah Sakit Sumber Waras.

Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sudah tidak bisa berpikir dengan akal sehat, usai berkesimpulan bahwa kasus pengadaan tanah RS Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dianggap bukan korupsi.

“Itu bodohnya KPK termakan konstruksi berfikir calon tersangka,” ujar pakar ilmu hukum pidana Choirul Huda, lewat pesan singkatnya kepada Aktual.com, Rabu (15/6).

Dalam menangani kasus yang bernilai Rp 800 miliar itu, Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut kalau pihaknya bersandar pada Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, khususnya pada Pasal 121.

Hal ini yang dijadikan dasar kuat pernyataan Choirul. Sebab, jikalau mengacu pada Pasal 121 Pemprov DKI tidak harus membuat segala bentuk tim untuk membeli tanah seluas 3,6 hektare itu.

“Kalau menggunakan mekanisme Pasal 121 (pembelian langsung) ngapain dibikin Surat Keputusan (SK) penunjukan lokasi, SK Panitia Pengadaan, Tim penilai dan lain-lain. Langsung saja beli dengan negosiasi langsung, nggak usah tetek bengek sesuai UU,” papar dia.

Hal ini seharusnya yang dilihat KPK, bukan malah menyebut kalau kasus tersebut bukan korupsi. “Justru persoalannya disitu, realitasnya dengan pembelian langsung, tetapi administrasinya dengan tahapan sesuai UU yang normal,” tuturnya.

Dalam menangani kasus pengadaan tanah RS Sumber Waras, KPK berlandaskan dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, Perpres tersebut yang membuat adanya perbedaan kesimpulan antara hasil penyelidikan lembaganya dengan audit Investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Point pokok perbedaan penggunaan aturan, dengan Perpres Nomor 40 Tahun 2014. Itu banyak hal pada laporan BPK jadi gugur, karena (dalam Perpres Nomor 40 Tahun 2014) tidak digunakan perencanaan,” papar Agus, di gedung DPR RI, Jakarta, hari ini.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby