Jakarta, Aktual.com – Pengundangan kitab undang-undang hukum pidana baru melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 (“UU 1/2023”) menuai apresiasi dan kritik, khususnya mengenai Pasal 100 yang mengatur penjatuhan masa percobaan dalam pidana mati selama 10 (sepuluh) tahun.

Sebagai informasi, saat ini, di tingkat global, terdapat adanya peningkatan terhadap jumlah negara yang menghapuskan hukuman mati.

Zaky Yamani dari Amnesty Internasional Indonesia, menyebutkan, di tahun 2022, sudah ada 112 negara yang menghapuskan pidana mati. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2021 di mana jumlah negara yang menghapus pidana mati masih di bawah angka 110.

“Ketentuan pidana mati dalam KUHP baru merupakan perubahan yang mungkin berdampak positif. Namun demikian, kita haruslah berhati-hati dalam menyikapinya,” ujar Zaky, dalam focus group discussion (FGD) “Menjembatani Jurang Kematian: Perlindungan Hak untuk Hidup melalui Kebijakan Perantara (Interim)” yang diselenggarakan di Bandung, dikutip Senin (22/5).

Menurut Zaky, dengan adanya UU 1/2023 maka terdapat kemungkinan seorang terpidana mati mendapatkan perubahan hukuman menjadi pidana penjara seumur hidup setelah menjalani pidana percobaan selama 10 (sepuluh) tahun.

Dosen hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai bahwa semangat dari diberikannya masa percobaan 10 (sepuluh tahun) kepada terpidana mati dalam UU 1/2023 adalah jalan tengah bagi perdebatan penghapusan pidana mati (abolisionis) dan pemberlakuan pidana mati (retensionis).

Disampaikan Pohan, penerapan masa percobaan dalam vonis pidana mati mencerminkan nilai-nilai Pancasila karena berupaya menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat. Kendati demikian, Pohan menilai semangat ini terancam dengan norma dalam Pasal 100 ayat (2) UU 1/2023 yang mewajibkan dimuatnya masa percobaan dalam amar putusan pengadilan.

“Jika melihat naskah akademik (dari KUHP baru/UU 1/2023) sebenarnya sudah jelas masa percobaan ini diberikan secara otomatis. Namun sekarang diwajibkan Pasal 100 ayat (2) (UU 1/2023) untuk dimuat dalam putusan. Apakah berarti kalau tidak dicantumkan (dalam amar putusan), tidak ada masa percobaan? Inilah yang jangan sampai terjadi,” ucapnya.

Karena itu, para pakar meminta agar pemerintah untuk menepati komitmennya dalam memberlakukan masa percobaan kepada terpidana mati secara otomatis karena dalam pelbagai kesempatan Pemerintah menyatakan bahwa UU 1/2023 mengadopsi ketentuan yang lebih manusiawi dengan merujuk pada penerapan masa percobaan dalam penjatuhan pidana mati.

Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menyampaikan, selain belum jelasnya keberlakuan masa percobaan, catatan terhadap pidana mati dalam UU 1/2023 juga menyasar pada cara menilai kelakuan baik terpidana mati. Penilaian yang positif merupakan tiket bagi terpidana mati untuk selamat dari eksekusi karena Pasal 100 ayat (4) UU 1/2023 mengatur kewenangan presiden untuk mengubah pidana mati menjadi penjara seumur hidup bagi mereka yang berkelakuan terpuji.

Nella Sumika Putri, Ketua Pusat Kebijakan Kriminal Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, menyoroti sumirnya ketentuan penilaian perilaku terpidana mati dalam UU 1/2023. Terutama pada beberapa kategori penilaian yang mungkin bersifat subjektif.

“Bagaimana menilai seseorang berkelakuan terpuji dalam sel penjara? Siapa yang berwenang melakukan penilaian? Apa saja parameternya?” ujar Nella.

Ia juga mempertanyakan parameter untuk mengirimkan seorang terpidana mati ke lapangan eksekusi. Karena itu, ia meminta negara untuk benar-benar memikirkan dengan matang apa saja parameter yang dapat digunakan negara untuk memutuskan kapan seorang terpidana mati layak dieksekusi dan tidak dapat diberi kesempatan untuk hidup.

“Tentunya hal ini perlu diperjelas dengan parameter yang lebih terukur secara objektif,” tegas Nella.

Selaras dengan pandangan Nella, Muhammad Tanziel Aziezi dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menilai bahwa tata cara menilai perilaku terpidana mati akan dilakukan dalam peraturan pelaksana. Misal, diwujudkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Ditegaskan Aziezi, penilaian ini perlu dipertegas untuk mencegah celah-celah korupsi baru. Jangan sampai, kata dia, penilaian dilakukan secara subjektif saja.

“Tantangannya sekarang bagaimana kita bisa menilai sikap dan pikiran seseorang secara objektif,” pungkas Aziezi.

Selain dari pelaksanaan masa percobaan yang membutuhkan peraturan pelaksana, para akademisi hukum juga mengusulkan pentingnya peraturan pelaksana bagi kejaksaan dan pengadilan menggunakan pidana mati pasca-berlakunya UU 1/2023. Pohan mengingatkan, dalam KUHP baru pidana mati dituliskan sebagai pidana yang bersifat khusus. Artinya sebisa mungkin ia tidak digunakan.

“Dari desainnya penerapan pidana mati harus mengutamakan kepentingan individu, selektif, dan hati-hati,” tegasnya.

Pohan juga mengusulkan beberapa parameter yang dapat digunakan oleh hakim, seperti tidak dijatuhkan atas dasar diskriminasi, tidak ditemukan dugaan pelanggaran hak hukum terdakwa selama proses pidana berlangsung, dan dijatuhkan hanya kepada residivis (pelaku berulang) dari tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara untuk waktu tertentu.

Selain Pohan, Aziezi juga menyepakati perlu adanya pedoman penggunaan pidana mati yang sesuai dengan instrumen HAM internasional. Hukuman mati, meski masih diperbolehkan dalam ICCPR, namun penggunaannya sudah sangat dibatasi untuk kejahatan yang sifatnya luar biasa.

“Standar HAM ini seyogianya dijadikan pedoman dalam penjatuhan pidana mati,” ucap Aziezi.

Di tengah ketidakjelasan dalam menerapkan masa percobaan dan penjatuhan pidana mati yang diatur dalam UU 1/2023, Aziezi menyarankan agar pengadilan di Indonesia mengambil sikap tegas untuk menghindari masalah di kemudian hari.

Kata dia, walaupun KUHP baru ini mulai berlaku di tahun 2026, namun tidak dapat dipungkiri setiap vonis pidana mati yang dilakukan saat ini akan berdampak di masa depan. Artinya, ditegaskan Aziezi, pengadilan perlu bersikap antisipatif untuk menghindari masalah di kemudian hari.

“Termasuk untuk melakukan moratorium vonis pidana mati sampai masalah ini terselesaikan,” tegas Aziezi.

Ardi Manto dari IMPARSIAL juga setuju bahwa saat ini, moratorium terhadap penjatuhan pidana mati harus diberlakukan. Jika tidak, maka vonis mati bisa terus dijatuhkan padalah belum ada kepastian baik mengenai keberlakuan UU 1/2023 sebelum 2026 maupun mengenai peraturan pelaksananya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu