Jakarta, Aktual.com — Kapolri Jenderal Badrodin Haiti telah meneken Surat Edaran (SE) soal penanganan ujaran kebencian atau hate speech dengan Nomor SE/06/X/2015 pada 8 Oktober 2015 lalu.

Namun, SE itu justru terjadi pro kontra. Publik menilai surat edaran itu dapat membungkam suara kritis terhadap kinerja Pemerintah Jokowi-JK.

Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia Effendi Ghazali mengatakan, secara filosofi surat edaran secara maksud dan tujuan benar adanya. Menurutnya, batas kebebasan individu untuk berpendapat adalah kebebasan untuk orang lain.

“Tapi metodologinya yang harus dirapihkan. Polisi jangan mengambil inisiatif. Karena nanti disalahgunakan sebagai alat kekuasaan menekan suara suara kritis,” ujar Effendi kepada Aktual.com, Senin (2/11).

Dia berpandangan, kepolisian dalam hal ini tidak serta merta langsung menjerat pelaku dengan tuduhan dugaan melakukan ujaran kebencian.

“Yang benar adalah asal ada saja laporan dari warga negara, maka polisi bisa menindaklanjuti,” katanya.

Berikut poin-poin SE yang dianggap krusial dan menjadi perdebatan dikalangan akademisi dan pengamat hukum dan politik saat ini.

Pada Nomor 2 huruf (f) SE itu, disebutkan bahwa “ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:

1. Penghinaan,
2. Pencemaran nama baik,
3. Penistaan,
4. Perbuatan tidak menyenangkan,
5. Memprovokasi,
6. Menghasut,
7. Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial”.

Pada huruf (g) selanjutnya disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek:

1. Suku,
2. Agama,
3. Aliran keagamaan,
4. Keyakinan atau kepercayaan,
5. Ras,
6. Antargolongan,
7. Warna kulit,
8. Etnis,
9. Gender,
10. Kaum difabel,
11. Orientasi seksual.

Pada huruf (h) selanjutnya disebutkan bahwa “ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:

1. Dalam orasi kegiatan kampanye,
2. Spanduk atau banner,
3. Jejaring media sosial,
4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi),
5. Ceramah keagamaan,
6. Media massa cetak atau elektronik,
7. Pamflet.

Pada huruf (i), disebutkan bahwa “dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa”.

Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan, antara lain:

– Memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat,
– Melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian,
– Mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian,
– Mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat;

Jika tindakan preventif sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan:
– KUHP,
– UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
– UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,
– UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan
– Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu