Jakarta, Aktual.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkesan merasa gusar kepada para pembantunya saat menyadari bahwa ternyata negara sedang menghadapi ancaman serius dari aspek keuangan. Bagaimana tidak, kendati nilai tukar rupiah terperosok di atas Rp 14.000 per dolar, para pembantunya selama ini selalu menyuguhkan laporan positif bahwa kondisi ekonomi dan keuangan negara dalam keadaan aman terkendali.
Namun kali ini ancaman persoalan keuangan negara sudah dalam keadaan ‘lampu merah’ dan tidak mampu untuk ditutup-tutupi. Dipahami akibat dolar menguat atas rupiah membuat harga kebutuhan impor yang harus dibayar menggunakan dolar, menjadi lebih bernilai tinggi. Imbasnya Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan lantaran neraca perdagangan impor lebih besar ketimbang nilai ekspor. Pada ujungnya cadangan devisa negara tergerus.
- Cadangan Devisa Menipis
Bank Indonesia (BI) mengungkapkan posisi cadangan devisa Indonesia akhir Juni 2018 sebesar USD119,8 miliar, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan akhir Mei 2018 sebesar USD122,9 miliar. Jika tidak segera menemukan pola penanganan yang tepat dan dukungan kebijakan fiskal dari pemerintah, dikhawatirkan cadangan devisa ludes hingga akan membuat ekonomi nasional mengalami porak-poranda.
Menurut BI, tergerusnya cadangan devisa selain disebabkan defisit ekspor-impor, juga disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.
Untuk besaran defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) tahun ini, perkiraan BI akan mencapai USD25 miliar. Jumlah ini lebih besar dibanding tahun 2017 sebesar 17,53 miliar atau 1,73 persen dari PDB.
“Saya mohon perhatian kita semua. Terus terang ini berat, tekornya tambah gede. Karena ekspornya sebenarnya cukup baik, tapi kenaikan impornya juga lebih besar,” ujar Gubernur, BI Perry Warjiyo.
Karenanya pada rapat Rapat Terbatas (ratas) membahas Strategi Kebijakan Memperkuat Cadangan Devisa di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, (31/7) Jokowi menegaskan kepada para pembantunya untuk bekerja serius menangani ancaman krisis yang tengah dihadapi.
Baca juga:http://www.aktual.com/5-strategi-atasi-membengkaknya-defisit-transaksi-berjalan/
“Perlu saya tekankan sekali lagi bahwa situasi negara sekarang ini butuh dolar. Oleh sebab itu, saya minta seluruh kementerian lembaga betul-betul tidak ada yang ingin main-main dan tidak serius menghadapi ini,” tegas Jokowi.
Dari pertemuan itu, Jokowi meminta agar dilakukan pengendalian atau pembatasan barang impor dan peningkatan ekspor agar neraca perdagangan menjadi positif.
“Saya minta dievaluasi lagi secara detail impor, barang-barang yang tidak bersifat strategis yang perlu kita setop dulu atau dikurangi atau diturunkan. Terus dorong pertumbuhan industri substitusi impor. Semuanya harus serius menghadapi ini. saya enggak mau lagi bolak-balik rapat, bolak-balik rapat tapi pelaksanaan implementasi tidak berjalan dengan baik,” tegas Presiden Jokowi.
Diketahui Rapat Terbatas tersebut dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menko Polhukam Wiranto, Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menko Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan, Mensesneg Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menhub Budi K. Sumadi, Menperin Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Ketua OJK Wimboh Santoso, Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, Plt. Dirut Pertamina Nicke Widyawati, dan Dirut PLN Sofyan Basir.
Kesan kalang kabut reaksi dari Jokowi dalam menghadapi ancaman yang ada membuat ekonom senior Indonesia, Faisal Basri merasa heran. Dia mempertanyakan peranan para pembisik disekitar Presiden hingga sebelumnya tidak mendeteksi potensi tergerusnya devisa akibat utang dan investasi yang tidak berimbang.
“Bapak Presiden, selama ini tidak adakah pembantu bapak yang mengingatkan kalau investasi digenjot jauh melampaui tabungan dan defisit APBN yang membesar bakal memperburuk current account? Ini akar masalah rupiah melemah terus dan cadangan devisa tergerus,” ujar Faisal.
Kemudian strategi pemerintah dengan melakukan substitusi barang impor dari produk dalam negeri, harusnya dilakukan sejak jauh hari melalui pengembangan industri dalam negeri, sehingga ketergantungan prodak impor dapat berkurang secara berangsur. Dengan kondisi mendadak seperti ini, malah akan menjadi blunder. Terlebih untuk pengembangan industri tidak bisa dilakukan dengan instan melainkan butuh waktu relatif lama.
“Solusi substitusi impor butuh waktu. Industri harus dibangun dulu. Melarang impor bakal dibalas negara mitra dagang. Amerika Serikat saja yang daya tawarnya hebat cuma berani mengenakan bea masuk. Tidak adakah pembantu bapak Presiden yang mengingatkan itu,” kata dia.
Baca selanjutnya…
- Tarik Ulur Kebijakan DMO Batubara
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta