Menanggapi pembatalan rencana pencabutan DMO, Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radih menilai langkah demikian sudah tepat. Menurutnya perolehan devisa dari pencabutan DMO batubara tidak begitu signifikan dibanding kerugian yang akan diderita oleh PLN. Dia menegaskan kebijakan itu hanya menguntungkan bagi pengusaha batubara.
Dia menjabarkan, ketentuan DMO Produksi batubara hanya ditetapkan sebesar 25 persen dari total penjualan, sedangkan 75 persen masih tetap bisa diekspor dengan harga pasar. Berdasarkan data Kementerian ESDM, total produksi batu bara pada 2018 diperkirakan sebesar 425 juta metric ton, harga pasar batu bara pada Juli 2018 sebesar USD 104,65 per metric ton. Kalau penjualan 25 persen kepada PLN atau sebesar 106 juta metric ton dijual dengan harga pasar, maka tambahan pendapatan pengusaha batu bara naik menjadi sebesar USD 11,12 miliar. Tetapi kalau menggunakan harga DMO USD 70 per metric ton, pendapatan pengusaha turun menjadi USD 7,44 miliar.
“Selisih perbedaan harga tersebut sebesar USD 3,68 miliar. Menurut Bank Indonesia, defisit neraca pembayaran selama 2018 diperkirakan sebesar USD 25 miliar, maka selisih harga itu tidak signifikan,” kata Fahmy Radhi.
Lalu wacana pemerintah untuk menutup tambahan beban biaya PLN melalui pemberian tambahan subsidi kepada PLN, yang berasal dari iuran penguasaha batubara antara USD 2-3 persen per metric ton. Dia menghitung tambahan subsidi dari iuran itu tidak akan mencukupi untuk menutup beban biaya PLN akibat pembatalan DMO harga.
Tambahan beban biaya PLN diperkirakan sebesar USD 3,68 miliar, sedangkan iuran dari pengusaha USD 3 per metric ton akan terkumpul USD 1,28 miliar. Jumlah iuran itu tidak akan mencukupi, masih ada selisih yang menjadi beban PLN sebesar USD2,40 miliar.
“Selain itu, penggunaan iuran untuk subsidi akan terjadi time lag antara pemberlakuan pembatalan DMO harga dengan proses pengumpulan iuran dana, apalagi masih menunggu dibentuknya lembaga pengumpul di Depatemen Keuangan, yang akan semakin memperpanjang time lag, sehingga memperpanjang beban biaya yang harus ditanggung oleh PLN,” ujar dia.
Bisa dibayangkan lanjut Fahmy, rencana pencabutan DMO itu semakin membuat keuangan PLN berdarah di tengah beban kenaikan harga energi primer lainnya, harga jual listrik dari IPP, beban Public Service Obligation (PSO) untuk tidak menaikkan tarif listrik hingga 2019 dan penugasan Pemerintah dalam pencapaian 100 persen elektrifikasi serta Proyek 35.000 MW. Apalagi, tegasnya, PLN sudah menderita kerugian pada semester I/2018 sebesar Rp 6,49 triliun, bandingkan periode yang sama pada 2017.
“Pencabutan kewajiban DMO itu akan semakin memperbesar kerugian PLN. Kalau kerugian PLN itu dibiarkan berlarut-larut, maka tidak menutup kemungkinan PLN terancam bangkrut. Kalau Pabrik Setrum satu-satunya di Indonesia ini benar-benar bangkrut, tidak dapat dihindari Nusantara akan kembali gelap gulita. Pada saat itu, PLN bukan lagi sebagai Perusahaan Listrik Negara, tetapi berubah menjadi Perusahaan Lilin Negara. Sungguh amat ironis,” pungkas dia.
Baca selanjutnya…
- Menggoyang Kebijakan DMO
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta