Setelah penganuliran rencana pencabutan kewajiban DMO batubara terbilang cukup efektif meredam protes publik. Tetapi Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia masih merisaukan sikap pemerintah yang tarik ulur. Peneiliti PWYP, Rizky Ananda melihat kendati rencana pencabutan kewajiban DMO itu telah dibatalkan, masih ada upaya dari para pihak untuk kembali menggulirkan isu pencabutan kebijakan DMO ini.
Sebut saja katanya; pernyataan Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang menuturkan rencana pembatalan pencabutan aturan DMO masih dalam tahapan evaluasi dan belum diputuskan. Atau pun pernyataan Menko Luhut yang akan terus mengkaji ulang pencabutan kebijakan DMO dan melihat peluang pelaksanaannya tahun depan. Karenanya tegas Rizky, Koalisi PWYP Indonesia mendesak Pemerintah untuk terus konsisten dengan kebijakan kewajiban DMO batubara.
“Kewajiban DMO ini bukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan pasokan batubara bagi Perusahaan PLN. Tetapi lebih besar dari itu, kewajiban DMO batubara sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan produksi batubara yang selama puluhan tahun dieksploitasi tanpa batas. Pengendalian atau pengurangan produksi batubara sangat dibutuhkan untuk mencapai target bauran energi,” tegas dia.
Sejauh ini, lanjut Rizky, tata kelola industri batubara masih buruk, alih-alih membuka pintu ekspor, seharusnya pemerintah fokus melakukan pembenahan terhadap tata kelola industri batubara. Sebagai catatan, per Maret 2018 terdapat 710 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berstatus non clean and clear. lalu masih terdapat piutang pelaku usaha pertambangan (Batubara dan Mineral) terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang belum terselesaikan senilai Rp 4,5 triliun.
Terdapat pula 631.000 hektar konsesi batubara di kawasan hutan lindung dan 212.000 hektar konsesi batubara di kawasan hutan konservasi. Kemudian, dalam menempatkan dana jaminan reklamasi dan pasca tambang, kepatuhan pengusaha sangat rendah yakni per Juni 2018 baru 60 persen dari total IUP minerba yang menempatkan dana jaminan reklamasi dan hanya 14 dan yang menempatkan dana jaminan pasca tambang.
Rizky melihat selama ini kebijakan pemerintah kepada para pengusaha batubara memang terbilang lunak. Bahkan pemerintah memberikan insentif yang sangat berlebihan. Sepanjang tahun 2018 saja, sejumlah insentif dinikmati oleh pengusaha batubara. Pertama, kenaikan target produksi batubara di tahun 2018 sebesar 5 persen dari RKAB 2017, yakni sekitar 485 juta ton. Padahal, ini melanggar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang menetapkan produksi batubara sebesar 406 juta ton di tahun 2018 serta Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang memandatkan pembatasan produksi maksimal sebesar 400 juta ton di tahun 2019.
Kedua, imbuh Rizky; ditundanya pelaksanaan Permendag Nomor 48 Tahun 2018 Tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu yang mengatur kewajiban penggunaan asuransi nasional dalam kegiatan ekspor batubara dan minyak kelapa sawit mentah hingga 1 Februari 2019.
Terlepas daripada itu, yang pasti Faisal Basri mengingatkan jangan sampai upaya meningkatkan cadangan devisa malah menyebabkan biaya tinggi hingga menjadi suatu kerugian. Evaluasi kebijakan DMO batubara hanyalah satu dari sekian banyak langkah yang akan diambil oleh pemerintah. Dalam situasi yang sulit ini jangan sampai ada pihak ‘memancing di air yang keruh’.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta